Beberapa hari menjelang hari lebaran 1444 Hijriyah tiba, ada beberapa agenda yang membuat saya harus sering bepergian ke luar kota baik di Provinsi Jawa Timur maupun Jawa Tengah.Â
Selama di perjalanan, ada satu fenomena menarik yang mengganggu pikiran saya. Mau tahu?
Setiap berhenti di perempatan karena lampu merah, pastilah ada sekelompok manusia perak (silver) dan badut yang saya lihat sedang mengais rezeki dengan aktraksi lucunya untuk mendapatkan uang receh pada setiap mobil yang berhenti. Sengatan panas terik matahari pun sudah tidak dihiraukan lagi oleh mereka.
Karena penasaran, begitu mendekat ke mobil, kaca jendela mobil segera saya buka lebar-lebar. Sambil memberikan uang, saya kumpulkan beberapa keterangan dari mereka sekaligus meminta izin untuk mengambil gambar dari kamera di android di tangan saya.
Lulusan sekolah kejuruan, kemudian bekerja di bengkel otomotif. Namun karena pandemi dan bengkelnya ditutup, Rizal dipaksa untuk mengemis dengan menjadi manusia silver.Â
Untuk itu, cat sablon yang dicampur dengan minyak tanah harus dioleskan ke sekujur tubuhnya setiap harinya. Rasa gatal karena zat kimiawi dan sengatan panas matahari menyebabkan penyakit baru pada kulitnya.
Kisah klise itu terus terjadi dan terulang pada Rizal dan Rizal lainnya di banyak jalanan di setiap kota kecil atau besar di tanah air. Bahkan terlihat semakin memprihatinkan karena sekarang ini, justru "pekerjaan" itu juga dilakoni oleh para wanita, anak-anak dan bayinya juga.
Berita tersebut sempat menghebohkan jagat maya karena dianggap sebagai tindakan eksploitasi anak dan tidak berperikemanusiaan.
Sebetulnya, bila ada pertanyaan seperti itu, sudah tidak terkira lagi peranan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang rutin men-sweeping para pengemis, gelandangan, anak punk, pengamen dan manusia silver serta badut untuk didata dan diberi pemahaman.Â
Bila perlu juga akan diberi pembinaan dan pelatihan berupa keterampilan untuk bekal penghidupan dari dinas sosial sebaga intansi terkait.
Namun sekali lagi, semua itu seolah-olah menjadi percuma karena kebanyakan dari mereka akan kembali ke jalanan lagi. Sungguh seperti lingkaran setan yang sulit dicari ujung pangkal dalam mengatasinya.
Faktor apa saja yang diduga sebagai penyebabnya?
Faktor Mental (Internal).
Bila sudah menyangkut mental, ini rasanya sepertinya sulit untuk diubah. Perasaan malu, tanpa keterampilan dan harga diri sepertinya sudah terkikis dalam sanubarinya.
Merasa percuma karena sudah merasa kerja keras namun penghasilan tetaplah minim, lebih baik santai dengan pemasukan yang besar dengan catatan berani malu meskipun dianggap sebagai sutu pekerjaan yang hina.
Anda mungkin tidak menyangka bahwa banyak yang mau menjadi manusia silver, badut jalanan, gepeng (gelandangan dan pengemis) atau pengamen itu karena mereka bisa meraup penghasilan rata-rata per harinya berkisar Rp300.000 bila sepi dan mencapai Rp500.000 bila weekend atau hari libur. Mengejutkan, bukan?!
Coba Anda kalikan sendiri berapa penghasilan mereka bila setiap hari mereka berada di jalanan dalam satu bulan! Bisa kalah tuh para pegawai negeri atau karyawan swasta yang sering dianggap sebagai satu perkerjaan yang bergengsi atau terhomat.
Gara-gara informasi yang seperti itu, tidak heran hampir semua perempatan di jalan raya saat ini banyak sekali bermunculan manusia silver, gepeng, badut, dan pengamen.
Faktor internal ini bisa meliputi self esteem, pride, collaboration, hardwork, motivation, endurance, dan masih banyak lainnya.
Pada faktor di atas, dunia pendidikan telah dianggap gagal karena dipandang tidak mampu memberikan kecakapan atau keterampilan pada para lulusannya untuk bekal hidup mereka. Sumber daya manusia ( SDM) sebagai output-nya dianggap sangat rendah.
Berbagai jurusan di sekolah kejuruan seperti tata boga, tata busana, kewirausahaan, pertanian, otomotif dan lainnya dinilai tidak sungguh-sungguh dan ketat dalam menentukan kriteria kelulusannya pada saat dilakukan assesment terakhir sebagai satu syaratnya.
Faktor Lapangan Pekerjaan (External).
Pada faktor ini, kecakapan atau keterampilan yang dimiliki oleh para pencari kerja (job seekers) dengan lapangan kerjanya (industries) tidak sesuai sama sekali bahkan jauh dari standar minimal ditentukan dalam link and match di dunia industri.
Bagaimana dengan job makers?Â
Hal itu juga tidak semudah seperti yang tertuang dalam teori yang dipelajari di bangku sekolah. Belum lagi dari sisi permodalan, prospek bisnis ke depannya. Semua pihak harus sungguh-sungguh mencari solusi yang solutif dalam mengatasi fenomena yang menyedihkan ini.
Di faktor life skills (soft and hard skill) ini juga mencakup banyak aspek seperti ledakan jumlah penduduk, krisis ekonomi global, otomasi pada pabrik, artificial intelligence, mass production dan masih banyak lainnya.
Terlepas dari penjelasan di atas, tidak heran fenomena akan banyaknya manusia silver, gelandangan, pengamen dan badut di jalan raya telah menjadi satu keprihatinan tersendiri bagi masyarakat di sekitarnya.
"Mereka berbuat seperti itu dengan berdalih atas nama satu bentuk ekspresi seni sebagai kebebasan individal yang universal tetaplah tidak sepenuhnya bisa diterima dan dianggap benar."
Akan tetapi mereka semua itu juga anak manusia yang berhak mendapatkan penghasilan demi keberlangsungan hidup sehari-hari.
Apalagi, sebentar lagi lebaran akan tiba. Wajah-wajah yang telah menghibur kita di jalanan dengan ekspresi lucunya hanya demi mengais dan mengharap turunnya receh tetaplah tidak bisa menghibur kegalauan pikiran dan hati diri mereka sendiri.
Seperti halnya kita, mereka semua juga berhak berbahagia di hari lebaran ini.
Salam Ramadan!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI