Mohon tunggu...
Eko Adri Wahyudiono
Eko Adri Wahyudiono Mohon Tunggu... Guru - ASN Kemendikbud Ristek

Mengajar dan mendidik semua anak bangsa. Hobi : Traveling, tenis, renang, gitar, bersepeda, nonton film, baca semua genre buku, menulis artikel dan novel.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Saat UU PPRT Disahkan, Yakinkah Nasib PRT akan Membaik Seperti di Jepang?

3 Februari 2023   00:47 Diperbarui: 3 Februari 2023   22:37 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Terlepas dari semua pendapat apapun dan siapapun, namun apa daya, saat ini masih ada kesan tarik ulur berbagai pihak yang bisa beraroma adanya conflict of interest dalam memutuskan UU PPRT secara sah untuk segera diberlakukan menyeluruh.

Benarkah bahwa bila UU PPRT itu disahkan, para nasib pekerja rumah tangga akan menjadi terjamin secara penghasilan, jaminan sosial kesehatan, jaminan uang pesangon dan bahkan mendapat hak cuti serta hari libur? Siapa juga yang akan menjamin dan setia mengawal setelah UU PPRT disahkan? 

Ingat bahwa pekerja rumah tangga itu adalah suatu pekerjaan mulia dan terhormat. Mereka bersedia bekerja sebagai Pekerja rumah tangga karena berbagai faktor. Prinsipnya ada saling kebutuhan di permintaan dan penawaran. Tinggal besar mana prosentasenya dari kedua hal tersebut saat kesepakatan terjadi.

Ditakutkan, justru dengan disahkannya UU PPRT akan membuat lapangan pekerjaan menjadi menurun drastis. Majikan sebagai employer merasa bahwa aturan yang mengikat akan menjadi beban bagi keluarganya, sehingga jenis pekerjaan rumah tangga yang biasanya full time job ditangani oleh ART, akan berubah menjadi part time job, yaitu hanya dipanggil saat diperlukan.

Bayangkan saja, saat 4,2 juta pekerja rumah tangga (Data kemnaker.go.id, 30/09/2022) mungkin saja menjadi mimpi buruk saat banyak PRT kehilangan pekerjaannya, apabila tidak adanya titik temu antara kebutuhan majikan dan PRT sebagai 'karyawannya". Hal ini juga harus diwaspadai bahwa potensi unemployement malah dimungkinkan semakin meningkat.

Penulis jadi teringat saat tinggal di negara Jepang selama dua tahun. Tidak ada yang namanya UU PPRT di sana, karena keluarga di Jepang tidak ada yang mau menerima pekerja rumah tangga. Saya tidak berani menuduh bahwa UU PPRT sebagai pemicunya, namun berusaha mencari benang merah hubungannya dari beberapa studi kasus.

Sebuah keluarga di sana, tidak mampu membayar honor seorang PRT. Mau tahu kenapa? Itu karena per jamnya, mereka harus dibayar sekitar dua ribu sampai tiga ribu yen. Itu sama dengan kisaran Rp 300.000 sampai Rp 350.000/ jam. Dampaknya, ada banyak jenis pekerjaan rumah tangga, namun tidak ada majikan yang mau mempekerjakannya.

Bayangkan dan kalikan saja sendiri berapa 'okane' (uang) yang diterima, bila seorang PRT kerja di sana yang sehari maksimal 8 jam kerja. Fantastis, kan!?  

Nah, apa alasan seperti di atas ini yang membuat banyak pihak ketakutan dan mendasari kenapa hampir lima tahun ini, UU PPRT kita tidak segera disahkan?

Salam hormat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun