Mohon tunggu...
Ben Siadari
Ben Siadari Mohon Tunggu... profesional -

For today and its blessings, I owe the world an attitude of gratitude

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Berburu Mie Lidi ke Pasar Senen

23 Februari 2011   02:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:21 4888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_90821" align="alignleft" width="300" caption="Mie lidi yang sudah dilembutkan dengan menyeduhnya dengan air panas"][/caption] Baru-baru ini saya mendapat perintah gawat. Sumbernya tak tanggung-tanggung: istri sendiri. Perintahnya: tolong cari mie lidi di Pasar Senen. Dan, saya menerimanya tanpa membantah.

Bukan apa-apa. Kalau sudah menyangkut urusan masak-memasak dan urusan dapur, sebaiknya para istri tak usah dilawan. Bisa repot urusannya. Saya punya pengalaman pahit dalam hal ini. Akibat kelalaian yang sebenarnya sepele menurut ukuran kita para lelaki, eh, rasa tak enaknya bertele-tele sampai berbulan-bulan. Kapok dah.

Misalnya, kejadian pada beberapa bulan lalu. Ceritanya, pada suatu hari Sabtu saya ingin melampiaskan kreatifitas terpendam dalam bidang kuliner. Memasak mi instan ala Sarimatondang dengan resep yang saya sendiri yang tahu. Mie instan dicampur macam-macam: suwiran telor dadar, irisan kol, toge, tomat, bawang, cabai rawit, kembang kol, daun seledri, margarine secukupnya dan petai sebanyak-banyaknya. Tetapi karena begitu asyiknya, seusai mendaulat diri sendiri serasa chef paling top seantero rumah, saya lupa meletakkan pisau dapur entah dimana. Pokoknya pisau itu lenyap, mungkin terselip di balik potongan-potongan sisa sayur dan kulit bawang lantas terbuang ke tempat sampah.

Ketika sore harinya istri saya tahu pisau dapurnya raib, wah, alangkah dahsyat kemarahannya. Berminggu-minggu bahkan sampai lebih dari sebulan, ia selalu tampak kesal bila ingat pada pisau dapurnya. Kalau di televisi ada siaran masak-memasak dan layar monitor mempertunjukkan orang sedang memotong-motong brokoli, teringat lah dia pada pisau dapurnya. Saya kena damprat. “Kamu sih….sok tau aja ingin masak. Jadinya pisau dapur saya hilang…..”

Setiap pagi manakala tukang sayur keliling berhenti di depan rumah dan memotong-motong ikan pesanan pembelinya, istri saya kembali terkenang pada pisau dapurnya. Dilihatnya betapa lajunya pisau Pak Sayur menyayat daging ikan, kelalaian saya kena sentil lagi. “Ah….mangkanya, lain kali kalau pakai pisau, letakkan baik-baik. Jangan asal …..”

Lain waktu, kami melintas di lapak penjual buah dan menyaksikan buah apel besar yang ranum-ranum. Agaknya tergerak hatinya ingin membeli. Tetapi, niatnya seolah terhenti karena ingat sesuatu. “Ah….pisau dapur gue kemana ya? Paling mantap ngupas apel pake pisau itu. Lu sih…. Sok sibuk pengen bikin masakan ini lah…. itu lah…. Pisau dapur gue jadi melayang entah kemana….”

Begitu lah. Masih banyak lagi kejadian-kejadian yang mengingatkannya pada pisau dapurnya. Dan pada saat semacam itu, terpaksa telinga harus dibiarkan menebal karena mendengar nada ketus kekesalannya bertubi-tubi.

Kalau melihat tampang pisau dapur ‘jahanam’ itu, mungkin banyak orang yang bakal terpingkal-pingkal. Sungguh tak ada istimewanya, sebenarnya. Kayu kecil yang jadi pegangannya, hampir pecah dan terpaksa diikat memakai karet gelang. Bagian tengah pisau yang biasa digunakan untuk memotong dan mengupas, bentuknya sudah cekung, karena terlalu sering diasah. Pisau dapur itu sungguh-sungguh sudah tua. Tapi memang saya harus mengakui, ia jadi pisau favorit kami sekeluarga. Memotong sayuran, mengupas buah, bahkan memotong tali rapia manakala susah mencari gunting, pisau dapur itu sangat serbabisa. Kami punya beberapa pisau dapur. Model kampung mau pun yang rada kota. Anehnya, pisau dapur yang hilang itu tetap jadi idola. Tak tergantikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun