Maka pada suatu pagi di hari Minggu tanggung bulan, mie lidi itu menjelma jadi sesuatu yang mirip-mirip Mie Aceh. Degdegan juga saya ketika istri saya meletakkannya di atas meja. “Ayo makan….Cobain deh,” katanya. Saya agak ragu. “Kamu udah nyoba?” saya bertanya. Ia tak menjawab. “Coba dulu deh……” kata dia.
Eh, ternyata tak mengecewakan. Walau belum begitu persis dengan yang asli, mie lidi yang disulap jadi Mie Aceh itu sedap juga. Gurih dan legit. Kenyal dan tebal. Sepiring besar ludes. Putri saya juga menikmatinya walau mengeluh pada panas dan pedasnya.
()()()
Kata orang-orang pintar di bidang konseling masalah-masalah keluarga, jika seorang suami memuji masakan jenis tertentu bikinan istrinya, maka bersiap-siap lah untuk mendapatkan bertubi-tubi kejutan yang sesungguhnya tak mengejutkan lagi, yakni suguhan masakan yang pernah dipujinya itu secara terus-menerus. Ini saya alami. Sejak pengalaman ‘menyulap’ mie lidi jadi Mie Aceh itu, istri saya seakan terobsesi dengan mie lidi. Mie lidi yang tempo hari boleh dapat dari tetangga, sampai berhari-hari dicicil-cicil menjadi hidangan rutin di rumah kami. Sampai-sampai kami absen berhari-hari dari membeli Mie Aceh lepau langganan.
Tampaknya obsesi semacam itu lah yang mendorong dia memberi perintah kepada saya untuk mencari mie lidi. “Kata orang, di Pasar Senen banyak yang jual. Singgahkan lah ke sana sepulang kerja,” kata dia. Saya diam saja. Tapi dalam hati saya berpikir, kok kenapa harus ke Pasar Senen. Dimana-mana pasti dengan mudah mencarinya. Ini Pulau Jawa, Mak. Segala apa juga pasti ada.
Pada langkah pertama, pencarian mie lidi membawa saya ke Pasar Modern di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD). Hanya 10 menit perjalanan dari rumah kami. Hari Sabtu pagi-pagi sekali kami berangkat. Kebetulan, Amartya, putri saya, juga tengah kebagian amanah dari sekolahnya untuk menyediakan karangan bunga buat hiasan di meja Bu Guru. Sebagai bendahara kelas (sampai sekarang, saya tertawa geli tapi juga bangga bila mengingat jabatan putri saya itu. Jabatan itu pasti lah bukan titisan dari ayahnya, yang samasekali suka teledor dan tak punya bakat soal urus-mengurus uang), ia bertanggung jawab untuk menyediakan beberapa kebutuhan kelas menggunakan uang kas hasil swadaya siswa. Dan kali ini ia meminta saya menemaninya mencari karangan bunga yang pas dengan budget mereka. Tiap kali ketemu dengan karangan bunga yang saya anggap bagus, selalu ia pertimbangkan dulu harganya dengan uang yang tersedia di kantongnya. Saya sudah berkeras untuk menambahi kekurangannya, ia bergeming. Ia tetap keukeuh, akan mencari bunga yang sesuai dengan kekuatan keuangan mereka. Good, pikir saya. Semoga saja ia bisa mempertahankan sikap yang begitu hingga nanti dia dewasa.
Kami berkeliling Pasar Modern yang luas itu. Tersedia banyak karangan bunga yang bisa dipilih oleh putri saya, tapi anehnya, yang menjual mie lidi samasekali tak ada. Beberapa pedagang yang kami tanya, ada yang merasa tak pernah dengar apa itu mie lidi. Ah. Maccam mana pula’ ini. Bukan hanya minyak tanah dan air minum dalam galon yang mulai langka. Mie lidi pun ikut raib.
Lebih dari satu jam kami berkeliling, tak ketemu pedagang mie lidi.
Di rumah ketika saya melaporkan kegagalan perburuan ini, saya mendapati wajah istri yang sedikit kesal, seolah memancarkan pesan, “I told you so…..Apa kubilang…..”
Tak terima akan situasi ini, saya segera melarikan motor ke Pasar Jombang, tak jauh dari rumah. Ini adalah pasar tradisional yang sudah tua tetapi hidup, satu kelas di atas pasar di kampung kami Sarimatondang. Hati saya bersorak gembira ketika menyaksikan banyak kios yang menjajakan beraneka jenis mie. Yang kiloan, yang dibungkus dalam plastik, yang bihun dan sebagainya. Tapi semangat saya segera meredup tatkala menyadari bahwa tak satu pun yang menyediakan mie lidi. Seperti di Pasar Modern, bahkan ada juga pedagang ya