Mohon tunggu...
Eben Haezer
Eben Haezer Mohon Tunggu... Jurnalis -

wartawan -- doyan jalan-jalan -- agak susah makan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kitalah Energi Baik Itu

7 Agustus 2018   17:51 Diperbarui: 7 Agustus 2018   18:03 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya terlalu sering mendengar pernyataan-pernyataan yang baik disengaja atau tidak, disadari atau tidak, dapat menjatuhkan keberanian saya dalam mengejar sesuatu.

 Tidak jarang, pernyataan-pernyataan itu justru datangnya dari orang-orang yang paling dekat dengan diri kita sendiri.

Saya ingat betul, hari itu, 4 Agustus 2003, saya dinyatakan lolos Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Begitu mengetahuinya dari pengumuman yang dipasang di koran, kegirangan saya tak tertahankan. 

Dari rumah, saya pergi menuju sebuah tempat di mana ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

 Setibanya di sana, perihal kabar baik itu langsung saya sampaikan kepada ibu. 

Tentu saja, ibu pun girang. Senyumnya menampakkan kebanggaan. 

Sejenak dia tampak lupa bahwa beberapa bulan sebelumnya, dia melarang saya ikut mendaftar SPMB. 

Baginya, baik untuk saya apabila selepas lulus SMA langsung bekerja.  

Pikirnya, tentu akan ada banyak lowongan pekerjaan bagi saya di mal yang waktu itu sedang dalam proses pembangunan di dekat rumah kami. Entah sebagai pramuniaga, office boy, atau pekerjaan lainnya yang meski tidak mentereng, tetapi tetap bisa memberikan penghidupan.

Beberapa jam setelah mengabarkan kepadanya bahwa saya lolos SPMB dan diterima di salah satu fakultas di Universitas Brawijaya, Malang,  kami memiliki waktu senggang untuk berbincang. 

Kala itu, majikan ibu sedang pergi meninggalkan rumah. Selama percakapan ibu dan anak ini, terlihat sekali pikiran ibu melayang entah ke mana. Lalu dia berucap: "Tadinya ibuk seneng kamu diterima kuliah. Tapi sekarang, mikir biayanya nanti bagaimana, perut ibuk jadi mules."

Mendengar ucapan itu, saya ikut menerawang jauh. "Iya ya, dapat dari mana uang buat daftar ulang? Dapat uang dari mana buat bayar SPP?" Begitu tanya saya di dalam hati.

Meski begitu, ada sesuatu di dalam diri saya yang mengatakan bahwa ketika sebuah jalan dibuka, saya mesti memasukinya. Kemana jalan itu akan mengarah, itu soal lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan seputar dari mana uang jutaan Rupiah untuk daftar ulang dan bayar SPP tak terjawab saat itu juga. Namun, seiring berlalunya waktu, pertanyaan-pertanyaan itu terjawab juga.

 Tak cuma bantuan yang datang dari mana-mana, tetapi ada saja tawaran-tawaran pekerjaan lepas yang bisa saya kerjakan, termasuk berjualan kopi. Hasilnya, waktu berlalu dan tiba-tiba saja saya lulus, diwisuda.

Dua belas tahun kemudian peristiwa serupa terulang lagi. 

Kali ini saya berniat untuk mendaftar kuliah S2. 

Keputusan untuk melanjutkan studi itu datang begitu saja ketika saya mulai jenuh dengan rutinitas pekerjaan yang saya lakoni.  

Ilmu yang saya dapat dari pekerjaan terasa mentok. Saya butuh sebuah cakrawala yang baru.

Lagi-lagi, pernyataan-pernyataan yang seolah menjatuhkan datang dari orang terdekat. Kali ini datang dari rekan-rekan di pekerjaan. Sebagian dari mereka ragu saya dapat membayar biaya kuliah per semester yang mencapai Rp10 juta di salah satu universitas negeri di Surabaya.

Belum lagi biaya daftar ulang yang sebesar Rp26 juta dan keperluan-keperluan lain seperti buku. 

Dengan berbagai perhitungan, gaji bulanan dari perusahaan tempat saya bekerja sebagai wartawan tidak akan cukup.

Tapi tekad sudah bulat. Saya kira, ini akan sama seperti 12 tahun silam ketika saya memilih untuk berkuliah. Pasti akan ada jalan yang terbuka!

Setelah membulatkan tekad, saya memberanikan diri untuk melakukan peminjaman uang sebesar Rp22 juta ke koperasi perusahaan. Dengan uang itu dan ditambah sisa tabungan, saya akan mendaftarkan diri untuk melanjutkan kuliah S2.

Pendek kata, saya pun diterima. Uang pendaftaran Rp26 juta pun terbayar.

"Kini tinggal mengumpulkan uang untuk bayar SPP tiap semester. Pilihannya, cari kerja sampingan dan berburu beasiswa" begitu pikir saya kala itu.

Mestakung! Semesta mendukung! 

Di saat saya mulai mengajukan aplikasi-aplikasi ke penyedia beasiswa,  saya mendapat tawaran kontrak pekerjaan sampingan dengan honor  yang perbulannya mencapai Rp5 juta. 

Kalau kontrak selama 4 bulan itu saya ambil, maka seluruh honor yang saya dapat bisa dipakai untuk membayar SPP 2 semester. Tanpa pikir panjang, tawaran itu saya ambil.

Nah, di saat sedang menjalani kontrak di bulan pertama, aplikasi beasiswa yang saya ajukan berbuah positif.  

LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) Kementerian Keuangan, salah satu penyedia beasiswa Magister dan Doktoral yang saya ikuti proses seleksinya, menyatakan saya lolos seleksi administratif. Apabila saya lolos di dua tahapan berikutnya, maka beasiswa itu pun akan diberikan untuk saya.

Dewi Fortuna tampaknya berpihak kepada saya lagi. Begitu selesai mengikuti semua tahapan seleksi, saya pun dinyatakan lolos dan berhak menerima beasiswa. Rasa takut tidak dapat membayar biaya dan keperluan kuliah seketika amblas karena LPDP akan memenuhi semua itu. Yang saya harus lakukan adalah memanfaatkan kesempatan itu sebaik mungkin. Singkat kata, kuliah yang harusnya saya habiskan 2 tahun, bisa terselesaikan dalam waktu 1 tahun 8 bulan. Bonusnya, penghargaan sebagai wisudawan terbaik!

Begitulah, semua langkah besar yang saya buat selalu dibarengi dengan keraguan dari orang-orang di sekitar. 

Termasuk ketika di awal tahun ini saya memutuskan untuk mengambil kredit rumah yang nilai angsuran tiap bulannya mepet dengan gaji bulanan dari perusahaan. Lagi-lagi, masih saja ada orang-orang terdekat yang meragukan dan menganggap hal itu adalah sesuatu yang mustahil. Mimpi!

Tetapi sekali lagi, tidak dengan menggunakan perhitungan matematika, kebutuhan untuk membayar angsuran tiap bulan selalu terjawab meski mepet. Rumah mungil ini pun akhirnya saya huni, Januari 2018.

Energi itu Dalam Diri Kita

Seringkali memang muncul pertanyaan dalam benak saya: "Kok bisa saya kuliah S2? Kok bisa saya punya rumah sendiri? Kok bisa saya bayar cicilan kredit tiap bulan? Padahal gaji cuma segini,"

Pertanyaan-pertanyaan itu tak akan pernah bisa saya jawab. Namun, satu hal yang saya pahami, di dalam diri setiap orang, termasuk saya dan anda, ada energi baik yang mendorong untuk mewujudkan hal-hal yang positif untuk kehidupan. 

Persoalannya, seringkali energi baik itu yang kita abaikan. Kita justru sibuk memikirkan jawaban atas keragu-raguan yang dilontarkan oleh orang-orang di sekitar. 

Alih-alih mendorong diri sendiri untuk dapat mewujudkan mimpi-mimpi kehidupan itu, tak sedikit dari kita yang justru menarik diri lalu tenggelam bersama keragu-raguan yang muncul bersama lontaran-lontaran pernyataan dari orang lain.

Kini, masih ada langkah-langkah besar yang akan saya ambil.

Masih saja, bagi sebagian orang yang sudah tahu rencana saya,  mengatakan bahwa rencana saya yang satu ini tidak akan berhasil. 

Tetapi yang jelas, seperti terjadi sebelum-sebelumnya, jalan menuju ke sana masih membentang meski sempit.

Energi baik dari dalam hati, akan membuat jalan yang kini masih tampak samar, akan terang benderang. 

Rencana apa itu? Nantilah saya ceritakan bila rencana itu sudah mewujud. Saya janji, bila rencana itu terwujud, anda akan geleng-geleng kepala.

Ah, saya jadi ingat 'mantera'  sakti di dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuady: "Man Jadda Wajada! Siapa yang sungguh-sungguh, akan berhasil!" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun