Mohon tunggu...
Nevi Puspitorini Nugrahaningtyas
Nevi Puspitorini Nugrahaningtyas Mohon Tunggu... pegawai negeri -

http://www.myearthheart.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Think Out of The Box

4 Desember 2012   09:27 Diperbarui: 4 April 2017   16:46 4073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalimat diatas sepertinya mudah untuk disetujui dan kita akan menganggukkan kepala kita saat diminta seseorang, siapapun itu,yang bilang "Kamu kalau melihat sesuatu harus selalu Think out of the box dong!" Dan mungkin kita akan sedikit tak berkenan, saat kita dinilai orang bahwa kita tidak berpikir Think out the box. Apakah demikian?


Berpikir keluar dari kotak, adalah cara pandang untuk menilai, melihat sesuatu bukan hanya dari satu sisi,tetapi harus cover both side. Atau mungkin seharusnya bukan hanya dari dua sisi, tapi dari berbagai sisi juga. Menurut hemat saya, ini adalah cara supaya kita tidak terburu-buru dalam memberikan penilaian kita, atas apapun. Dengan demikian, kita harus banyak mencari informasi sebanyak mungkin, belajar tanpa henti, mengamati dan peduli. Sehingga kalimat diatas bisa memberikan banyak arti.


Baru-baru ini saya menyelesaikan sebuah bacaan, dari Nassim Nicholas Thaleb berjudul The Black Swan, buku tentang sebuah teori suatu ke’acak’an yg mungkin dan bisa terjadi dalam banyak hal dimana orang tidak memprediksi sebelumnya. Sebuah buku yang harus pelan-pelan dalam mencernanya atas maksud si penulis. Dan kesimpulan saya atas buku itu adalah kita harus berpikir think out of the box. Kenapa saya berkesimpulan demikian? Karena sang penulis menjelaskan tentang adanya Triplet of Opacity (3 hal yang membuat kabur) pada halaman 10 buku tersebut, yaitu :

1. Ilusi Pemahaman, atau bagaimana setiap orang mengira tahu yang tengah terjadi di dunia yang lebih rumit atau lebih acak) daripada yang disadari;

2. Distorsi retrospektif, atau bagaimana kita dapat menilai masalah hanya sesudah fakta tersedia, seolah-olah itu adalah pemandangan dibelakang cermin (sejarah tampak jelas dan lebih tertata dalam buku-buku sejarah dibanding dalam realitas empirik);

3. Valuasi berlebihan terhadap informasi faktual dan hambatan yang dialami oleh orang-orang yang berwenang dan terpelajar, khususnya ketika mereka menciptakan kategori-kategori.


Tetapi kita tidak akan mengulas buku tersebut secara mendetail dalam tulisan ini, walaupun buku tersebut menurut saya sangat pantas untuk dikupas dan dibedah, karena saya sudah pernah men-share buku tersebut di twitter saat sesi Share A Book, bahwa betapa sangat terbatasnya pembelajaran yang kita dapatkan dari pengamatan-pengamatan atau pengalaman-pengalaman serta betapa rapuhnya pengetahuan kita selama ini. Bahwa melihat angsa putih bukan sebuah penegasan bahwa angsa hitam itu tidak ada, dan ini menunjukkan, melihat serangkaian fakta pendukung tidak harus dianggap sebagai bukti, dimana pengetahuan kita tidak bertambah karena serangkaian pengamatan. Dan menurut hemat saya, itu berarti kita harus berpikir diluar kebiasaan kita, diluar kotak pengetahuan kita, karena menurut si penulis tidak boleh ada tunneling atau pengabaian sumber-sumber ketidakpastian di luar rencana.


Dunia telah berkembang, sangat berkembang diluar kendali manusia. Mereka-mereka yang merasa mampu memprediksi akan sesuatu, ternyata terjadi hal-hal diluar prediksi. Ilmu Titen yang dianut oleh orang Jawa, yang berarti niteni atau mencatat/mengingat apa-apa yang telah terjadi, menjadi tidak relevan lagi terjadi di masa sekarang. Kalau dahulu paceklik bisa ditunjukkan oleh rasi bintang tertentu, sekarang tidak lagi. Bencana-bencana alam yang dahulu ditandai dengan sesuatu tanda, sekarang bahkan tahu-tahu terjadi seketika. Itulah kenapa, kita harus mengembangkan semua instuisi, pengetahuan dan bukan hanya berdasarkan pengamatan atas fakta-fakta. Melihat sesuatu yang bahkan diluar yang kita bayangkan sebelumnya.


Mungkin dalam beberapa kasus atau sesuatu hal tertentu, beberapa 'golongan' orang tidak mau keluar dari pandangannya. Mereka terpaku pada suatu kebiasaan. Bahkan jika ada pandangan baru yang mungkin sedikit menyimpang, maka yang berpandangan menyimpang tersebut akan di labelisasi dengan 'radikal' atau istilah lain yang berkonotasi negatif. Karena (lagi-lagi dari buku The Black Swan), manusia terbukti arogan dalam hal yang menurut mereka telah mereka ketahui dan itu mengakibatkan adanya arogansi epistemik, yaitu kebanggaan atau rasa percaya diri berlebih-lebihan terkait dengan batas-batas pengetahuan kita. Tentu saja mereka tahu banyak, tetapi manusia mempunyai kecenderungan bawaan untuk berpikir bahwa mereka tahu 'sedikit' lebih banyak daripada sesungguhnya yang mereka ketahui.


Hal yang harus kita lakukan atas kecenderungan arogansi epistemik itu adalah, bagaimana cara kita mengukur arogansi kita dan bagaimana kita melihat implikasi arogansi tersebut. Kecenderungan untuk tidak mengubah pandangan kita ini berkaitan dengan keengganan mengubah kepercayaan (belief perseverance) atau keengganan untuk tidak mengubah pandangan yang sudah dimiliki dari manusia. Seseorang yang sudah 'berumur' kemungkinan akan menjadi bahan pergunjingan saat menjadi anggota dari komunitas yang berisi anak-anak muda. Padahal pasti ada maksud tertentu dengan masuknya orang tersebut kedalam komunitas itu. Taruhlah, karena orang tersebut ingin selalu tahu perkembangan yang terjadi dikalangan anak muda, apa yang sehari-hari dibicarakan dan diingini para anak muda tersebut karena dia memiliki anak yang menginjak remaja dan pembelajaran tersebut ternyata bermanfaat bagi dirinya. Tetapi orang menilai beda, karena orang hanya melihat sekilas yaitu orang yang 'berumur' tetapi ikut dalam komunitas yang tak seumuran dengannya.


Pembelajaran, menurut hemat saya, bisa kita peroleh dari berbagai hal, yang bisa mengubah cara pandang kita. Tidak perlu terlalu 'ngotot' pada sesuatu hal dan tidak mau menerima masukan, walaupun ide yang disampaikan orang tersebut sangat tidak masuk akal. Peduli merupakan salah satu kunci dari berpikir diluar kotak ini. Hanya orang bodoh yang merasa dirinya pintar. Ungkapan saya ini mungkin akan terdengar kasar dibeberapa orang. Tapi tidak menurut saya, setiap mereka yang merasa 'paling' pintar, maka itu akan menelurkan jumawa-jumawa yang menulikan dan membutakan rasa kepedulian. Karena yang selama ini harus kita hindarkan adalah adanya arogansi dengan sedikit kompetensi atau bisa jadi arogansi tanpa kompetensi (tong kosong nyaring bunyinya).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun