Mohon tunggu...
Eko Adri Wahyudiono
Eko Adri Wahyudiono Mohon Tunggu... Guru - ASN Kemendikbud Ristek

Mengajar dan mendidik semua anak bangsa. Hobi : Traveling, tenis, renang, gitar, bersepeda, nonton film, baca semua genre buku, menulis artikel dan novel.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mewaspadai Modus Playing Victim di Sekitar Kita

13 Januari 2024   18:28 Diperbarui: 15 Januari 2024   09:49 3539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bullying ataukah Playing Victim di sekitar kita. Sumber gambar dari freepk via komaps.com

Apa respon Anda semua saat mendengar istilah "Playing Victim"? 

Pastilah merasa jengkel, gemas dan sekaligus heran karena tidak habis pikir bahwa ada perilaku aneh seperti itu.

Iya! playing victim sebetulnya adalah sebuah keadaan dimana ada seseorang yang mengaku bahwa dirinya sebagai korban dari hal-hal tindak kejahatan, penipuan, kekerasan, bullying, perselisihan atau hal buruk lainnya yang padahal justru dirinyalah yang sebenarnya adalah pelaku utama prima causa dari rentetan pada ekses kejadian buruk berikutnya.

Coba kita ingat baik pada kejadian dimana ada pengendara sepeda atau sepeda motor yang, maaf, dengan sengaja menabrakkan dirinya pada mobil yang berada di jalan raya dan kemudian berteriak mengaku terluka karena mobil tersebut menabraknya. Itu dilakukan agar orang-orang di jalan raya mendukungnya demi mendapat kompensasi finansial untuk biaya ganti rugi.

Namun, saat, pelaku diberitahu bahwa ada kamera CCTV (Closed Circuit Television) di dashboard mobil sebagi bukti terjadinya kecelakaan, justru si pelaku bergegas meninggalkan Tempat Kejadian Perkara (TKP).

Baca Juga : Punya Murid Kleptomania, Bagaimana Solusinya?

Juga pernah ada kasus yang dilaporkan bahwa dirinya telah dirampok di jalan raya sepulang dari sebuah bank saat membawa uang gaji karyawan sebuah perusahaan di mobilnya. Akan tetapi, setelah dilakukan penyelidikan dan olah TKP oleh pihak berwajib, ternyata uang perusahaan tersebut telah diambilnya sendiri dan berpura-pura menjadi korban perampokan.

Satu contoh kasus lagi di sebuah sekolah, ada seorang murid perempuan yang menangis setelah kegiatan upacara bendera di sekolah. Dia mengaku telah kehilangan uang Rp 2.000.000 yang ditaruh di dalam tasnya di kelas. 

Dia menuduh bahwa uang tersebut telah dicuri oleh murid lainnya. Dampaknya, suasana kelas menjadi tidak nyaman karena adanya rasa saling mencurigai.

Setelah memerhatikan rekaman CCTV di kelas pada jam pagi sebelum upacara bendera dan sampai selesai, tidak ditemukan adanya seorang murid pun yang masuk kelas. Semua tahu, bahwa setiap upacara bendera, semua murid akan berkumpul di lapangan. Aneh, kan?

Jadi dalam hal ini ada banyak kejanggalan seperti mengapa membawa uang sebanyak itu dan ditinggal di dalam tas, siapa yang mengetahui bahwa dia membawa uang, kenapa tidak dimasukkan saku dan dibawa saat mengikuti upacara bendera dan masih banyak pertanyaan lainnya.

Baca Juga : Menakar Tingkat Kenakalan Murid Sebelum Mengakar Parah

Sekiranya patut dikira dengan azas praduga tak bersalah, pastilah ada yang bermain playing victim dalam kejadian tersebut. Jujur, masih banyak contoh kasus seperti di atas di sekitar kita dan harus selalu diwaspadai.

Apakah playing victim itu suatu penyakit?

Jawaban secara jujurnya adalah IYA. Itu adalah penyakit mental karena pelaku merasa tidak memiliki kendali atas dirinya dan merasa bahagia bila banyak yang melihat ketidakberdayaan dirinya apalagi bila bisa menarik simpati orang lain agar dikasihani.

Mudah untuk mengetahui ciri-cirinya. Biasanya, para pengidap playing victim ini sering menyalahkan orang lain, tidak mau bertanggung jawab, takut disalahkan apabila ada masalah dan sulit bergaul dengan temannya karena dianggap tidak bisa dipercaya.

Playing victim dalam kasus bullying di sekolah

Sudah bukan rahasia lagi apabila ada perselisihan atau perkelahian antar murid di sekolah, semua akan membela diri, memposisikan dirinya dan mengaku sebagai korban agar mendapatkan perlindungan dan bebas dari sanksi hukuman.

Sampai lupa bahwa sebuah akibat itu sebenarnya adalah buah dari sebab. Semua akan saling tunjuk menyalahkan dan tidak mengakui sebagai prima causa (penyebab awal) dari sebuah kejadian buruk.

Tidak peduli dalam kasus ini, guru pun juga (bisa) bermain playing victim bila ada masalah dengan murid atau orangtua murid tanpa mengurai akar penyebab permasalahan tersebut muncul. Semua hanya bermain playing victim dan berperan sebagai korban demi melindungi dirinya sendiri.

Penyebabnya apa sih?!

Jika dicari penyebabnya, secara garis besar pelaku merasa tidak bahagia di masa kecilnya dan sering teraniaya yang mungkin disebabkan oleh pengalaman buruk yang menimpanya dan menjadikan trauma masa lalunya sampai menjelang dewasa.

Sampai saat ini belum ada cara yang jitu untuk menghadapi mereka yang suka berperan sebagai korban (playing victim). Hanya saja, dari beberapa pengalaman bila bertemu dengan mereka, cobalah untuk tidak menanggapinya secara emosional dan kita jadi terjebak mengikuti permainannya.

Baca Juga : Hindarkan Terlalu Banyak "Dopamin" pada Otak Anak Anda

Juga, janganlah memberikan simpati yang berlebihan pada kasus atau peristiwa yang menimpanya. Bila bisa, buatlah hubungan pertemanan yang standar dalam berinteraksi dengan mereka atau putuskan saja persahabatan dengan mereka meskipun terasa berat.

Terakhir, tidak ada salahnya bagi kita semua untuk selalu mewaspadai bahwa tidak semua orang akan bermaksud baik pada diri kita dan keluarga apalagi mereka yang suka berperan sebagai playing victim.

 "Perilaku bullying dan playing victim pada orang lain, sebenarnya dilakukan oleh mereka yang merasa LEMAH, namun anggapan masyarakat justru sebaliknya. Justru mereka yang disebut KUAT, akan melakukan perlindungan pada orang lain yang membutuhkan"

Artikel ditulis untuk Kompasiana.com

Magetan, 13 Januari 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun