Mohon tunggu...
Febri Fajar Pratama
Febri Fajar Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Pendidikan Kewarganegaraan

Penulis biasa. Masih butuh banyak belajar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Serentak di Masa Pandemi: Mungkinkah Ditunda?

24 November 2020   13:39 Diperbarui: 24 November 2020   19:16 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pandemi global covid-19 yang terjadi saat ini benar-benar membuat negara-negara di dunia kalangkabut. Selain dampak kesehatan yang mengancam jiwa, isu resesi akibat covid-19 pun seolah menjadi momok menakutkan yang siap menyambut dan mengancam stabilitas ekonomi. 

Semua aktivitas yang melibatkan kerumunan massa atau potensi interaksi sosial yang tinggi seperti perkantoran, sekolah, fasilitas umum, pasar tradisional, mal, ruang publik, dan kegiatan pariwisata terpaksa harus dibatasi. 

Masyarakat juga dihimbau untuk patuh pada protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh WHO seperti menerapkan social distancing (pembatasan sosial), physical distancing (jaga jarak), cuci tangan dengan menggunakan sabun / hand sanitizer, memakai masker dan sebisa mungkin tidak keluar rumah untuk memutus rantai penularan. 

Hal tersebut tentu saja terpaksa harus dilakukan karena hingga saat ini para ilmuwan belum bisa menemukan vaksin yang mujarab untuk menyembuhkan virus berbahaya ini. Maka dari itu solusi sementara yang ditawarkan yakni dengan mengoptimalkan upaya pencegahan. 

Mau tidak mau, langkah ekstrim yang diambil sejumlah negara adalah dengan menerapkan lockdown seperti yang dilakukan oleh pemerintah China ketika awal virus covid-19 muncul di kota Wuhan pada Januari 2020 lalu.

Lockdown dilakukan secara bertahap dan terstruktur, pada tahap awal, otoritas setempat masih memperbolehkan masyarakat berbelanja untuk memenuhi kebutuhan, transportasi juga masih diperkenankan tetapi dengan jumlah armada yang terbatas. 

Masyarakat hanya dihimbau sebisa mungkin untuk tidak keluar rumah (self-isolation) jika memang tidak ada keadaan mendesak. Kemudian secara bertahap mobilitas mulai dibatasi, masyarakat tidak diperbolehkan untuk keluar lintas distrik, petugas disiagakan untuk memantau keadaan dan tahap terakhir adalah lockdown secara total. 

Setelah WHO mengumumkan bahwa virus covid-19 menjadi pandemi global, beberapa negara juga mengambil langkah yang sama dengan China, yakni melakukan lockdown, seperti Italia, Denmark, Spanyol, Singapura, Prancis, Vietnam, dan Malaysia. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Meskipun sebelumnya Indonesia memiliki pengalaman dalam menangani kasus wabah penyakit menular seperti SARS pada tahun 2002, flu burung (H5N1) tahun 2007, pandemi flu babi tahun 2009, MERS-CoV pada tahun 2012 dan ebola di tahun 2014 tidak serta merta membuat Indonesia menjadi tanggap terhadap datangnya bencana maupun pandemi yang muncul secara tiba-tiba. 

Sayangnya Indonesia tidak pernah mau belajar dari pengalaman masalalu. Hal tersebut terbukti dengan selalu banyaknya korban jiwa yang entah diakibatkan oleh adanya bencana alam maupun wabah penyakit. Terlebih masalah covid-19 saat ini. Setiap hari kurva penularan virus corona di Indonesia terus meningkat, bahkan lonjakan kasusnya bisa mencapai ribuan per-hari.

Kebijakan yang diambil pemerintah juga dirasa kurang tegas dan terkesan plinplan karena kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan para tenaga medis, sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. 

Jika sedari awal pemerintah berani menerapkan aturan yang tegas untuk melakukan pembatasan sosial menyeluruh ketika awal pandemi berlangsung, maka lonjakan kasus covid-19 tidak akan terlalu signifikan seperti sekarang ini. 

Kita contoh Vietnam yang banyak dipuji karena menerapkan mitigasi pencegahan penyebaran covid-19 dengan baik. Pada saat terdeteksi adanya dua kasus yang terkonfrmasi positif Covid-19, pemerintah Vietnam langsung membuat pusat pencegahan epidemi darurat dan membatasi penerbangan dari dan menuju Wuhan. Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc juga langsung menyatakan sikap untuk berperang melawan virus corona. 

Fasilitas umum seperti pusat perbelanjaan, kantor dan sekolah langsung ditutup, menyisir orang-orang yang melakukan penimbunan masker dan hand sanitizer, mempersiapkan alat tes, wajib masker, arus transportasi dibatasi (kecuali logistik), melarang adanya kerumunan lebih dari 20 orang, dan benar-benar menerapkan karantina secara ketat dan disiplin sehingga Vietnam bisa menekan angka korban meninggal seminimal mungkin. 

Sedangkan Indonesia, terkesan malah seperti meniru Italia yang tidak mau mengindahkan anjuran dari WHO untuk membatasi penerbangan dari dan menuju China saat wabah mulai menyebar sehingga menyebabkan Italia menjadi episentrum penyebaran corona di Eropa. Ketika jumlah kematian akibat covid sudah mencapai ratusan, Italia baru mengumumkan lockdown.

Indonesia juga hampir sama dengan kondisi Italia saat itu, bahkan Menteri Kesehatan malah sering membuat pernyataan-pernyataan yang kontroversial, seperti "orang Indonesia tidak akan tertular virus corona", "tingkat kematian akibat flu lebih tinggi dari corona, kenapa kita harus khawatir?", "doa menjadi penyebab virus corona tidak masuk ke Indonesia", "virus corona akan sembuh sendiri", dan sebagainya. 

Ditambah simpang siur informasi terkait dengan penggunaan masker diperuntukkan bagi yang sakit saja, kemudian diralat kembali bahwa yang tidak sakit juga harus menggunakan masker dan berbagai macam info-info yang justru malah membuat pusing. 

Belum lagi masyarakat yang kurang kesadaran tentang bahayanya virus corona karena banyak termakan isu konspirasi dan berita hoax yang beredar. Terlebih kondisi sosial ekonomi masyarakat menengah ke bawah yang sangat terdampak oleh adanya pembatasan sosial berskala besar yang mengakibatkan mereka tidak dapat bekerja seperti biasa, banyak yang terkena PHK dan lain sebagainya yang pada akhirnya memunculkan rasa skeptis kepada pemerintah.

Di tengah permasalahan mengenai upaya penangan corona yang dilakukan oleh pemerintah, muncul berita yang sangat menarik perhatian masyarakat luas, yakni pelaksanaan Pilkada serentak pada bulan Desember nanti. 

Keputusan tersebut dipandang sangat kontradiktif dengan misi pemerintah untuk memutus rantai penyebaran virus covid-19 dikarenakan pilkada serentak dikhawatirkan akan menjadi kluster baru penyebaran virus. 

Bukan tanpa alasan masyarakat mempertanyakan keputusan tersebut, disaat pemerintah sedang gencar untuk menghimbau masyarakat menghindari kerumunan dan melakukan aktivitas yang bersifat mengumpulkan massa, disaat yang sama pula pemerintah malah membuat blunder kebijakan. 

Kemudian muncul desakan dari masyarakat kepada pemerintah untuk mengkaji kembali agar penyelenggaraan Pilkada serentak ditunda. Namun, pemerintah bergeming dengan alasan tidak mungkin untuk menunda kembali pelaksanaan Pilkada serentak karena tidak ada jaminan bahwa pandemi akan segera berakhir dalam waktu dekat. Bagai makan buah simalakama, mundur kena maju kena. 

Di satu sisi, masyarakat sudah mulai sadar dan menginginkan adanya keadilan dari pemerintah untuk berkomitmen secara penuh terhadap pencegahan virus covid-19, di sisi lain, pemerintah juga ingin tetap melaksanakan agenda Pilkada agar sistem politik pemerintahan daerah tetap berjalan meskipun harus menghadapi potensi resiko lonjakan kasus covid-19 yang mungkin terjadi selama pelaksanaan Pilkada serentak nanti. 

Pada akhirnya akan muncul ketidakpercayaan kepada pemerintah dan apatisme terhadap Pilkada dari masyarakat yang menyebabkan fenomena kelompok "golongan putih" sehingga tingkat partisipasi pemilih menjadi rendah. Masyarakat cenderung menginginkan agar anggaran Pilkada serentak dialokasikan untuk mengatasi pandemi covid-19, khususnya pemulihan ekonomi.

Terlepas dari bermacam masalah yang sudah dijelaskan di atas, coba kita gunakan sudut pandang pemerintah untuk memberikan gambaran yang adil 'cover both side' tentang penyelenggaraan Pilkada serentak ini. 

Pemerintah menilai setidaknya ada 5 urgensi mendasar tetap diselenggarakannya Pilkada serentak. Pertama, tidak ada kepastian kapan corona akan berakhir, sehingga tidak mungkin jika Pilkada harus ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan, toh negara-negara lain juga tetap menyelenggarakan pemilu dengan tetap mengutamakan protokol kesehatan, seperti Malaysia, Singapura, Suriah, Polandia, dan Korea Selatan. 

Kedua, keputusan sudah bersifat final dan disetujui oleh Pemerintah, Komisi II DPR, partai politik, KPU, DKPP dan Bawaslu. 

Ketiga, roda pemerintahan daerah harus tetap berjalan secara optimal, caranya yaitu dengan memilih kepala daerah yang definitif. Tidak bisa semua daerah dipimpin oleh PLT (Pelaksana Tugas), karena kewenangannya terbatas, terutama yang bersifat strategis, sesuai dengan Surat Edaran Badan Kepegawaian Negara Nomor 2/SE/VII/2019 Tahun 2019 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian. 

Keempat, momentum Pilkada serentak menguji kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi sekaligus untuk menyatakan sikap dalam memerangi corona. 

Kelima, Pilkada serentak dapat memacu roda perekonomian di tengah situasi pandemi yang terjadi.

Jika melihat kelima urgensi tersebut, sebenarnya tidak masalah bila memang Pilkada serentak tetap harus dilaksanakan. Namun, pemerintah juga harus menjamin pelaksanakaan Pilkada serentak nanti benar-benar aman.

Protokol kesehatan tidak boleh dikesampingkan, bila perlu tindak tegas masyarakat, bakal calon ataupun kader partai yang melanggar protokol kesehatan dengan membuat kerumunan massa, tidak menggunakan masker, dan tidak menjaga jarak, sesuai Inpres No. 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019. Dengan begitu, masyarakat akan merasa aman dan tidak perlu khawatir dengan adanya penyebaran virus, jika hal tersebut diabaikan, lebih baik Pilkada ditunda kembali. 

Kemudian, pemerintah juga harus benar-benar memperhatikan mitigasi covid-19 sebelum Pilkada serentak dilaksanakan, jika kasus semakin meningkat, maka pemerintah sebaiknya jangan memaksakan untuk tetap menyelenggarakan Pilkada serentak dan mempertimbangkan untuk memperpanjang penundaan Pilkada hingga tahun depan, sesuai Perppu No. 2 Tahun 2020 Pasal 120 ayat (1) angka (3) yang berisi, "Dalam hal pemungutan suara serentak pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non-alam dan dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun