Mohon tunggu...
EA Protes
EA Protes Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Gagal jadi Nabi pindah jadi Setan. Mati jadi Setan, protes tiada henti

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Penyebab Saya tidak Hormat pada Admin Kompasiana

11 Agustus 2011   16:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:53 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu saja tidak dalam segala hal. Tapi hanya soal menghapus tulisan dan membanned akun. Memang ada TOS dari Kompasaina. Tapi praktek atau pelaksanaan dari TOS itu tidak presisi. Tidak konsisten. Dan secara azas kepemilikan, semua itu adalah hak Admin sebagai petugas Kompasiana. Tapi dari sisi aturan main yang fair, admin Kompasiana bagi saya tidak fair. Setidaknya sejauh yang saya alami:

Pertama:

Soal HL (Headline). Saya dari pertama bergabung di Kompasiana memang tidak surr dengan konten HL pilihan admin. Karena tulisan yang dijadikan HL cendrung tulisan berita. Dan saya memang tidak suka tulisan berita. Saya suka tulisan opini dan sastra. Karena itulah saya tidak peduli soal HL. Hanya saja saya ikut prihatin dengan sejumlah Kompasianer yang merindukan HL dan Terekomendasi. Sementara yang dipilih admin hanya tulisan dari Kompasianer yang itu ke itu saja. Analisa saya hanya 2 hal. Pertama karena admin tidak sempat membaca semua tulisan yang masuk. Akhirnya dipilih saja tulisan yang sudah biasa dia pilih sebelumnya. Kedua pemilihan itu berdasarkan afiliasi emosional psikologis. Yaitu perasaan. Rasa familiaritas terhadap Kompasianer tertentu. Bahasa halusnya koncoisme. Atau kopdarisme.

Kedua:

Benar rubrik agama sudah dihapus. Tapi ratusan tulisan agama tetap berkeliaran tiap hari. Dan yang dihapus, tidak semuanya. Dan saya termasuk yang paling sering menjadi sasaran pisau delete admin. Kenapa? Ini yang saya tidak mengerti.

Jika alasannya memicu kegaduhan, kenyataan yang saya alami, malah banyak yang membaca tulisan saya. Dan juga banyak yang mengaku terang-terangan terinspirasi. Belum lagi sejumlah mereka yang memburu saya sampai ke Facebook dan email via inbox. Jika dihitung secara persentase, jumlah pembaca yang kebakaran jenggot dengan yang simpati terhadap tulisan saya, sangat tidak berimbang. Mungkin 95 : 5. Ini kalau boleh saya mengaku.

Ketiga:

Kenapa tulisan puisi atau diluar konten agama saya juga dihapus admin Kompasiana? Apakah puisi saya juga memicu kegaduhan? Ini yang saya benar-benar tidak mengerti.

Ketiga point itulah yang membuat saya tidak respect dengan personalitas apalagi profesionalisme admin. Tapi saya sadar. Semua itu adalah wewenang mutlaknya. Akan tetapi bila bicara hak veto, maka bagi saya TOS itu hanya omong kosong. Karena berbagai kebijakannya menjadi abstrak. Tidak dimengerti. Apa dan kenapa. Akibatnya, saya, mungkin juga sebagian kompasiner lain, menjadi bingung alias tidak mengerti dengan segala tindakan admin. Sedangkan fungsi dari TOS sebenarnya adalah agar setiap sanksi yang dikenakan pada member menjadi dipahami dan dimaklumi. Tapi sekarang apa yang terjadi? Seribu tanda tanya berkecamuk di pikiran Kompasianer.

Lalu jika demikian kenapa saya masih menulis di Kompasiana? Ya tentu ada sejumlah alasan:

Pertama:

Untuk menemukan teman diskusi. Karena umumnya Kompasianer bukanlah seorang blogger (paling tidak blogger pasif), maka mereka sangat responsible untuk diskusi. Dan itu saya suka. Karena diskusi adalah sorga saya.

Kedua:

Untuk membangun branding. Baik branding nama saya pribadi maupun branding untuk blog saya pribadi (blogernas). Karena pengunjung Kompasiana perhari lebih kurang saat ini sudah mencapai angka lebih kurang 35 ribu perhari. Dengan jumlah member dalam kisaran 70 ribu. Ini tentu ladang branding yang sangat empuk dalam waktu yang singkat. Lalu untuk apa branding? Ah … masak anda belum tahu apa gunanya.

Ketiga:

Untuk menyedot traffic. Untuk membajak pengunjung Kompasiana untuk blogernas. Apa gunanya? Ya tentu untuk mendongkrak prestasi blogging saya dengan bogernas. Misalnya Alexa rank, Google Page Rank, Rank Popularity, SEO dan seterusnya. Lalu untuk apa semua ini? Ya tentu hanya blogger yang mengerti dunia blogging yang tau persis semua ini.

Nah, jika salah satu dari ketiga alasan itu tidak saya dapatkan di Kompasiana, maka saya tidak akan buang-buang waktu dan menguras energi lagi di Kompasiana.

Jadi, kembali pada topik inti, saya berada diantara dua tegangan dalam hal ini. Disatu sisi saya tidak respek dengan admin Kompasiana (setidaknya hingga saya menulis postingan ini: 11 Agustus 2011). Sedang disisi lain gairah untuk berprestasi dalam menulis, diskusi dan blogging belum padam hingga kini. Sehingga semangat itu tetap mendorong saya untuk bekiprah di Kompasiana.

Lalu apakah saya tidak merasa malu atau anjlok harga diri karena perlakuan admin Kompasaiana? Saya menempatkan harga diri tidak disembarang konteks. Dan saya belajar banyak tetnang yang satu ini dari iblis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun