Kisah nyata dan menginspirasi dari seorang sahabat yang bernama Dhestan, telah berani meninggalkan zona nyaman dari pekerjaan tetapnya sebagai pegawai Bank milik pemerintah di usianya yang menjelang 40-an tahun.
Keputusannya untuk banting stir itu tentu saja mengejutkan banyak pihak, terutama istrinya yang sedikit masih belum menerima alasannya.Â
Bagaimana tidak, gaji dengan insentif yang besar, kendaraan dinas dan karir yang saat itu sedang menanjak tinggi harus ditinggal begitu saja.
Satu kasus lagi lainnya, seorang sahabat semasa kuliah, Ma'ruf (nama samaran) dari fakultas pendidikan Bahasa Inggris, begitu lulus jenjang Sarjana (S1).
Selanjutnya, langsung masuk ikatan dinas militer di Perwira Karir (Sepawamil) yang langsung menyandang pangkat Letnan Dua TNI-AU dengan penempatan sebagai Guru Militer di salah satu Laboratorium Bahasa di Pangkalan Militer di kota dekat Magetan.
Dia berani mengundurkan diri dari dinas wajib militernya saat masih berpangkat Kapten. Jika tidak, dia boleh meneruskan menjadi Tentara Militer Sukarela (MilSuk) dan naik pangkat menjadi Mayor TNI-AU.Â
Namun, sahabat saya tadi memilih Career Switch menjadi masyarakat sipil dengan meninggalkan jabatan, status, gaji tetap, pangkat tentara, rumah dan mobil dinasnya.
Hal itu mengejutkan semua pihak terutama para sahabat dekatnya. Namun itulah fakta yang terjadi.Â
Sejujurnya, saya juga pernah ada niat untuk pensiun dini dari ASN dengan berbagai alasan yang utamanya faktor kejenuhan dan karir yang stagnan. Hanya saja, faktor kesungguhan yang masih mengganjal untuk segera bertindak
Saat kita memutuskan beralih profesi (Career Switch), pada umumnya dijalani saat memasuki masa pensiun. Sebut saja, dari Tentara menjadi petani, dari ASN menjadi supir Grab, dari Guru menjadi peternak dan lain sebagainya.
Belajar dari alih profesi yang sudah diputuskan oleh kedua sahabat di saat karirnya yang menanjak dalam awal artikel di atas, ternyata ada 2 faktor yang bisa dikatakan menjadi "beban" secara moril maupun materiil bagi mereka.
Pertama Faktor Internal, yaitu beban terbesar adalah dirinya sendiri. Konflik batin sebelum dan setelah memutuskan untuk alih karir atau profesi bisa membesar ke arah vertikal dan horisontal terutama jika ada perberbedaan pendapat dari keluarga, orangtua, khususnya dari istri/suami.
Perihal keilmuan, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki untuk mengadapi di profesi barunya juga akan menjadikan pemikiran mendalam. Mampukah dirinya untuk eksis dan survive di peningkatan ekonomi setelahnya?
Kedua Faktor Eksternal, yaitu daya dukungan dari permodalan bila membuka usaha, tabungan awal untuk menopang ekonomi pada masa transisi saat alih profesi, jenis-jenis bidang usaha yang akan digeluti di tahap awal pasca resign dari pekerjaan lama dan penghasilan yang mapannya.
Penghasilan istri/ suami di masa krisis sebelum alih profesi atau karir dinyatakan berhasil dan juga lapangan pekerjaan masih tersedia atau tidak, merupakan faktor yang harus dipertimbangkan sebagai beban psikologis bersama.
Sahabat saya, Dhestan mengaku bahwa pada masa transisi dan bisa disebut sebagai titik masa kritis karena harus mengalami tekanan dalam hal ekonomi di saat tabungan sudah menipis bahkan dia harus menjual mobil satu-satunya.Â
Untungnya, istrinya berstatus ASN guru di salah satu SMA Negeri di kota saya sehingga masih ada penghasilan tetap untuk hidup per bulannya.
Namun, seiring waktu, dunia usaha yang dirintisnya seperti toko bangunan, usaha jasa laundry dan onlineshop serta katering mengalami peningkatan keuntungan dan akhirnya dukungan pun mengalir dari semua pihak.
Penampilan yang tadinya terbiasa dengan disiplin jam kantor yang ketat dari pagi sampai malam, berpakaian branded, necis, rapi dan berdasi harus direlakan dan berubah total menjadi bercelana pendek, kaos oblong serta jam kerja yang bebas sebagai wirausawan muda.
Hal terpenting, saat ini dia mengaku bahwa hatinya merasa nyaman dan tentram karena ada waktu untuk keluarga lebih banyak di kesehariannya dan merasa bebas karena tidak dikejar target apapun.
Sama sekali tidak ada kata penyesalan padanya bahkan Dhestan mengaku untuk menjadikan profesi barunya sebagai sebuah tantangan dalam bentuk kesuksesannya yang lain.
"Saya sekarang jadi lebih terbuka dalam melihat dunia usaha. Perjuangan buat diri sendiri benar- benat diuji. Di alih profesi ini, sudah tidak ada lagi yang namanya cari kerja berkat orang dalam. Harus mulai meyakinkan diri untuk mampu dan bisa membuat sesuatu yang lebih!"
Itulah kalimat yang disampaikan sahabat saya, Dhestan saat berkisah.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H