Belum lama ini masyarakat indonesia dibingungkan dengan adanya tayangan yang dirasa tidak berbobot. Pada tahun 2022 bulan desember kemarin, ada seoarang remaja yang notabenenya masih status pelajar berusia 15 tahun yang belum memiliki pretasi di sekolah ataupun mengharumkan negara diundang hadir ke stasiun televisi dengan bermodal viralnya di jejaring medsos terkait kandasnya hubungan. Belum lama jni juga, dilansir dari kompas.com terdapat seorang pria yang viral atas aksinya mandi lumpur dan mengajak beberapa orangtua masuk ke channelnya sehingga masyarakat pun mencibir aksinya tersebut yang dirasa mengeksplorasi orangtua. Lantas, siapa yang bertanggung jawab atas seluruh siaran?
Dunia industri perfilman di Indonesia sedang mengalami fase secara terusmenerus berkembang. Sekarang bisa dibilang bahwa Indonesia mampu "bersaing" dengan perfilman luar negeri begitu pula dengan industri televisi. Saat ini disejumlah provinsi di Indonesia telah menganti yang sebelumnya menggunakan anolog sekarang beralih ke digital guna siaran yang ditampilkan menjadi jernih dengan Sep Top Box berlaku mulai tanggal 3 november 2022.
Televisi merupakan barang yang menampilkan sebuah gambar yang bisa bergerak dengan daya dukung perpaduan suara dan warna yang memikat orang untuk menontonnya. Televisi pertama kali ditemukan tahun 1888. Dan untuk pertama kalinya masuk ke indonesia televisi itu pada tahun 1962. Banyak sekali perubahan entah secara internal maupun eksternal dalam memproyeksikan televisi dengan seiring berjalannya zaman. Bobot dalam setiap siaran memiliki kekhasannya begitu pula mengikuti arus zaman. Lantas siapa yang mengatur dan mengurus segala macam layanan hak siar, lolosnya siaran yang akan diberikan kepada masyarakat umum? yaitu KPI (Komisi Penyiaran Indonesia).
Pemegang Kemudi
Di kutip dari laman kpi.go.id, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) lahir pada tahun 2002 yang diatur pada Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. KPI terbagi menjadi dua bagian seperti KPI pusat dan KPI provinsi. KPI pusat terdiri dari 9 orang sedangkan KPI provinsi terdiri dari 7 orang yang dipilih oleh dewan perwakilan rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah. Menjadi anggota KPI memiliki tanggung jawab yang besar. Tidak hanya untuk kepentingan lembaga tetapi demi memajukan bangsa dengan siaran yang inspiratif, esensial, integritas dan reflektif. Apakah sekarang seperti itu?
Kita sedang di ombang-ambing oleh gelombang yang tak menentu. Masa digital ini membuat hidup kita menjadi nyaman, menonjolkan diri demi mencari popularitas tanpa ada makna yang diangkat. Jika kita perhatikan, siaran-siaran televisi yang kita tonton saat ini apakah masih ada acara yang mengangkat kisah inspiratif, beresensi, berintegritas bahkan reflektif? Masih ada namun sudah berkurang. Bila dicermati tayangan yang disiarkan di sejumlah siaran di televisi rata-rata mengenai video tentang viralnya kejadian di medsos bahkan informasi edukatifnya saja masih kurang. Sebagai Homo Digitalis kita tidak bisa mengontrol algoritma yang sudah dibangun.Â
Berita terkini tetap harus kita ketahui supaya tidak ketinggalan zaman. Perlu disadari bahwa tayangan telvisi di indonesia yang mendidik juga adak. Menurut Kominfo.go.id menjabarkan perihal idealnya tayangan yaitu memberikan nilai edukatif, membentuk karakter kejujuran, kepedulian bahkan tanggung jawab. Selain itu  Kominfo tidak bisa bergerak jauh apalagi menyentuh konten yang ada dalam suatu siaran sebab itu adalah wewenang KPI dan KPI bertugas untuk mengontrol.
Masyarakat Indonesiapun menanggapi hal tersebut dengan pro dan kontra. Tidak hanya masyarakat saja tetapi public figure pun ikut mengkritisi tentang penyiaran yang tidak ada nilai edukatifnya. Contoh public figure yang secara gamblang menanggapi hal ini yaitu Deddy Corbuzier, John LBF, Najwa Shihab, Ernest Prakasa, Kemal Palevi dan Robby Purba
Jangan dijadikan Dogma Saja
Belum lama ini, adanya anggapan di suatu media sosial bahwa masyarakat tidak berhak untuk mengkritisi segala keputusan KPI terkait dengan program yang disiarkan. Kenyataannya tidak seperti itu. KPI sangat terbuka akan masukan dan akan menjawab kritikan. Di lansir dari kpi.go.id menjabarkan bahwa kualitas tontonan ditentukan oleh penonton, karena fungsi KPI hanya melakukan pengawasan konten dan materi yang disiarkan kepada khalayak umum. Hal ini yang melandasi bahwa KPI terbuka dan menerima segala masukan demi kemajuan industri televisi yang bermutu.Â
Akhir bulan desember, masyarakat indonesia sontak dikejutkan dengan kehadirannya program TV yang dirasa tidak kontekstual bahkan edukatif. Salah satu public figure yang sedang viral atas pernyataanya ialah Deddy Corbuzier. "Pertanyaan saya, bukan masalah Fajar diundang ke sini apa enggak, bukan masalah Fajar ada di media sosial apa enggak, bukan masalah Fajar nangis-nangis beneran apa enggak, bikin quotes, mau pacaran umur 15 tahun, bukan itu. Masalahnya adalah dia pada saat ada TV, mana KPI? " ujar Deddy Corbuzier di akun YouTube pribadinya. Deddy pun menambahkan bahwa dirinya pernah ditegur oleh KPI karena mengundang remaja dibawah umur, padahal di acara hitam putih adalah siaran yang edukatif dan menginspiratif.
Pernyataan Deddy Corbuzier langsung ditanggapi oleh KPI pada 19 januari 2023. Komisi Penyiaran Indonesia menjelaskan bahwa standar program siaran kategorui remaja (13-17 tahun) sedangkan untuk kategori anak berusia 7-12 tahun. Melalui akun intagram @kpipusat dijabarkan bahwa acara yang ditujukan bagi remaja, tidak ada larangan untuk menampilkan cerita asmara selama tidak melanggar norma dan kesusilaan. Sedangkan untuk anak-anak baru dilarang.Â
Meskipun demikian, KPI pula menghimbau segala program yang nanti akan disiarkan harus menyiarkan program yang ramah anak, inspiratif, edukatif, berintegritas bahkan reflektif. Hal ini pula yang dinanti masyarakat luas. Masyarakat tidak hanya terpaku pada kasus Fajar (Sadboy) yang diundang ke acara TV, baru-baru ini masyarakat kembali dibuat kesal dikarenakan undangan dari acara televisi yang mengundang seorang pria yang viral akan konten mandi lumpur. Viralnya tidak ada hal edukatif melainkan masyarakat luas merasa bahwa konten itu mengekploitasi orangtua. Siapa yang keliru? Apakah dogma siaran televisi itu harus viral biar dapat jam tayang lebih atau karena berpikir bahwa pribadi yang diundang secara pretasi tidak menghasilkan jam tayang lebih?
Apakah anda tahu bahwa ada mahasiswa Indonesia yang mengikuti perlombaan peluncuran satelit di Amerika Serikat juara? Kemudian anak supir angkot jadi lulusan terbaik di SPN Polda Jabar? Sebenarnya masih banyak hal yang berprestasi namun tidak diliput oleh media industri televisi. Sangat disayangkan peristiwa yang membanggakan dikalahkan dengan viralnya kejadian yang tidak ada edukasinya seperti joget-jogetan, kandasnya asmara hingga sampai konten mandi lumpur. Dapat dilihat perubahan isi program siaran berbeda dengan masa lampau.Â
Sekitar tahun 2000-an, apakah anda ingat acara televisi yang beredukasi, banyak bukan? Program siaran untuk anak-anak sekarang apakah sebanyak tahun 2000-an? Sekarang sudah menepi hanya ada terfokus pada suatu channel di televisi tidak terdapat di semua channel televisi. Perubahan ini memberi pengaruh bahwa masyarakat bisa membuat hal khonyol hanya demi populer di televisi. Acara yang tidak bermutupun sering ditonton karena keunikan menggundang orang viral bukan orang beredukasi. Walau KPI sudah berusaha untuk mengawasi, mereka pula manusia punya salah bahkan keliru akan keputusan.
Televisi masih dibutuhkan oleh masyarakat. Televisi adalah kanca cakrawala masyarakat untuk melihat dan mendalami kejadian yang mereka belum ketahui. Ketegasan KPI sangat diperlukan tidak hanya berani menegur namun berani untuk mengganti atau memberhentikan program yang tidak layak untuk dipertontonkan. Sewajarnya televisi adalah tempat untuk mendidik yang beredukasi serta mengikuti Undang-undang Dasar 1945 pada alinea IV bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Oleh sebab itu KPI, Kominfo, HAM dan jajaran penting pemerintah bersama masyarakat berjalan bersama untuk terus mendorong budaya positif yaitu dengan mengkritisi, tidak membuat hal khonyol demi popularitas semata, serta ditujukan bukan untuk kepentingan pribadi atau lembaga tetapi demi kepentingan bersama mewujudkan indonesia yang maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H