"Anak-anak yang diterima di sekolah dari jalur zonasi ini kok rata-rata bodoh semua!?"
Dengan sedikit terkejut, saya pun menoleh pada salah satu guru yang baru usai mengajar dan meletakkan buku beserta tas di mejanya pada saat jam istirahat. Kesannya seperti orang yang sedang mengeluh atau membuat kalimat oratoris.
Meskipun agak heran, saya yang duduk berdekatan dengannya, berusaha untuk tidak terpancing akan kalimatnya. Hanya saja, rasa penasaran yang muncul akhirnya membuat saya bertanya pelan sambil tersenyum.
"Memang ada apa, bu!?". Beliau pun menoleh dan langsung saja jawabannya mengalir panjang seperti ingin menumpahkan segala uneg-unegnya. Saya terdiam dan mencoba menjadi pendengar yang baik akan lampiasan emosinya.
Apakah benar anak-anak yang diterima dari jalur zonasi adalah anak bodoh? Apakah itu mitos atau fakta? Atas dasar apa mereka dicap anak yang kurang pandai?
Pertanyaan-pertanyaan seperti tersebut di atas ber-sliweran di kepala saya. Jujur, saya seorang guru yang sering menulis tentang dukungan saya akan jalur zonasi tersebut.
Pertama memang tentu untuk pemerataan kualitas pendidikan di setiap sekolah negeri dan juga kesempatan bagi anak didik yang tinggal di lingkungan sekitar sekolah untuk mengenyam pendidikan yang bermutu.
Kedua, juga dari pengalaman saya ke beberapa negara maju seperti Jepang, Eropa, Korea, Australia, Jepang dan beberapa negara maju lainnya bahwa rata-rata mereka sudah menerapkan sistim zonasi dalam penerimaan peserta didik pada tahun ajaran baru.
Hal utama yang membedakan pada sekolah di negara kita adalah fasilitas yang timpang antara kota, kecamatan atau di desa. Juga, kualitas pendidik dan tenaga kependidikannya yang masih terfokus di area kota. Belum lagi faktor lain dari standar pendidikan yang dipersyaratkan.Â
Ini merupakan tugas selanjutnya dari Kemendikbud Ristek untuk mengevaluasi pelaksanaan dampak dari sistim zonasi setelah berjalan hampir lebih dari empat tahun berjalan ini.