Mohon tunggu...
Eko Adri Wahyudiono
Eko Adri Wahyudiono Mohon Tunggu... Guru - ASN Kemendikbud Ristek

Mengajar dan mendidik semua anak bangsa. Hobi : Traveling, tenis, renang, gitar, bersepeda, nonton film, baca semua genre buku, menulis artikel dan novel.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anak Didik Jalur Zonasi Rata-Rata Bodoh: Fakta atau Mitos?

26 Januari 2023   01:38 Diperbarui: 5 Maret 2023   17:12 3991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengajar yang menyenangkan: Dokumen Pribadi

"Anak-anak yang diterima di sekolah dari jalur zonasi ini kok rata-rata bodoh semua!?"

Dengan sedikit terkejut, saya pun menoleh pada salah satu guru yang baru usai mengajar dan meletakkan buku beserta tas di mejanya pada saat jam istirahat. Kesannya seperti orang yang sedang mengeluh atau membuat kalimat oratoris.

Meskipun agak heran, saya yang duduk berdekatan dengannya, berusaha untuk tidak terpancing akan kalimatnya. Hanya saja, rasa penasaran yang muncul akhirnya membuat saya bertanya pelan sambil tersenyum.

"Memang ada apa, bu!?". Beliau pun menoleh dan langsung saja jawabannya mengalir panjang seperti ingin menumpahkan segala uneg-unegnya. Saya terdiam dan mencoba menjadi pendengar yang baik akan lampiasan emosinya.

Apakah benar anak-anak yang diterima dari jalur zonasi adalah anak bodoh? Apakah itu mitos atau fakta? Atas dasar apa mereka dicap anak yang kurang pandai?

Pertanyaan-pertanyaan seperti tersebut di atas ber-sliweran di kepala saya. Jujur, saya seorang guru yang sering menulis tentang dukungan saya akan jalur zonasi tersebut.

Pertama memang tentu untuk pemerataan kualitas pendidikan di setiap sekolah negeri dan juga kesempatan bagi anak didik yang tinggal di lingkungan sekitar sekolah untuk mengenyam pendidikan yang bermutu.

Kedua, juga dari pengalaman saya ke beberapa negara maju seperti Jepang, Eropa, Korea, Australia, Jepang dan beberapa negara maju lainnya bahwa rata-rata mereka sudah menerapkan sistim zonasi dalam penerimaan peserta didik pada tahun ajaran baru.

Hal utama yang membedakan pada sekolah di negara kita adalah fasilitas yang timpang antara kota, kecamatan atau di desa. Juga, kualitas pendidik dan tenaga kependidikannya yang masih terfokus di area kota. Belum lagi faktor lain dari standar pendidikan yang dipersyaratkan. 

Ini merupakan tugas selanjutnya dari Kemendikbud Ristek untuk mengevaluasi pelaksanaan dampak dari sistim zonasi setelah berjalan hampir lebih dari empat tahun berjalan ini.

Saya memahami pada bapak dan ibu guru yang mengeluh tentang rendahnya kemampuan kognitif dan keterampilan anak didik. Bisa jadi, keluhan sahabat guru kepada saya itu juga mewakili ribuan guru di tanah air. Lebih parahnya, ada bercanda seakan-akan 'menyerah' mengajar dan berharap masa pensiunnya segera tiba.

Baca juga : 10 Faktor Penyebab Hasil Ujian Rendah

Mungkin saja, guru-guru yang sebelumnya sekian puluh tahun mengajar di sekolah unggulan atau favorit dengan anak-anak didik yang cerdas, berprestasi dan anak berbakat, tiba-tiba harus menerima apa adanya tanpa ada seleksi atau tes khusus, membuat para guru kesulitan menemukan formula yang tepat dalam mengajar untuk proses transfer of knowledge pada mereka.

Jika boleh menyampaikan secara jujur, sebenarnya tidak ada istilah "Murid yang bodoh".

Anda pasti heran dan bertanya dalam hati mengapa saya berani berpendapat seperti itu?

A. Dasar Pertama.

Masih ingatkah kita sebagai guru akan Teori kecerdasan ganda atau majemuk pada setiap individu anak didik? Teori itu disampaikan oleh Edward Gardner, seorang ahli psikologi dalam Multiple Intelligences. Pada prinsipnya setiap individu pastilah minimal mempunyai satu kecerdasan pada dirinya.

Anak didik yang mempunyai tiga kecerdasan atau lebih akan disebut sebagai anak yang cerdas. Sebagai pendidik, cobalah kita kenali berbagai kecerdasan berikut ini:

1. Matematis
2. Logis
3. Linguis
4. Kinestetis
5. Musikal
6. Interpersonal
7. Intrapersonal
8. Naturalis
9. Spasial

Multiple Intelligences. www.Institute4learning.com
Multiple Intelligences. www.Institute4learning.com

Jadi, sebagai misal ada guru Matematika, saat menemukan murid yang tidak bisa pelajaran tersebut, langsung saja diberikan vonis bahwa anak tersebut 'bodoh' tanpa memperhatikan kecerdasan lain yang dimilikinya.

Mungkin, kecerdasan yang dimilikinya adalah Linguistik (Bahasa) dan Musikal. Bisa jadi juga, dia tipe Kinestetis, yaitu anak yang terampil berolahraga.

Semua guru harus mengenali potensi kecerdasan pada anak didiknya. Bila perlu, beri motivasi bahwa mereka semua itu adalah 'Batangan logam emas', hanya yang membedakan adalah kadar atau ukuran kemurnian emas masing-masing (karat).

Dari situ, guru akan akan tetap membiarkan mereka wutuh sebagai batangan emas atau bisa mengolahnya menjadi 'perhiasan' yang indah dan bernilai bagi kehidupannya kelak di masa depan. 

Tidak ada jaminan bahwa anak didik menjadi terpandai dalam satu mata pelajaran saja, akan menjamin mereka menjadi sukses dan bahagia di kehidupannya.

B. Dasar Kedua

Taxonomy Bloom. Teori tingkat kemampuan berfikir pada ranah pengetahuan (Cognitive) dari Benyamin Bloom. Teori yang membagi atau mengklasifikasikan pada piramida bloom tentang otak manusia dari yang dianggap terendah sampai puncak yang tertinggi.

image source: www.researchgate.net
image source: www.researchgate.net

Urutan tingkat Pengetahuan otak anak didik dari terendah sampai tertinggi, yaitu:

1. Mengingat
2. Memahami
3. mengaplikasikan
4. Menganalisa
5. Mengevaluasi
6. Menciptakan

Dari klasifikasi tersebut di atas, guru harus mencermati, sampai tingkatan mana anak didiknya bisa mencapainya. Ada dari mereka yang mempunyai kemampuan 'menghafal' tertinggi atau mampu ' menganalisa', bahkan ada juga dari mereka yang tahap 'Menciptakan' dari keilmuan pelajaran yang telah diberikan.

Paradigma pendidikan telah berubah. Zaman saya masih berada di bangku sekolah dasar, saya harus hafal semua nama para menteri di kabinet, nama ibukota, jumlah penduduk setiap daerah dan negara. Namun semua itu telah begerser di masa sekarang.

Perubahan semua aspek kehidupan di dunia ini juga mempengaruhi tujuan pendidikan dan otomatis proses belajar mengajar di sekolah juga berubah. Tugas guru adalah memberikan "Life Skills" yang dibutuhkan sesuai bakat, minat dan potensi anak didik untuk keberlangsungan kehidupannya di masa depan.

Jadi, sudah tidak ada lagi sebutan 'Murid Bodoh' di sekolah. Apalagi mengaitkannya dengan sistim zonasi. Otomatis, mitos seperti itu perlu dihilangkan karena memang faktanya tidak benar. Justru beri mereka semua ruang atau wadah untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya secara maksimal.

Tugas guru hanya mengarahkan kemampuan 'anak panah' dari anak didik agar tepat pada sasaran. Beri semangat pada setiap anak didik untuk menarik busur mereka masing-masing serta beritahu mereka kapan saat yang tepat untuk melepaskannya demi masa depannya sendiri.

Tugas terakhir guru selanjutnya, ikhlas mendoakan mereka agar anak panah ilmu dari anak didik bisa bermanfaat, minimal bagi dirinya sendiri.

Sumber images:
www.researchgate.net
www.institute4learning.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun