Mohon tunggu...
Eko Adri Wahyudiono
Eko Adri Wahyudiono Mohon Tunggu... Guru - ASN Kemendikbud Ristek

Mengajar dan mendidik semua anak bangsa. Hobi : Traveling, tenis, renang, gitar, bersepeda, nonton film, baca semua genre buku, menulis artikel dan novel.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

10 Faktor Penyebab Hasil Ujian Rendah

21 Desember 2022   09:34 Diperbarui: 16 September 2023   21:14 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan sedikit termenung, sekali lagi saya tatap hasil rekapitulasi nilai ujian semester ganjil pada mata pelajaran Bahasa Inggris untuk jenjang SMA di monitor laptop saya. 

Rasanya masih tidak percaya bahwa rata-rata pencapaian hasil ujian per kelas yang baru saja dilaksanakan secara e-test dan paper test base, sangatlah jauh dari nilai yang diharapkan.

Bisa melebihi sedikit saja dari nilai patokan, yaitu kriteria ketuntasan minimal (KKM), itu saja sudah sangat memuaskan bagi saya sebagai guru. 

Dari sini, saya mencoba menganalisa beberapa faktor yang menyebabkan hasil prestasi belajar dalam hal ini adalah hasil ujian semester menjadi turun drastis dibanding hasil beberapa tahun yang lalu.

Pertama, apakah nilai KKM (75) per mata pelajaran yang ditentukan di sekolah saya terlalu tinggi? Bila di benchmarking dengan sekolah lain, rasanya nilai 75 untuk minimal penguasaan materi tidaklah terlalu tinggi. 

Bahkan, beberapa sekolah sudah menentukan KKM 80 sebagai standar minimalnya. Namun, rentang angka 52 sampai dengan 63 sebagai hasil nyata rata-rata per kelas saya rasanya sungguh sangat mengecewakan.

Kedua, Apakah tingkat kesulitan soal sudah terukur untuk jenis soal mudah, sedang dan sukar? Bila faktor itu, saya yakin bahwa bapak ibu guru menguasai semua jenis soal yang HOTS ( Higher Order Thinking Skills) atau kategori LOTS (lower Order Thinking Skills). 

Sungguh mengherankan, dari hasil analisa butir soal ujian menunjukkan bahwa soal jenis mudah sampai sukar pada peserta tes, semuanya masuk pada kategori sukar, bahkan sangat sukar.

Ketiga, Dari cakupan materi yang disampaikan ke murid, mulai dari tema, kisi-kisi ujian dan penugasan rumah yang berstruktur sangatlah jelas mana yang akan diujikan untuk menjadi tolok ukur dan feedback (umpan balik) dari materi pelajaran yang harus dikuasai selama satu semester. 

Bahkan, beberapa modul bahan ajar juga sudah saya berikan untuk dicetak dan dipelajari di rumah. Saya khawatir, mereka mengabaikan akan hal penting itu.

Bisa jadi, suasana pasca pandemi Covid-19 juga menjadi faktor pemicu rendahnya motivasi belajar yang akibatnya, untuk beberapa waktu dan kurang lebih 2 tahun, ada loss education, yaitu kerugian pendidikan yang meliputi studying (belajar dengan guru) dan learning (belajar dengan teman atau mandiri) anak didik semua jenjang pendidikan di masyarakat kita. 

Hal itu bisa dimungkinkan menjadi salah satu penyebab adanya perubahan karakter murid dan guru yang semakin melemah dalam proses belajar mengajar. Faktor Keempat ini juga perlu diperhatikan.

Faktor kelima, saya mencoba untuk ber-muhasabbah diri. Jangan-jangan faktor guru sendiri juga menjadi salah satu penyebab turunnya nilai hasil belajar. 

Guru bukanlah manusia super tanpa cela. Apakah beban jam mengajar guru terlalu banyak, sehingga energi dan semangat untuk mengajar menjadi hilang. Bisa juga karena terlalu sedikit ( kurang dari 24 jam/minggu) dalam mengajar dan dampak beratnya, tidak menerima tunjangan sertifikasi guru. 

Kenaikkan pangkat yang terlambat dan karir yang tidak jelas juga berpengaruh pada gaya, metode dan cara dalam mengajarnya.

Keenamnya, Apakah input murid dari 50% jalur zonasi juga menentukan turunnya prestasi belajar? Ada beberapa guru dan pemerhati pendidikan yang berpendapat demikian dan saya adalah salah satu guru yang tidak sependapat. 

Sistem zonasi dianggap merusak kualitas pendidikan secara tidak langsung. Juga diperparah dengan kebijakan dihapusnya Ujian Nasional (UNAS) sebagai syarat kelulusan. 

Saat ini, semua menjadi "kemudahan" dalam dunia pendidikan.  Masuk Perguruan Tinggi juga demikian. Faktor ini, bisa saja juga dianggap sebagai prima causa (penyebab utama) kenapa hasil belajar rendah.

Lemahnya spirit of learning anak didik adalah faktor ketujuh. Motivasi internal dari anak untuk semangat belajar menjadi terkikis di era yang penuh kemudahan dalam dunia pendidikan ini. 

Bagaimana tidak, tantangan sudah tidak ada. Sistim zonasi, lulus tanpa harus melewati UNAS, masuk PTN (perguruan tinggi negeri) tanpa tes. Bila tidak lolos, tinggal ambil jalur mandiri dengan menyiapkan dana. Kenapa juga harus belajar mati-matian, toh ijazah juga tidak menjamin masa depan cerah. Hal itu semua ada namun tidak tertulis pada diri anak didik.

Kedelapan, banyak anak didik yang tidak mempunyai cita-cita. Bila ditanya seperti itu, jawabannya sungguh menjungkir balikan logika. 

Bisa juga, cita-citanya terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan persiapannya, akademisnya, kenyataan yang ada dan pendukung lainya. 

Namun, sebagai guru, semua cita-cita yang diinginkan anak didik itu harus diapresiasi, bahkan harus lebih dibantu dalam mewujudkannya. 

Anak didik belum memahami dengan benar, mana tujuan dari cita-cita yang tinggi dan mana cita-cita yang mulia. Tanpa cita-cita, para murid sama dengan "a bird without wings".

Ulasan kesembilan, kesibukkan bapak ibu guru yang menyita waktu untuk mengajar di dalam kelas dan bagaimana menginspirasi mereka untuk mempunyai skills yang diharapkan dalam pendidikan. 

Bapak dan ibu guru  harus mengikuti diklat online guru penggerak yang berbulan-bulan, menyelesaikan urusan administrasinya yang luar biasa padatnya, seperti SKP, A-GLD, SIMPEG, E-MASTER, SIM PKB, E Raport dan beberapa aplikasi lainnya yang mau tidak mau sedikit mengganggu kehadiran guru untuk berinteraksi langsung dengan anak didiknya. 

Janganlah beralasan "Anak-anak juga senang lho!, bila gurunya tidak hadir untuk mengajar di kelas! Mereka lebih senang diberi tugas saja!" .

Last but not least, Faktor kesepuluh adalah tidak seimbangnya antara Drive (kemauan, usaha, semangat, motivasi) terhadap Need (kebutuhan, pengakuan, tuntutan) dari anak didik sendiri secara umum. 

Dalam psikologi, Manusia itu cenderung Pemalas, namun seorang itu akan bertindak lebih rajin (drive) dan ini bersifat internal dalam dirinya karena adanya tuntutan luar (need) dan adanya pemenuhan akan kebutuhan baginya atau pengakuan dari orang lain dan ini bersifat eksternal. 

Katakanlah, murid tidak punya ambisi atau cita-cita, dirinya pasti tidak tergerak untuk belajar giat demi masa depannya kelak.

Kesimpulan dari ulasan yang bersifat diskusi di atas adalah betapa rumitnya mencari metode pembelajaran yang efektif dan efesien dalam meningkatkan hasil belajar anak didik bila ditelisik dengan penuh kejujuran beberapa faktor sebagai penyebabnya. 

Biarkan para murid mengetahui perolehan nilai mereka yang sesungguhnya untuk memberikan feedback (umpan balik) baik bagi murid juga bagi guru itu sendiri sebagai bahan evaluasi mengajar.

Para anak didik yang telah berprestasi di tingkat Internasional Dokumen pribadi
Para anak didik yang telah berprestasi di tingkat Internasional Dokumen pribadi

Memanjakan anak didik sama dengan membunuh mereka perlahan. Ingatkan selalu bahwa "Easy come will be easy go!" bahwa sesuatu yang diperoleh dengan mudah, pasti akan mudah dilepaskan pula karena sendi utama dalam pendidikan itu adalah belajar giat dengan penuh kejujuran. 

Bila itu sudah hilang, akan sulit bagi dunia pendidikan untuk menopang dengan badan tegak berwibawa serta berwajah bangga.


Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun