Langkah kaki saya seketika terhenti sejenak saat melihat sebuah bangunan yang lumayan besar dengan bentuknya yang unik juga.Â
Peletakannya pondasinya terkesan menjungkir balikkan logika gravitasi. Namun, saat masuk ke dalamnya, ternyata bagian dalamnya sangat indah dengan fungsi yang sempurna dari setiap ruangnya.Â
Walaupun kesannya miring atau doyong, namun bagian interior dalam tetap dalam formasi datar dengan desain yang bagus.Â
Hal terpenting adalah peletakkan sudut toiletnya juga sangat strategis. Bangunan seperti rumah kayu itu saya temui di Pulau Nami, Korea Selatan.Â
Pulau Nami aslinya adalah delta dari ujung sungai Bukhangang akibat pembangunan bendungan di sebelah utara sungai Han dan masih nampak terpelihara keasliaannya sampai sekarang.
Sedangkan pengambilan nama 'Pulau Nami', karena di masa kerajaan Joseon, ada sosok Jenderal berusia muda yang bernama Nami dan dimakamkan di pulau itu, yang konon, meninggal saat berusia 28 tahun.Â
Namun, banyak orang yang tidak mengetahui pasti di mana letak pusara dan nisannya secara persis dan tepatnya ada di sebelah mana. Hanya ada kabar bahwa makamnya adalah tumpukan batu.
Jika Anda berkesempatan ke pulau Nami, tolong jangan pernah membawa sebongkah batu dan membawanya pulang. Percaya atau tidak, nasib sial akan selalu menimpa pada mereka yang berani melanggarnya.
Saya menyukai beberapa gaya arsitektur dari beberapa bangunan kuno di situ. Terkesan sederhana, tapi punya nilai keaslian suasana masa kerajaan Korea.
Tidak heran bila Pulau Nami dijadikan lokasi syuting untuk banyak drama Korea, khususnya drama yang ber-genre romantis dan sejarah kerajaan Korea.Â
Semua hal itu menjadikan bahan perenungan yang mendalam saat sedang mengamati gaya arsitektur yang unik dan menarik.
Bagaimana kecerdasan perhitungan bangunan dengan menggabungkan bentuk, fungsi, keindahan dari rancangan bangunan di situ menunjukkan bahwa arsiteknya dianugerahi kemampuan dan talenta yang istimewa.
Sedangkan, mereka para teknik sipilnya, yang menyiapkan rancang bangun, pemilihan bahan bangunan, pengukuran kekuatan dan penghitungan pembiayaannya adalah para profesional hebat di kanal yang berbeda untuk tujuan yang sama.
Bila boleh bercanda, dalam beberapa pandangan sama, sepertinya mereka, para arsitek akan mendapat nama besar dan termasyhur dari rancangan bangunannya. Sedangkan, mereka, para teknik sipilnya yang menikmati keuntungan secara finansial dan material.
***
Membahas bangunan di atas, pikiran saya jadi kembali ke masa kecil saat melihat arsitektur rumah nenek di desa yang berbentuk joglo atau prisma.
Rumah nenek yang kebanyakan semua materialnya terbuat dari kayu jati itu bisa berderet-deret sampai 7 atau 8 rumah.
Fungsi utamanya, ternyata untuk menyimpan hasil panen, seperti padi, kedelai, tembakau dan lainnya di rumah tengah.Â
Sedangkan, rumah depan adalah untuk meletakkan sapi atau kerbau saat malam hari agar tidak dicuri.Â
Rasanya masih segar diingatan saya tentang aroma kotoran dan banyaknya lalat yang berterbangan di dalam rumah baik siang maupun malam hari.Â
Sungguh tidaklah nyaman bila masa liburan sekolah tiba, pastilah saya akan diantar pulang oleh ibu untuk menemani nenek di desa.Â
Selanjutnya bisa ditebak, lokasi dapur pastilah di rumah paling belakang dan itu benar. Itu adalah tipikal rumah di banyak pedesaan
Akan tetapi, anehnya, tidak pernah dipikirkan oleh nenek saya masalah kamar mandi, kamar makan, toilet, sanitasi, pencahayaan, kamar tidur yang layak dan fungsi dari ruang-ruang lainnya.Â
Hebatnya, bangunan teras rumah nenek justru mewah dengan ornamennya yang sangat indah dan terbuat dari jati pilihan. Setiap orang yang melihat atau melewati depan rumah nenek, akan berdecak kagum dan terpesona.Â
Para tetangga sudah tahu bahwa nenek saya adalah orang terkaya di desa. Namun, saat ini, semua itu sudah berlalu. Sekarang hanya sisa satu rumah dan ditempati ibu saya karena telah habis diwariskan.
Ada hal yang mengganjal di hati, mengapa nenek saya lebih bangga, bahagia dan senang bila ada orang lain yang  lewat di depan rumah menjadi kagum dan senang akan keindahan teras rumahnya?
Dengan sedikit mendongkol, saat itu saya hanya mampu protes dalam hati kenapa nenek tidak membahagiakan atau membuat senang anggota keluarga atau orang yang tinggal di dalam rumahnya dengan melengkapi fasilitas dan fungsi rumah dengan nyaman?
Ups!, tiba-tiba, jemari saya terhenti untuk terus menulis di artikel ini. Saya jadi malu pada almarhumah nenek dan diri sendiri. Karena, sekarang ini adalah bulan Ramadhan, jadi saya harus introspeksi.
"Jangan-jangan gambaran sifat, karakter dan perilaku sehari-hari di kehidupan saya ini seperti halnya rumah nenek di desa dulu itu!".
Mungkin saya hanya fokus pada penampilan luar agar mendapat banyak decak kagum dan terkesan hebat sampai lupa pada kualitas utama akan keikhlasan, ketaqwaan dan keimanan dalam diri saya yang sebenarnya hampa serta tidak berisi apa-apa.
Mohon maaf, saya harus segera merenovasi diri agar bangunan raga ini sesuai dengan fungsi dan tujuan awal saat diciptakan. Karena banyak ruang hati yang dipenuhi dengan perabotan pikiran usang.Â
Saatnya untuk mengembalikan jiwa gedung diri pada fitrah-Nya.
Salam Ramadhan !
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI