Mohon tunggu...
Ariel A. Kutajeng
Ariel A. Kutajeng Mohon Tunggu... -

Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudah, Fokus Kuliah Saja!

8 Oktober 2017   21:30 Diperbarui: 9 Oktober 2017   13:33 1555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Setiap organisasi kampus selalu menggunakan awal semester untuk melakukan rekrutmen anggota baru, di masa-masa ini pula kemudian organisasi-organisasi tersebut akan berlomba-lomba menunjukkan eksistensi serta keunggulannya masing-masing.

Beberapa waktu lalu, fakultas saya yang bertempat di kampus 2 disambangi oleh anak-anak perwakilan Unit Kegiatan Mahasiswa(UKM) yang berpusat di kampus 1. Mereka meneriakkan orasi yang intinya mengajak mahasiswa untuk bergabung dengan UKM; baik pramuka, PMI, Olahraga, dll.

Namun, hal yang terduga terjadi.

mereka diusir oleh pihak otoritas fakultas.

Menurut hemat saya, kemungkinan besar tragedi ini terjadi pasti hanya karena birokrasi dan surat menyurat.

Namun hal ini dibantah oleh teman saya yang tergabung dalam kegiatan tersebut, "Kita udah ngasih surat pemberitahuan beberapa hari sebelum ke sana kok" ungkapnya.

Sejalan dengan teman saya ini, anak-anak dari fakultas saya yang menyaksikan kejadian tersebut cuma berkomentar "Ya karena kultur kita beda, anak-anak fakultas kita itu dididik jadi akademisi, tok."

Hal yang sama tak mengenakkan juga terjadi saat UKM lembaga dakwah kampus(LDK) yang memiliki komisariat di setiap fakultas, melalui komisariat di fakultas kami mengadakan kajian keislaman yang untuk memaksimalkan acara, maka membutuhkan ruang kelas.

Pihak kampus kekeh tak mengizinkan dengan berbagai alasan, hingga menyudutkan dengan pertanyaan "LDK itu apa? Ini radikal gak?" padahal jelas-jelas organisasi tersebut adalah organisasi resmi di universitas.

Meski tak ada mahasiswa yang mampu melogika, setidaknya kami tetap harus memaklumi keinginan fakultas agar mahasiswa senantiasa untuk mempelajari materi kuliah saja yang rajin, jangan belajar yang macam-macam. jangan pula mengadakan acara yang macam-macam.

Hal ini sebenarnya yang kemudian mengganggu pikiran saya, karena jika yang diinginkan fakultas adalah seperti itu, mengapa acara-acara di BEM yang sering kali terkesal cuma untuk hura-hura diizinkan?

Tanpa berniat untuk menggurui, meski Roem Topatimasang dalam buku "Sekolah itu Candu" menciptakan premis bahwa setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah ilmu, saya sadar kadar keilmuan saya tak mungkin cukup untuk "Mengajari" otoritas fakultas yang terdiri dari orang-orang kelas wahid dalam bidang studinya masing-masing.

Namun sepehaman saya, ilmu tak bisa dikotomi dan dipisah-pisahkan. 

Dalam dunia islam misalnya, kita mengenal ibnu sina sebagai seorang dokter, psikolog, ahli hukum, ahli matematika, filsuf, juga ulama.

Bagi saya, ilmu itu bersifat satu ke satuan. misalnya, mustahil belajar fisika tanpa matematika.

logika sederhananya seperti itu.

Kembali ke permasalahan awal, apakah sebenarnya etis untuk memaksa mahasiswa fokus ke bidang studinya masing-masing?

bagi saya, tidak.

Setiap orang bukan kertas kosong, mereka membawa serta potensi dalam dirinya. Potensi-potensi ini yang kemudian mungkin akan hilang ditenggelamkan oleh perintah "Fokus ke studi masing-masing".

Setiap tindakan manusia memiliki alasan dan motivasi yang melatar belakanginya, maka ketika seseorang memutuskan untuk menomor sekiankan bidang studinya, dan malah berusaha untuk mengeksplorasi ilmu lain. apakah kita berhak menjustifikasi orang ini sebagai orang yang malas?

lagi pula, tak semua mahasiswa yang masuk ke satu jurusan, memiliki passion yang seutuhnya untuk jurusan itu. Ada yang memilih karena pekerjaannya mudah, dipaksa orang tua, atau hanya sekedar yang penting kuliah.

Lagi pula, adalah suatu hal penting bagi mahasiswa untuk memiliki kehidupan sosial agar tahu bagaimana cara menggunakan ilmu yang ia pelajari sebagai solusi dari problematika sosial di masyarakat. 

Misalnya, teman-teman saya dari jurusan psikologi seringkali memberikan konseling kecil-kecilan pada mahasiswa-mahasiswa dari jurusan lain di organisasi yang sama ketika mereka memiliki masalah dalam dirinya.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
jika masalah tersebut ternyata tidak kecil, mereka akan disarankan datang ke psikolog.

Mahasiswa abal-abal yang melanggar kode etik ini pula yang kemudian membantu para petinggi mereka menghilangkan stigma bahwa hanya orang gila yang datang ke psikolog.

menurut kalian sendiri, jenis mahasiswa mana yang lebih berguna;

para pengejar IPK atau para psikolog abal-abal ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun