Saat istilah 'Pembantu'Rumah Tangga (PRT) diubah menjadi  Asisten Rumah Tangga (ART), rasanya sedikit ada kenaikan akan "martabat" untuk jenis pekerjaan yang saat ini sedang ramai dipolemikkan di media sosial.
Di zaman penjajahan Belanda, orang pribumi yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga disebut 'Baboe'. Istilah itu semakin lama semakin menghilang di masa sekarang karena terkesan merendahkan derajat dan martabat seseorang.
Terkait belum disahkannya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) oleh DPR, Â yang menjadi pertanyaan dan penuh misteri banyak pihak adalah kenapa UU PPRT yang diajukan pada tahun 2019, sampai sekarang belum juga dirilis resmi?Â
Apa permasalahan yang melatar belakanginya sampai sebegitu lamanya proses pengesahannya?
Semua pihak, terutama yang bekepentingan secara langsung, mulai menebak-nebak dengan mengaitkannya akan untung rugi dari sisi semua pihak. Bahkan berspekulasi mulai dari adanya jurang satu kebutuhan antara employee (pekerja), atau employer (majikan). Â
Juga, bisa jadi ada nuansa secara politis dari perspektif 'harga diri' sebuah bangsa besar, yaitu Indonesia yang sering disebut (diejek) oleh negara terdekat sebagai satu negara pengekspor utama pembantu rumah tangga.
Jika UU PPRT, belum di-goal-kan, jadi selama ini adakah 'perlindungan' bagi mereka para pekerja rumah tangga itu? Jika tidak ada, bisa ditebak, tetap akan banyak kasus penganiayaan, pemerkosaan, dan bahkan pelecehan hak-hak yang tidak manusiawi mulai dari gaji sampai jaminan sosial serta kesehatan mereka akan menghiasi semua media cetak dan elektronik di waktu ke depan.
Mencermati hal itu, dilansir dari www.setkab.go.id, (18/012023), Menaker RI, Ibu Ida Fauziah, menyampaikan bahwa saat ini para pekerja rumah tangga dilindungi oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Nomor 2 Tahun 2015.
"Butuh landasan yang lebih tinggi berupa Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga"
Itu adalah ketegasan ibu Ida sebagai Menaker saat diminta pendapat.Â
***
Terlepas dari semua pendapat apapun dan siapapun, namun apa daya, saat ini masih ada kesan tarik ulur berbagai pihak yang bisa beraroma adanya conflict of interest dalam memutuskan UU PPRT secara sah untuk segera diberlakukan menyeluruh.
Benarkah bahwa bila UU PPRT itu disahkan, para nasib pekerja rumah tangga akan menjadi terjamin secara penghasilan, jaminan sosial kesehatan, jaminan uang pesangon dan bahkan mendapat hak cuti serta hari libur? Siapa juga yang akan menjamin dan setia mengawal setelah UU PPRT disahkan?Â
Ingat bahwa pekerja rumah tangga itu adalah suatu pekerjaan mulia dan terhormat. Mereka bersedia bekerja sebagai Pekerja rumah tangga karena berbagai faktor. Prinsipnya ada saling kebutuhan di permintaan dan penawaran. Tinggal besar mana prosentasenya dari kedua hal tersebut saat kesepakatan terjadi.
Ditakutkan, justru dengan disahkannya UU PPRT akan membuat lapangan pekerjaan menjadi menurun drastis. Majikan sebagai employer merasa bahwa aturan yang mengikat akan menjadi beban bagi keluarganya, sehingga jenis pekerjaan rumah tangga yang biasanya full time job ditangani oleh ART, akan berubah menjadi part time job, yaitu hanya dipanggil saat diperlukan.
Bayangkan saja, saat 4,2 juta pekerja rumah tangga (Data kemnaker.go.id, 30/09/2022) mungkin saja menjadi mimpi buruk saat banyak PRT kehilangan pekerjaannya, apabila tidak adanya titik temu antara kebutuhan majikan dan PRT sebagai 'karyawannya". Hal ini juga harus diwaspadai bahwa potensi unemployement malah dimungkinkan semakin meningkat.
Penulis jadi teringat saat tinggal di negara Jepang selama dua tahun. Tidak ada yang namanya UU PPRT di sana, karena keluarga di Jepang tidak ada yang mau menerima pekerja rumah tangga. Saya tidak berani menuduh bahwa UU PPRT sebagai pemicunya, namun berusaha mencari benang merah hubungannya dari beberapa studi kasus.
Sebuah keluarga di sana, tidak mampu membayar honor seorang PRT. Mau tahu kenapa? Itu karena per jamnya, mereka harus dibayar sekitar dua ribu sampai tiga ribu yen. Itu sama dengan kisaran Rp 300.000 sampai Rp 350.000/ jam. Dampaknya, ada banyak jenis pekerjaan rumah tangga, namun tidak ada majikan yang mau mempekerjakannya.
Bayangkan dan kalikan saja sendiri berapa 'okane' (uang) yang diterima, bila seorang PRT kerja di sana yang sehari maksimal 8 jam kerja. Fantastis, kan!? Â
Nah, apa alasan seperti di atas ini yang membuat banyak pihak ketakutan dan mendasari kenapa hampir lima tahun ini, UU PPRT kita tidak segera disahkan?
Salam hormat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H