Mohon tunggu...
Early Maya Ramadhanty
Early Maya Ramadhanty Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Mahasiswa UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perempuan dengan Pendidikan Tinggi

30 Oktober 2020   09:10 Diperbarui: 3 November 2020   11:51 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Stigma masyarakat Indonesia  khususnya di daerah pedesaan, perempuan itu tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi. Bisa membaca, menulis, dan menghitung itu saja cukup. Yang terpenting dia pandai memasak, bersih-bersih rumah dan telaten merawat anak dan suami. Namun faktanya ada hal lain yang tidak kalah penting, salah satunya yaitu knowledge.

Saya sering mendengar "Masak dan bersih-bersih itu adala kewajiban perempuan" kalimat tersebut sebenarnya terbentuk dari budaya patriarki yang turun temurun di Indonesia. Dari dulu hingga sekarangpun perempuan selalu dikaitkan dengan dapur dan pekerjaan rumah, bahkan tak jarang lontaran negatif didapatkan oleh perempuan yang menempuh pendidikan tinggi.

"Percuma kamu sekolah tinggi-tinggi, kalo ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga." 

Anggapan tersebut lahir dari pemikiran orang-orang terhadap makna sekolah yang berujung pada dunia kerja, mendapat gaji atau minimal punya jabatan tinggi. Sehingga jika sudah sekolah tinggi-tinggi dan hanya menjadi ibu rumah tangga akan dianggap sia-sia.

Sebenarnya pendidikan yang tinggi bukan hanya sebagai "jembatan" untuk mendapatkan gelar dan membangun karir, melankan menjadi tempat kita menimba ilmu, menambah wawasan, membentuk pola pikir,  yang pastinya berguna bagi diri sendiri dan juga orang di sekitar.

Pada hakikatnya perempuan memiliki peran yang penting pada masa yang akan mendatang, selain sebagai seorang istri, tentunya perempuan juga ingin menjadi ibu, teman, sekaligus guru dan madrasah pertama bagi anak-anaknya kelak. Bukan hanya tentang melayani tapi juga mengajari dan mendidik anak agar menjadi generasi penerus yang cerdas dan berkhlak.

Saya sendiri ingin menjadi perempuan pertama yang dapat menanamkan nilai-nilai teladan kepada anak, bisa menjawab pertanyaan anak dengan cerdas dan bijak, menjadi tempat curhat dan diskusi anak secara sehat, dan melahirkan anak yang teredukasi agar bisa berkembang. Semua itu tidak akan berjalan dengan mudah seperti membalikkan telapak tangan jika tidak didasari dengan ilmu, dan menempuh pendidikan.

"Perempuan itu jangan sekolah tinggi-tinggi, nanti laki-laki minder."

Saya juga sering mendengar percakapan bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi akan susah dapatkan jodoh, karena laki-lakinya minder duluan. Padahal keadaan tersebut terjadi karena kurangnya kepercayaan diri yang dimiliki laki-laki. Saya pikir, laki-laki dengan rasa kepercaya diri dan konsep diri yang baik tidak akan bermasalah jika berpasangan dengan perempuan yang berpendidikan tinggi dan sebalikan justru laki-laki tersebut akan mendukung pasangannya.

Zaman sekarang banyak loh laki-laki lulusan S1 menikah dengan perempuan lulusan S2 atau bahkan keduanya sama-sama bergelar doktor. Sebenarnya jika rasa toleransi dan saling menghargai dipelihara dalam sebuah hubungan, maka gelar setinggi apapun tidak akan menjadi masalah dalam hubungan. 

Hanya saja terkadang dalam beberapa kasus, rasa ketidakpercayaan diri tersebut terbentuk dari stigma masyarakat sekitar yang berpandangan bahwa idealnya laki-laki berpasangan dengan perempuan yang pendidikannya lebih rendah. Karena semakin pintar perempuan, maka akan semakin besar pula peluang untuk mendominasi dalam hubungan. Padahal, pintar itu bukan tentang mengepalai atau mendominasi saja. Namun, bagaimana ia pintar dalam mengontrol emosi, pintar mengelola keuangan, pintar bertukar pikiran, pintar mendidik anak, dan masih banyak lagi.

Perempuan berpendidikan tinggi itu bukan untuk tujuan egois tapi justru untuk tujuan bersama yang mulia. Karena perempuan sadar bahwa kehadirannya harus bermanfaat untuk orang banyak dan lingkungan sekitarnya. Dunia ini terlalu luas dan terlalu kejam untuk perempuan yang hanya mengandalkan kecantikan dan lemah lembutnya.

Semua sisi buruk tersebut tergantung pada individunya masing-masing, bukan tingkat pendidikan atau kepintaran seseorang. Tetapi jika seseorang yang pintar dapat menghargai satu sama lain, maka tidak akan terjadi rasa mendominasi atau didominasi. Karena sejatinya laki-laki tetaplah pemimpin dalam rumah tangga.

Pendidikan bukanlah identitas untuk suatu kaum, melainkan hak semua orang terlepas apapun gendernya. Baik laki-laki ataupun perempuan bahwasanya mereka berhak mengembangkan diri dengan caranya masing-masing. Dan perempuan tidak dilahirkan untuk menjadi budak yang hidup di bawah kendali patriarkis, mereka juga berhak menentukan jalan hidupnya sendiri baik itu menjadi wanita karier ataupun menjadi ibu rumah tangga yang terpenting mereka tidak melanggar aturan yang berlaku dan tetap bisa membagi waktu untuk karier dan rumah tangganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun