Kedua, kegemaran membakar sampah kering di musim kemarau saat angin sedang berhembus kencang di musim kemarau juga faktor kemungkinan yang bisa terjadi.Â
Apalagi, setelah membakar sampah kemudian ditinggal pergi begitu saja tanpa adanya pengawasan sampai apinya padam.
Pada kasus ini, juga terjadi pada kasus kebakaran dari lahan tebu yang siap panen atau sisa jerami kering di sawah yang dibakar. Beberapa pelepah daun kering yang masih terbakar, bisa jadi terbang terbawa angin yang terhempas dan jadi penyebab kebakaran daerah lainnya.
Ketiga, kekhilafan para pendaki gunung yang membawa botol minuman instan yang terbuat dari gelas atau kaca.
Seharusnya, botol kosong dari gelas itu dibawa turun lagi, namun alih-alih melakukan itu, perilaku pendaki yang ceroboh justru membuangnya ke semak belukar atau ilalang di kanan-kiri jalan setapak menuju ke puncak gunung.
Dampaknya, botol gelas atau pecahan kaca tersebut, mungkin juga telah berfungsi menjadi kaca pembesar (Suryakanta) dan membuat titik api pada ilalang kering di saat matahari bersinar terik pada musim kemarau seperti saat ini.
Keempat, Apalagi bila bukan faktor kesengajaan dari manusia karena memang sifat serakah pada eksplorasi kekayaan alam walaupun niat melakukan pembakaran itu terkadang awalnya hanya keisengan belaka dan menyesalinya setelah menjadi petaka.
Sambil termenung, rasanya ada kesedihan mendalam saat melihat gunung Lawu yang terbakar dan hanya mampu berdoa, semoga api segera bisa dipadamkan sebelum menjadi bencana nasional.
"Api, saat kecil menjadi kawan dan apabila besar menjadi lawan"
Renungan Tengah Malam, 1 Oktober 2023. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H