Selanjutnya bisa ditebak, lokasi dapur pastilah di rumah paling belakang dan itu benar. Itu adalah tipikal rumah di banyak pedesaan
Akan tetapi, anehnya, tidak pernah dipikirkan oleh nenek saya masalah kamar mandi, kamar makan, toilet, sanitasi, pencahayaan, kamar tidur yang layak dan fungsi dari ruang-ruang lainnya.Â
Hebatnya, bangunan teras rumah nenek justru mewah dengan ornamennya yang sangat indah dan terbuat dari jati pilihan. Setiap orang yang melihat atau melewati depan rumah nenek, akan berdecak kagum dan terpesona.Â
Para tetangga sudah tahu bahwa nenek saya adalah orang terkaya di desa. Namun, saat ini, semua itu sudah berlalu. Sekarang hanya sisa satu rumah dan ditempati ibu saya karena telah habis diwariskan.
Ada hal yang mengganjal di hati, mengapa nenek saya lebih bangga, bahagia dan senang bila ada orang lain yang  lewat di depan rumah menjadi kagum dan senang akan keindahan teras rumahnya?
Dengan sedikit mendongkol, saat itu saya hanya mampu protes dalam hati kenapa nenek tidak membahagiakan atau membuat senang anggota keluarga atau orang yang tinggal di dalam rumahnya dengan melengkapi fasilitas dan fungsi rumah dengan nyaman?
Ups!, tiba-tiba, jemari saya terhenti untuk terus menulis di artikel ini. Saya jadi malu pada almarhumah nenek dan diri sendiri. Karena, sekarang ini adalah bulan Ramadhan, jadi saya harus introspeksi.
"Jangan-jangan gambaran sifat, karakter dan perilaku sehari-hari di kehidupan saya ini seperti halnya rumah nenek di desa dulu itu!".
Mungkin saya hanya fokus pada penampilan luar agar mendapat banyak decak kagum dan terkesan hebat sampai lupa pada kualitas utama akan keikhlasan, ketaqwaan dan keimanan dalam diri saya yang sebenarnya hampa serta tidak berisi apa-apa.
Mohon maaf, saya harus segera merenovasi diri agar bangunan raga ini sesuai dengan fungsi dan tujuan awal saat diciptakan. Karena banyak ruang hati yang dipenuhi dengan perabotan pikiran usang.Â
Saatnya untuk mengembalikan jiwa gedung diri pada fitrah-Nya.
Salam Ramadhan !