Mohon tunggu...
Eko Adri Wahyudiono
Eko Adri Wahyudiono Mohon Tunggu... Guru - ASN Kemendikbud Ristek

Mengajar dan mendidik semua anak bangsa. Hobi : Traveling, tenis, renang, gitar, bersepeda, nonton film, baca semua genre buku, menulis artikel dan novel.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Berani Alih Profesi? Simak Dulu Kasus Dhestan Ini!

13 Juli 2023   16:16 Diperbarui: 17 Juli 2023   18:00 1576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar dari alih profesi yang sudah diputuskan oleh kedua sahabat di saat karirnya yang menanjak dalam awal artikel di atas, ternyata ada 2 faktor yang bisa dikatakan menjadi "beban" secara moril maupun materiil bagi mereka.

Pertama Faktor Internal, yaitu beban terbesar adalah dirinya sendiri. Konflik batin sebelum dan setelah memutuskan untuk alih karir atau profesi bisa membesar ke arah vertikal dan horisontal terutama jika ada perberbedaan pendapat dari keluarga, orangtua, khususnya dari istri/suami.

Dhestan (nama samaran) yang berani alih profesi. (Sumber gambar: Dokumen pribadi)
Dhestan (nama samaran) yang berani alih profesi. (Sumber gambar: Dokumen pribadi)

Perihal keilmuan, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki untuk mengadapi di profesi barunya juga akan menjadikan pemikiran mendalam. Mampukah dirinya untuk eksis dan survive di peningkatan ekonomi setelahnya?

Kedua Faktor Eksternal, yaitu daya dukungan dari permodalan bila membuka usaha, tabungan awal untuk menopang ekonomi pada masa transisi saat alih profesi, jenis-jenis bidang usaha yang akan digeluti di tahap awal pasca resign dari pekerjaan lama dan penghasilan yang mapannya.

Penghasilan istri/ suami di masa krisis sebelum alih profesi atau karir dinyatakan berhasil dan juga lapangan pekerjaan masih tersedia atau tidak, merupakan faktor yang harus dipertimbangkan sebagai beban psikologis bersama.

Sahabat saya, Dhestan mengaku bahwa pada masa transisi dan bisa disebut sebagai titik masa kritis karena harus mengalami tekanan dalam hal ekonomi di saat tabungan sudah menipis bahkan dia harus menjual mobil satu-satunya. 

Untungnya, istrinya berstatus ASN guru di salah satu SMA Negeri di kota saya sehingga masih ada penghasilan tetap untuk hidup per bulannya.

Namun, seiring waktu, dunia usaha yang dirintisnya seperti toko bangunan, usaha jasa laundry dan onlineshop serta katering mengalami peningkatan keuntungan dan akhirnya dukungan pun mengalir dari semua pihak.

Penampilan yang tadinya terbiasa dengan disiplin jam kantor yang ketat dari pagi sampai malam, berpakaian branded, necis, rapi dan berdasi harus direlakan dan berubah total menjadi bercelana pendek, kaos oblong serta jam kerja yang bebas sebagai wirausawan muda.

Hal terpenting, saat ini dia mengaku bahwa hatinya merasa nyaman dan tentram karena ada waktu untuk keluarga lebih banyak di kesehariannya dan merasa bebas karena tidak dikejar target apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun