Peristiwa Malari, Komando Jihad, kerusuhan Lapangan Banteng dan pembajakan pesawat Woyla, kata Soemitro, pada dasarnya adalah produk rekayasa intelijen.
Komando Jihad menyeret Danu Muhammad (ayah Hilmi Aminuddin, mantan Ketua Majelis Syura PKS) dan Haji Ismail Pranoto.
Danu membantah tudingan itu, dipersidangan dirinya menyebut justru berperan sebagai pembantu Bakin, tapi vonis bersalah tetap ditimpakan kepada dirinya.
Akhir hidup Danu tragis. Dia dihukum sepuluh tahun penjara. Ia meninggal beberapa jam setelah menghirup udara bebas, sekeluarnya dari penjara Cirebon. Penyebab kematian Danu masih misterius hingga kini.
Sementara Haji Ismail Pranoto atau akrab dipanggil Hispran ditangkap pada 8 Januari 1977, dia dituduh melakukan makar dengan mendirikan kembali Negara Islam era DI/TII lewat gerakan Komando Jihad.
Saat ditemui oleh Mohammad Assegaf dan Adnan Buyung Nasution, dua pengacara yang diminta pengadilan untuk membela dirinya, Hispran nampak tak antusias ketika kedua pengacara dari LBH Jakarta itu memintanya terbuka.
Hispran malah menceritakan panjang lebar cita-citanya mendirikan negara Islam, menjelaskan bahwa dia telah menyiapkan banyak hal, mulai dari mengumpulkan senjata dan menyiapkan nama-nama menteri.
Assegaf dan Buyung tercengang, Hispran mereka anggap aneh bin ajaib. Orang desa tapi fasih bicara politik layaknya intelektual. Sementara mereka tahu Hispran sebenarnya orang yang lugu dan tidak pintar.
Saat di Jakarta sebenarnya Assegaf dan Buyung sudah diwanti-wanti sejumlah orang bahwa Hispran adalah binaan Ali Moertopo. Akhirnya, kedua pengacara itu pun memutuskan untuk tidak mau membela Hispran.
Komando Jihad dinilai hanya akal-akalan Ali Moertopo dan intel-intelnya. Mantan Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas menyebut Komando Jihad Cuma gerakan jadi-jadian agar terkesan Islam itu berbahaya.
Busyro mengambil kisah gerakan Komando Jihad sebagai penelitian untuk disertasinya di Universitas Islam Indonesia.