Mohon tunggu...
Eko Adri Wahyudiono
Eko Adri Wahyudiono Mohon Tunggu... Guru - ASN Kemendikbud Ristek

Mengajar dan mendidik semua anak bangsa. Hobi : Traveling, tenis, renang, gitar, bersepeda, nonton film, baca semua genre buku, menulis artikel dan novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Namaku Divani

2 Mei 2024   05:50 Diperbarui: 6 Mei 2024   18:53 1833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 'Namaku Divani'. Sumber gambar bec.natura.com

Sambil duduk di pinggiran sungai kecil yang airnya dangkal dan mengalir pelan, Panji, lelaki tua yang berkulit hitam legam dan berotot kekar itu tersenyum melihat gerak-gerik Fadil, anak laki-laki tampan semata wayangnya yang sudah menginjak remaja, sedang terlihat kasmaran dengan mencuri pandang ke arah Divani.

Gendhis, istri Panji juga menyadari akan hal itu namun dia berpura-pura tidak tahu dan malah memberi kode pada suaminya untuk membiarkan hal itu dan meneruskan pekerjaannya mendulang intan di jeram dangkal di tengah hutan rimba di Borneo.

Setelah minum seteguk air putih rebusan istrinya dari wadah bekas batok kelapa, Panji mencoba untuk bersandar pada Pohon Damar kecil di pinggir sungai kecil itu demi menghilangkan pegal di punggungnya akibat terlalu sering membungkuk karena mengayak saringan nampan dari rotan atau bambu yang berisi butiran pasir sungai untuk mendulang intan.

Matanya mengamati Divani, gadis cantik di depannya yang saat ini sedang membantu Gendhis, istrinya dan juga Fadil untuk menambang butiran intan kecil di sungai dangkal berpasir. Semua terlihat sibuk bekerja menyaring pasir sungai di nampan yang terbuat dari bambu hasil anyamannya.

Panji sangat mengingat pada peristiwa tiga bulan lalu saat baru pertama kali menjejakkan kakinya di tanah Borneo untuk mengikuti program transmigrasi dan memilih Kalimantan sebagai daerah koloni baru bagi keluarganya.

Semua itu dilakukan demi memperbaiki nasib perekonomian keluarganya yang bangkrut akibat terlilit utang untuk modal usaha dari rentenir sehingga sawah sepetak dan rumahnya telah disita sebagai biaya pelunasan.

Saat ada kesempatan dan mendapat tawaran ke Kalimantan, tanpa berpikir panjang, Panji dan istrinya, Gendhis serta anak laki-lakinya, Fadil segera berangkat ke Kalimantan.

Namun sayangnya, di lahan transmigrasi, tanahnya berjenis gambut dan tidak bisa ditanami jenis palawija. Terpaksa, dia mengikuti jejak beberapa orang keluarga yang sudah datang terlebih dahulu di Borneo untuk mengadu nasib menjadi penambang liar dengan mencari intan yang ada di hutan pedalaman.

Saat tiba di daerah pertambangan intan liar di tengah hutan, Panji langsung mendengar adanya banyak rumor bahwa beberapa tetangganya yang berangkat terlebih dahulu, ternyata banyak yang dikabarkan meninggal dunia.

Kabar yang menakutkan terhembus bahwa mereka semua rata-rata terbunuh dalam keadaan menyedihkan. Para penambang merasa ketakutan karena ada desas-desus, mereka mati karena dibunuh oleh makhluk penjaga hutan di daerah tambang intan illegal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun