Lalu jika demikian kenapa saya masih menulis di Kompasiana? Ya tentu ada sejumlah alasan:
Pertama:
Untuk menemukan teman diskusi. Karena umumnya Kompasianer bukanlah seorang blogger (paling tidak blogger pasif), maka mereka sangat responsible untuk diskusi. Dan itu saya suka. Karena diskusi adalah sorga saya.
Kedua:
Untuk membangun branding. Baik branding nama saya pribadi maupun branding untuk blog saya pribadi (blogernas). Karena pengunjung Kompasiana perhari lebih kurang saat ini sudah mencapai angka lebih kurang 35 ribu perhari. Dengan jumlah member dalam kisaran 70 ribu. Ini tentu ladang branding yang sangat empuk dalam waktu yang singkat. Lalu untuk apa branding? Ah … masak anda belum tahu apa gunanya.
Ketiga:
Untuk menyedot traffic. Untuk membajak pengunjung Kompasiana untuk blogernas. Apa gunanya? Ya tentu untuk mendongkrak prestasi blogging saya dengan bogernas. Misalnya Alexa rank, Google Page Rank, Rank Popularity, SEO dan seterusnya. Lalu untuk apa semua ini? Ya tentu hanya blogger yang mengerti dunia blogging yang tau persis semua ini.
Nah, jika salah satu dari ketiga alasan itu tidak saya dapatkan di Kompasiana, maka saya tidak akan buang-buang waktu dan menguras energi lagi di Kompasiana.
Jadi, kembali pada topik inti, saya berada diantara dua tegangan dalam hal ini. Disatu sisi saya tidak respek dengan admin Kompasiana (setidaknya hingga saya menulis postingan ini: 11 Agustus 2011). Sedang disisi lain gairah untuk berprestasi dalam menulis, diskusi dan blogging belum padam hingga kini. Sehingga semangat itu tetap mendorong saya untuk bekiprah di Kompasiana.
Lalu apakah saya tidak merasa malu atau anjlok harga diri karena perlakuan admin Kompasaiana? Saya menempatkan harga diri tidak disembarang konteks. Dan saya belajar banyak tetnang yang satu ini dari iblis.