Di sebelahnya, Divani dengan bajunya yang berlumuran darah, duduk dengan gemetar. Wajahnya mendadak terlihat pucat yang diduga trauma kejadiannya dulu telah membuatnya seperti itu.
Panji yang melihat pemandangan itu, emosinya pun menjadi meluap. Dia tanpa berpikir panjang, sambil membawa parang (Arit, Pisau atau Parang yang tajam) segera meloncat dan membabat habis semak rimbun di pinggir sungai.
"Ayooo keluar jika berani! Hadapi aku!!" teriak Panji dengan histeris tanpa tahu musuhnya seperti apa yang akan dihadapinya.
"Tolooong Ayaaaaaaahhhhh!, Jangaaaaannnn!", Tiba-tiba Panji mendengar teriakan Divani yang terhenti. Dia pun segera berlari kembali ke Gendhis istrinya yang masih di tengah sungai dangkal itu.
Sungguh pemandangan yang mengerikan ada di depannya. Gendhis, istri yang dicintainya terlihat meregang nyawa dengan memegang lehernya yang terlihat tersayat benda tajam dan mengucurkan darah segar.
Sedangkan Divani yang terlihat penuh darah di rambutnya sedang terlentang dalam posisi seperti orang mati, apakah dalam keadaan setengah sadar atau pingsan di air sungai yang dangkal tersebut. Panji tidak bisa memastikannya karena pikirannya sangat kalut.
Dalam perasaan kebingungan, ketakutan dan kemarahannya, Panji menjadi tidak tahu harus berbuat apa. Anak dan istrinya tewas tanpa mengetahui bagaimana kejadiannya. Dia terduduk lemas melihat orang-orang yang disayanginya bergelimpangan tewas menyedihkan.
Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar seperti ada derap langkah kaki beberapa orang atau hewan yang menuju ke arahnya. Panji tidak yakin makhluk apa yang akan mendekat.
Dengan cepat, dia pun segera menggendong Divani yang masih pingsan dan membawanya lari untuk bersembunyi di semak belukar di balik Pohon Ulin yang menjulang tinggi besar di pinggir sungai.
Panji segera waspada dan menyiapkan parang besarnya yang tajam untuk menunggu bahaya apa yang menuju ke arahnya. Mata tajamnya menangkap beberapa semak bergoyang di kejauhan.
Baca Juga  :  Pak Kadirin dan Malam Lebaran