Hal yang menyedihkan, dampaknya saya jadi jarang sahur karena sering terbangun saat mendengar suara adzan subuh dari masjid asrama militer.
Pada masa itu, tidak semua orang mampu untuk mempunyai jam tangan karena harganya sangat mahal.Â
Televisi juga hanya ada satu di aula komplek perumahan dan itupun masih dwiwarna, yaitu hitam putih. Parahnya, Â Televisi tersebut ada dalam kotak penyimpanan dan selalu dikunci.
Jika mau menonton, saya harus ikut berjubel dengan puluhan orang lainnya sambil menunggu petugas pembawa kunci datang untuk menyalakannya.Â
Kita harus super sabar hanya untuk menunggu munculnya tulisan "sudah adzan magrib" dari televisi masa itu tanpa ada lantunan suaranya.
Jika petugas tidak datang, terpaksa setiap berbuka puasa, saya memilih untuk menunggu tanda adanya suara dentuman meriam dari Masjid Ampel Surabaya.Â
Juga dari menjelang sahur, telinga ini harus menempel di radio di rumah untuk berjaga bahwa sudah masuk imsak.
Saya sering mengetahui pahala apa saja yang berhubungan dengan topik ramadan serta hal-hal yang bisa membatalkan puasa dari tausiyah dengan model tanya jawab atas surat yang dibacakan oleh penyiar.
Bagaimana dengan salat taraweh?
Di komplek perumahan militer, banyak musala dan masjid, namun untuk salat taraweh berjamaah, semua keluarga militer harus pergi ke satu masjid besar dan itu bertempat di dalam markas Kodam V Brawijaya, Surabaya.
Sedihnya, karena tinggal di komplek militer, untuk keluar masuknya, harus laporan kepada petugas yang berjaga piket di pintu gerbang. Gara-gara hal itu, Saya jarang punya teman. Semua teman yang saya punya rata-rata adalah anaknya tentara.
Ramadan di masa kecil saya tidak mengenal apa itu yang namanya ngabuburit, yaitu berjalan-jalan waktu sore sambil menunggu waktu berbuka tiba. Justru, pada waktu selepas ashar, saya harus giat untuk belajar mengaji di mushala sampai menjelang berbuka