Mohon tunggu...
Junaedi Ham
Junaedi Ham Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis

Bekerja di Balang Institute Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cerita Petani Kopi Hutan Desa Labbo

8 Februari 2021   22:22 Diperbarui: 10 Februari 2021   09:45 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sejak tahun 2010 masyarakat desa Labbo, Bonto Tappalang, dan Kampala telah memiliki akses legal untuk mengelola hutan dengan menanam kopi, dan memanen hasil hutan bukan kayu. Daeng Bido dan kawan-kawannya hanya bagian kecil dari cerita petani yang mempraktekkan pengelolaan hutan secara lestari, memulainya dengan membangun kesadaran dan meningkatkan kapasitas masyarakatnya."

Akhir 2019 hingga 2020 saya banyak menghabiskan waktu di desa yang berada pada ketinggian sekitar 1700 mdpl, belajar dan berbagi informasi dengan petani bagaimana kopi dikembangkan dalam kawasan hutan desa seluas 342 Ha.

Hutan tersebut telah memiliki akses legal pengelolaan dari pemerintah melalui skema perhutanan sosial sejak tahun 2010. Hutan desa Labbo dikelola sedikitnya 182 KK.

Sejak itu saya banyak mendapatkan informasi mengenai kebiasaan masyarakat, pengolahan lahan, hingga komoditas yang dikembangkan petani dataran tinggi Tompo Bulu.

Desa tersebut adalah desa Labbo Kecamatan Tompobulu Kabupaten Bantaeng, jaraknya sekitar 30 km dari tempat tinggal saya. Masyarakat yang mengelola hutan desa Labbo tidak hanya berasal dari Labbo tetapi juga berasal dari desa tetangga yaitu desa Bonto Tappalang dan desa Kampala.

Mayoritas pengelola hutan desa Labbo berasal dari kampung Bawa', masyarakat pengelola Desa Bonto Tappalang berasal dari Kampung Lali' Jangang, dan Desa Kampala berasal dari masyarakat Sangga Timoro.

Saya hanya berpindah dari desa Labbo ke Bonto Tappalang, jaraknya sekitar 500 meter dari rumah Daeng Bido di Kampung Bawa' ke rumah Daeng Rulla di kampung Lali' Jangang.

Dua orang tersebut adalah pengelola hutan dari dua desa yang berbeda. Setiap kunjungan ke desa, rumah mereka menjadi tempat menginap atau sekedar mampir.

Daeng Bido banyak tahu tentang hutan desa Labbo, saat ini usianya sekitar 55 tahun. Di suatu diskusi di rumahnya, dia pernah bercerita bagaimana masyarakat Labbo mulai menanam kopi dalam kawasan hutan yang belum memiliki izin pengelolaan.

Ingatannya tinggal pada tahun 2007, masyarakat mulai menanam kopi di pinggir kawasan hutan secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh pihak kehutanan.

sobbu-sobbu taua riolo, tapi nanikurami ka katallassang niboya ri boronga (orang sembunyi-sembunyi, tetapi apa boleh buat kita hanya mencari kehidupan di hutan).

Daeng Bido senang saat menceritakan pengalamannya sambil melinting tembakau yang disimpannya dalam bungkus plastik yang sudah mulai kusut, kemudian menaruhnya kembali di atas bangku yang berada di depannya, menyuguhkan ke orang-orang yang duduk di dekatnya untuk mencobanya. Beberapa cangkir kopi menjadi penghangat saat ngobrol.

Di tengah perbincangan saya mengajukan pertanyaan mengenai kebiasaan masyarakat menebang pohon dalam kawasan hutan. Masyarakat menebang pohon sekitar tahun 90 an akhir untuk membangun rumah.

Jari riolo biasa tongki anna'bang kayu lalang ri boronga? (dulu sering menebang kayu dalam hutan?)

Biasa, punna labbayu balla, atau labbaung masigi (iya. saat ingin membangun rumah, atau membangun masjid).

Ia menunjuk dinding papan rumahnya yang panjangnya 4 meter dengan lebar sekitar 30 cm, lebih lebar dari papan pada umummnya yang hanya ukuran 20 cm.

Usia papan itu mungkin sekitar 20 tahun dan terlihat masih kokoh. Rumah di kampung Bawa' di dominasi rumah panggung, salah satu cirinya di bawah kolom terdapat tumpukan kayu bakar dari pohon kopi yang telah dipotong-potong dengan ukaran yang sama, tersusun rapi di sela-sela tiang rumah.

Saat diskusi mengenai hutan desa dan kebiasaan masyarakat menebang kayu, Abi biasanya lansung menimpali.

Jari rikamonnea bebasmaki antama a'lamung kopi toh tenamo ni larangki? (jadi sekarang masyarakat sudah tidak dilarang menanam kopi toh dalam kawasan?)

Iyo, kasukkuranna injo masyarakaka bebasmi antama a'lamung-lamung (iya, masyarakat bersyukur karena sudah bisa menanam)

tapi teaki anna'bangi kayu, kijagai kabajikanna injo boronga (tapi jangan lagi menebang kayu dan menjaga agar tetap berfungsi sebagai hutan).

Tenamoyya, iya mami sijagai, ka naissengmi masyarakaka (sekarang masyarakat saling menjaga agar tidak terjadi lagi penebangan kayu).

Pertanyaan Abi sebenarnya untuk menegaskan apakah masyarakat tidak lagi menebang kayu yang ada dalam kawasan hutan. Karena selain akan berhadapan dengan hukum, tentu akan mengganggu kelestarian hutan, juga akan berdampak pada fungsi hutan sebagai daerah resapan air. Syukurlah, seperti yang dilontarkan oleh daeng Bido, masyarakat kini telah sadar dan saling menjaga agar hutan tetap lestari.

Saat ini kopi jenis Arabika telah dikembangkan dalam kawasan hutan desa meskipun terbilang belum produktif, hanya menghasilkan sekitar 3-5 liter cherry kopi/pohon, tetapi masyarakat sudah memproleh hasilnya tanpa harus melakukan perambahan hutan.

Selain itu, terdapat potensi madu hutan yang juga bernilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Informasi yang sama dari Daeng Rulla(43) menurutnya tanaman kopi telah memberikan kontribusi perbaikan ekonomi keluarganya. Sebelumnya dia sering ke Makassar menjadi buruh bangunan, ia tidak ingat pasti tahunnya, saat itu gaji buruh bangunan untuk tukang batu sebesar Rp 15 ribu dan buruh masih Rp 6 ribu. Saat itu masyarakat Lali' Jangang masih menaman jagung sebagai komoditi utamanya.

Pacce tallasaka riolo, apa punna baddoji ni lamung, baganna antama kopiyya lampa baji-baji todo tallasa'na tau kennea mae (dulu hidup susah, nanti saat kopi dikembangkan kehidupan masyarakat sedikit membaik) 

Selain menanam kopi daeng Rulla juga membangun jaringan pasar ke salah satu pedagang Cina di Makassar, membeli kopi petani dan membawanya ke Makassar.

Setiap pengiriman dapat memperoleh untung sekitar 300-500 rupiah per kilonya. Sekali pengiriman tergantung banyaknya kopi yang ia beli dari petani, biasanya daeng Rulla mengirim sekitar 15 ton ke Makassar. Musim panen kopi dimulai bulan Mei-Juni dan berakhir pada bulan Agustus-September.

Kini daeng Rulla telah memiliki cucu berumur 3 tahun, hasil pernikahan dari anak perempuannya. Sebuah rumah ukuran lebar 9 meter dan Panjang 12 meter dibangun untuk anak perempuannya yang sudah menikah, menghadap ke sebelah barat berhadapan dengan jalan desa, meski dindingnya nampak belum tertutup plesteran tapi cukup megah untuk ukuran masyarakat Lali' Jangang.

Saat ini ia masih punya anak lelaki berusia 19 tahun, ia berencana tahun ini akan menikahkannya.

Battuko punna Pabbuntinga di!, sekitar bulan sagantuju. katanya, mengundang kami untuk datang di acara pernikahan anaknya sekitar bulan delapan tahun ini.

Saat diskusi mengenai pernikahan anaknya, Abi memberi masukan agar anaknya melanjutkan sekolah saja, menikah setelah sekolahnya selesai. Ia hanya tertawa lalu tersenyum kepada kami.

Katanya anak-anak di kampung jika tidak dinikahkan kerjaannya hanya keluyuran, main hp, begadang, dan tak mau ke lahan. Ya... jalannya adalah dinikahkan.

Dokumen Pribadi : Kampung Sangga Timoro desa Kampala, foto diambil dari bukit Lali' Jangang
Dokumen Pribadi : Kampung Sangga Timoro desa Kampala, foto diambil dari bukit Lali' Jangang
Dari Lali' Jangang saya menuju ke perkampungan Sanggah Timoro. Kampung ini dapat dilihat dari atas bukit Lali' Jangang, hanya nampak atap-atap rumah warga yang berjejer sepanjang jalan hingga ke Ujung Aspal. Sebutan Ujung Aspal karena Sangga Timoro berada di ujung desa Kampala. 

Jalanan aspal terputus di ujung kampung dan tidak terhubung ke desa lain, yang ada hanya kaki bukit Bonto Masigi yang merupakan bagian dari areal kerja hutan desa Labbo. 

Sehingga untuk menuju kampung Sangga Timoro dari Lali' Jangang, membutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan jarak tempuh sekitar 12 km, berputar ke arah selatan menuju bagian barat kecamatan Tompo Bulu yang berbatasan lansung dengan kecamatan Eremerasa.

Berbeda dengan desa Labbo dan Bonto Tappalang, desa kampala berada di kecamatan Eremerasa meskipun wilayahnya tidak berbatasan lansung dengan desa Labbo namun areal kerja hutan desa Labbo yang berada pada wilayah adminitrasi desa Bonto Tappalang lebih dekat dengan kampung Sangga Timoro. Saat ini setidaknya 20 orang masyarakat Kampala ikut mengelola dalam kawasan hutan desa Labbo.

Mengenai kepemilikan lahan menurut daeng Banang (50) salah satu pengelola dari Sangga Timoro, tidak banyak masyarakat Sangga Timoro memiliki lahan di luar kawasan hutan desa, sehingga pilihannya adalah menanam kopi dalam kawasan. 

Tanaman kopi masyarakat Sangga Timoro dalam kawasan hutan desa terbilang lebih produktif dibanding dengan masyarakat Lali' Jangang dan Bawa'. Perawatan yang intensif karena lahan yang digarap hanya ada dalam kawasan hutan desa.

Hutan desa menjadi sumber pendapatan warga dengan menanam kopi. Saat ini selain kopi masyarakat mulai menanam tire (porang) di bawah tegakan sebagai komoditi tambahan yang bernilai ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun