Mohon tunggu...
Eko Adri Wahyudiono
Eko Adri Wahyudiono Mohon Tunggu... Guru - ASN Kemendikbud Ristek

Mengajar dan mendidik semua anak bangsa. Hobi : Traveling, tenis, renang, gitar, bersepeda, nonton film, baca semua genre buku, menulis artikel dan novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kecelakaan Mengerikan Terjadi di Depan Gerbang Sekolah

23 Februari 2024   14:26 Diperbarui: 10 Juni 2024   18:04 2108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi laka sepedamotor pelajar di depan sekolah. Sumber gambar bulletinkompaspagi.com

Setelah menyantap sepotong roti bakar, sebutir telur ayam rebus dan segelas teh manis untuk menu rutin sarapan pagi, tanganku segera mengangkat tas sekolah yang ada di kursi sebelahku di dekat meja makan dan kucium tangan ibuku untuk berpamitan sebelum berangkat sekolah.

Itu adalah kegiatan rutinku setiap pagi. Meski begitu, kebiasaan bangun pagi untuk salat subuh dan membantu ibuku dengan memberi makan beberapa ayam kampung sebagai satu-satunya mata pencaharian penopang ekonomi keluarga, kujalani dengan ikhlas tanpa mengeluh.

Sebagai anak semata wayang ibuku, aku tidak ingin menjadi beban bagi beliau atau membuatnya bersedih hati memikirkan nasib dan masa depanku yang mungkin terlihat tidak pasti di mata beliau.

Semenjak ayahku meninggal 10 tahun yang lalu karena kecelakaan sepeda motor saat bekerja menjajakan sayur berkeliling dari satu komplek perumahan ke perumahan lainnya, ibu tidak ingin menikah lagi dan hanya fokus pada diriku yang saat ini masih menjadi pelajar kelas 11 SMA negeri terfavorit di kotaku.

Baca Juga : Ludah

Untuk menyenangkan hati ibuku, kupacu keras prestasi belajarku di sekolah. Tidak heran, peringkat satu paralel, setiap tahunnya bisa aku sabet dan juga beberapa prestasi di bidang non akademik serta banyak sertifikat juara dari beberapa event kejuaraan yang diadakan oleh kampus ternama di tanah air.

"Fathan, hati-hati di jalan dan bersemangatlah dalam belajar di sekolah demi masa depanmu, nak!" pesan ibuku saat kucium telapak tangannya sebelum berangkat ke sekolah.

Meskipun nama lengkapku Ardhian Fathan Gusti Putra, tapi ibuku selalu memanggilku 'Fathan' dan akhirnya semua temanku juga begitu.

"Iya, siap bu!, mohon doanya selalu!", kujawab kalimat ibuku sambil berlari ke arah Dhava yang sudah menunggu di depan rumah sederhana ibuku yang berdinding gedhek bambu peninggalan ayahku. Kulihat ibuku, kali ini anehnya tidak membalas lambaian tanganku namun hanya berdiri mematung menatapku dari teras rumah.

Dhava Rizky Ariyanto, sahabatku sekelas yang juga tinggal satu desa denganku, setiap pagi selalu setia menjemputku untuk berangkat ke sekolah. Dia juga anak tunggal seperti diriku dan ayahnya merupakan seorang kepala desa di daerah kami tinggal.

Selama perjalanan ke sekolah yang berjarak 20 kilometer dari desa kami berdua, hal yang biasanya kami bahas berdua selalu tentang pelajaran atau tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Semua itu semata demi menjaga prestasi kami berdua di sekolah dan juga untuk tekad diri dalam mewujudkan cita-cita untuk menjadi orang yang sukses agar bisa membahagiakan orangtua.

"Fathan!, kamu tahu nggak, dengar-dengar nih!,..tapi ini rahasia lho!, kamu tahu, teman kita yang cantik dan pandai yang bernama Amelia naksir berat lho sama kamu!" kata Dava sambil mengendarai sepeda motornya dan sesekali menoleh ke arahku yang diboncengnya.

Meskipun ada angin pagi yang menderu suara Dhava, tapi tetap bisa kudengar suaranya dengan jelas. "Ah!, kamu ini bisa saja! Kata siapa juga tuh!, Ada-ada saja kamu ini dapat info seperti itu!" Kujawab kalimat Dhava setelak kubuka kaca plastik pelindung wajah di helm yang kukenakan sambil sesekali kupukul punggungnya.

Baca Juga : Ketika Aku Bertemu Diriku

Reaksi Dhava hanya tertawa terbahak-bahak sambil menggodaku sebagai sahabat dekatnya. Namun, sejujurnya, hatiku juga kaget saat dia bertanya seperti itu karena sebenarnya, baru minggu lalu, aku sudah jadian sama Amelia dan kelihatannya Dhava serta temanku lainnya belum mengetahui tentang hubungan backstreet romance-ku dengan Amelia.

Sekarang, dia sudah resmi menjadi pacarku. Kuakui memang aku menyukai Amelia sejak pertama kali bertemu. Disamping dia pandai, ramah, dengan senyum manis serta giginya yang rapi, juga mata dengan kacamatanya yang teduh membuatku jatuh hati padanya.

Tidak terasa tinggal 100 meter lagi sepeda motor yang kami tumpangi akan memasuki gerbang sekolahku dan secara otomatis semua sepeda motor yang juga dinaiki para siswa lainnya, segera mengurangi kecepatan untuk berbelok termasuk sepeda motor kami.

Namun, dari sudut mataku, terlihat dari kejauhan ada sebuah mobil sedan warna hitam yang berjalan dengan kecepatan tinggi setengah zig-zag dan hal itu membuatku sedikit khawatir.

Tiba-tiba terdengar suara "Bruaaakkkk!!!' dan benar, sesuai dugaanku, saat aku menoleh dan akan memasuki gerbang sekolah, mobil sedan itu pun menghantam beberapa sepeda motor hingga banyak para pengendara sepeda motor yang kebanyakan para pelajar SMA terpental.

Beberapa sepeda motor terlihat ringsek dan para pelajar SMA di sekolahku banyak yang terkapar di jalan raya. Mobil tetap melaju dan akhirnya berhenti beberapa meter setelah menabrak pohon di trotoar jalan.

Seketika suasana Jalan raya menjadi penuh jeritan anak-anak SMA yang selamat dan beberapa lainnya berlarian untuk memberikan pertolongan. Tidak terkecuali para guru yang bertugas piket di pintu gerbang sekolah dan orang tua murid yang mengantar anak mereka yang juga tampak ikut panik.

Isak tangis histeris terdengar di sana sini. Banyak para korban yang bajunya penuh darah dari luka dan juga sobek sedang diangkat oleh beberapa orang ke pinggir jalan raya untuk segera diberikan pertolongan pertama.

Jantungku rasanya berhenti berdetak melihat kejadian yang baru saja berlangsung di depan mataku. Aku pun juga berusaha memberikan bantuan semampuku dengan ikut mencari tahu siapa saja para temanku yang telah menjadi korban kecelakaan.

Kulihat sahabatku Dhava sedang duduk dan membantu seorang pelajar yang tergeletak di pinggir jalan. " Ah!, untungnya Dhava selamat dan dia pasti sedang memberikan bantuan pertolongan pada korban", gumamku dalam hati.

Suasana semakin menjadi ramai dengan datangnya beberapa ambulan dan tenaga medis dari rumah sakit daerah di kotaku. Belum lagi adanya beberapa kemacetan yang terjadi di sepanjang ruas jalan akibat kecelakaan fatal yang mengerikan di depan sekolahku itu.

"Maaf, Pak! Siapa saja yang menjadi korban? Berapa anak? Adakah yang meninggal? Siapa saja yang luka berat atau ringan?" Itu semua adalah pertanyaan yang ada di kepalaku dan akan segera kutanyakan pada Pak Aditya, seorang guru baru di sekolahku yang sedang berdiri di sampingku.

Pak Aditya hanya menoleh padaku tanpa menjawab. Aku baru menyadari bahwa, pak Aditya tidak mengajar di kelasku, maka pantas saja dia tidak mengenaliku dan rupanya di depan beliau juga pas ada Bapak Kepala Sekolah yang sedang melihat situasi dengan bertanya pada pada Aditya.

"Ada 2 siswa yang meninggal, pak! Sedangkan yang luka ringan ada 6 anak. Untuk yang luka berat dari laporan polisi tadi ada 2 anak dan saat ini di bawa ke rumah sakit untuk penanganan" Jelas pak Aditya. 

Akhirnya dari hasil mencuri dengar penjelasan pak Aditya kepada kepala sekolah, aku jadi tahu jumlah korban kecelakaan di situ.

Setelah itu, aku pun bergegas ke arah ambulan yang akan membawa korban yang meninggal ke rumah sakit. Dari beberapa meter jarak, tampak Dhava yang sedang berdiri di sebelah korban meninggal.

Baca Juga : Jiwa Tak Bersayap

Saat itu juga kulihat ada sosok pacarku, Amelia yang sedang berdiri di sana dan tampak selamat meskipun dia terlihat shock dengan berlinang airmata. "Pastilah, semua yang melihat kecelakaan fatal yang mengerikan dengan banyak korban di depan gerbang ini tentu akan menjadi trauma", kata hatiku sendiri untuk menenangkan diri.

Kulambaikan tanganku pada Dhava dan berjalan mendekatinya. "Siapa yang meninggal? Sungguh kasihan! Semoga meninggalnya dalam keadaan Husnul khatimah!" kataku setengah berbisik pada Dhava.

Tanpa banyak bicara dengan wajah yang pucat, Dhava mengajakku ke mobil Ambulan untuk ditunjukkan siapa yang meninggal karena ditabrak mobil yang lepas kendali tadi.

Di situ ternyata sudah ada Amelia dengan teman-temanku satu kelas. Anehnya, Amelia justru memeluk salah satu korban meninggal sambil menangis histeris di dalam ambulan. Dugaanku, itu pasti sahabat dekatnya. 

Tiba-tiba seorang perawat yang ada dalam mobil secara tidak sengaja membuka selimut penutup wajah kedua korban laka tersbut. Seketika rasa tidak percaya muncul di mataku. 

Aku menatap wajah Dhava di sebelahku karena aku tahu dan bisa mengenali dengan jelas wajah siapa yang menjadi korban kecelakaan. Satu hal yang mengherankan, mengapa satu dari kedua wajah korban laka itu bisa sama persis dengan wajahku dan yang satunya lagi adalah wajah Dhava.

Yogyakarta, 23 Februari 2024

Cerpen ditulis untuk Kompasiana.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun