Sudah tiga hari ini, setiap malamnya saya berdiri di balkon teras rumah di lantai 2 dan menatap gunung Lawu yang menjulang tinggi dengan kilauan api yang membakar hutan pinus di sepanjang lereng sampai mendekati puncak Lawu.
Dari kejauhan, sungguh terlihat bagaikan naga api raksasa yang sedang melilit badan gunung Lawu.Â
Masyarakat yang tinggal di Kota Magetan di Jawa Timur, Ponorogo, yang berbatasan dengan Karanganyar, Surakarta di Jawa Tengah dan sekitarnya pasti bisa melihat pemandangan yang mengerikan itu.
Kebakaran yang menghanguskan ratusan hektar dan hutan pinus itu sudah terjadi lebih dari 4 hari dan sampai malam ini, titik api masih belum mampu dipadamkan oleh para petugas bencana, aparat berwajib dan masyarakat.
Rasanya, saya seperti menjadi Kaisar Nero yang sedang mengamati Kota Roma yang terbakar dari istana. Desas-desus menyebutkan bahwa kebakaran itu disengaja atas Perintah Nero, kaisar Roma, namun beberapa ahli sejarah saat ini menampik rumor tersebut.
Kengerian melihat 'naga api' yang meliak-liuk dihembus angin di Gunung Lawu, Magetan  juga mengingatkan kita pada tragedi kebakaran yang menghanguskan kota Lahaina, Pulau Maui di Hawaii pada awal bulan Agustus 2023 dengan korban dari masyarakat yang hampir mencapai seratus jiwa lebih belum termasuk kerugian harta benda dan rumah mereka.
Siapa atau apa yang patut disalahkan dalam tragedi kebakaran itu?
Pasti semua akan sepakat untuk mengkambing hitamkan El Nino sebagai penyebab utamanya.Â
Memang diakui bahwa saat ini fenomena El Nino telah berdampak pada semua negara termasuk negara di dunia yang memiliki 4 musim sekalipun.
"El Nino adalah pemanasan yang berlebihan dan tidak normal pada permukaan air laut di lautan Pasifik. Dampaknya, hawa panas ekstrim menyebar ke berbagai negara termasuk Indonesia".
Akibatnya, banyak negara yang mengalami gagal panen, kekurangan sumber air, berbagai penyakit saluran pernapasan dan kematian mendadak akibat heat waves (gelombang panas) di banyak negara.
Kebalikan dari El Nino adalah La Nina yang membuat masyarakat kedinginan ekstrim bahkan badai salju di beberapa negara.
Semua itu karena permukaan lautan Pasifik berubah menjadi dingin berkepanjangan. Tingkat dampak kerusakan akibat La Nina pada alam dan manusia juga sama besarnya seperti halnya El Nino.
Manusia juga harus dijadikan tersangka?
Tentu saja harus! Sudah bukan rahasia lagi bahwa alam ini rusak juga ulah kita semua sebagai manusia.
Perilaku buruk kita pada alam dalam mengeksplorasi kekayaan alam tanpa batas dengan mengatas namakan komoditas ekonomi telah mengakibatkan penderitaan pada manusia di masa depan.
Coba cermati satu kasus kebakaran hutan yang terjadi di gunung lawu saat ini, pernahkah terpikirkan dari mana asal muasalnya titik apik?
Pertama, kebiasaan buruk dari para perokok yang membuang puntung rokok sembarangan dengan menjetikannya ke pinggir jalan tanpa memastikan bahwa bara api dari puntung rokok tersebut sudah benar-benar padam.
Kebiasaan buruk membuang puntung rokok seenaknya yang masih membara itu mungkin dilakukan oleh mereka yang sedang berjalan kaki, berkendara atau sedang mengemudikan mobil di jalan raya dan hal itu kita sering jumpai.
Kedua, kegemaran membakar sampah kering di musim kemarau saat angin sedang berhembus kencang di musim kemarau juga faktor kemungkinan yang bisa terjadi.Â
Apalagi, setelah membakar sampah kemudian ditinggal pergi begitu saja tanpa adanya pengawasan sampai apinya padam.
Pada kasus ini, juga terjadi pada kasus kebakaran dari lahan tebu yang siap panen atau sisa jerami kering di sawah yang dibakar. Beberapa pelepah daun kering yang masih terbakar, bisa jadi terbang terbawa angin yang terhempas dan jadi penyebab kebakaran daerah lainnya.
Ketiga, kekhilafan para pendaki gunung yang membawa botol minuman instan yang terbuat dari gelas atau kaca.
Seharusnya, botol kosong dari gelas itu dibawa turun lagi, namun alih-alih melakukan itu, perilaku pendaki yang ceroboh justru membuangnya ke semak belukar atau ilalang di kanan-kiri jalan setapak menuju ke puncak gunung.
Dampaknya, botol gelas atau pecahan kaca tersebut, mungkin juga telah berfungsi menjadi kaca pembesar (Suryakanta) dan membuat titik api pada ilalang kering di saat matahari bersinar terik pada musim kemarau seperti saat ini.
Keempat, Apalagi bila bukan faktor kesengajaan dari manusia karena memang sifat serakah pada eksplorasi kekayaan alam walaupun niat melakukan pembakaran itu terkadang awalnya hanya keisengan belaka dan menyesalinya setelah menjadi petaka.
Sambil termenung, rasanya ada kesedihan mendalam saat melihat gunung Lawu yang terbakar dan hanya mampu berdoa, semoga api segera bisa dipadamkan sebelum menjadi bencana nasional.
"Api, saat kecil menjadi kawan dan apabila besar menjadi lawan"
Renungan Tengah Malam, 1 Oktober 2023. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H