Dampaknya, secara bawah sadar, mereka sering bertindak impulsif dan spontan untuk berperilaku di luar batas dari norma adat, masyarakat dan agama dan menimbulkan masalah sosial kemasyarakatan.
Pada fase itu mereka sering disebut sebagai troublemaker (pembuat masalah). Mereka sendiri tidak mampu untuk menyelesaikan masalah yang mereka buat dan parahnya, orangtua bersama guru, perlu duduk bersama untuk mencarikan pemecahan masalah dari buah kenakalan mereka.
Kedua adalah Juvenile Delinquency. Di tingkat ini, kenakalan murid yang terjadi sudah mengarah pada tindakan kriminalitas dan cenderung melawan norma dan hukum yang berlaku di masyarakat.
Murid di tingkat sekolah menengah dan bahkan mereka yang berada di bangku perkuliahan bisa melakukan pelanggaran hukum yang efek jeranya harus melalui putusan pidana dengan sanksi kurungan penjara.
Bagaimana menakar kenakalan siswa itu dan apa tolok ukurnya?
Untuk menemukan jawabannya, coba kita kembali ke bangku kuliah dan mengingat akan ilmu epistemologi yang pernah dilontarkan oleh John Locke, yaitu Teori Tabula Rasa.
Itu adalah teori yang menyatakan bahwa semua manusia sejak dilahirkan tanpa membawa mental bawaan dari orangtuanya. Semua orang ibaratnya dianggap sebagai kertas putih yang kosong tanpa tulisan atau coretan.
Jadi, semua aspek ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap pada anak akan diperoleh sedikit demi sedikit melalui persepsi alat indera mereka terhadap dunia luar.
Di sini, dunia pendidikan berperan penting dalam memberikan ketiga aspek di atas untuk membentuk karakter dan kepribadian yang positif sesuai dengan norma adat, agama dan masyarakat di mana mereka tinggal.
Sekolah, masyarakat dan orangtua mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya dalam proses "menulis, mencoret, menggambar, mewarnai atau mengisi" kertas kosong diri anak sedari masa kecil mereka dengan hal positif tanpa adanya graffities (coretan kosong tak bermakna).