Ada juga bancakan untuk setiap Bulan Suro atau Muharram. Jadi, bancakan ini diibaratkan memanjatkan rasa syukur akan umur yang semakin menua setiap tahunnnya.
 Seperti perayaan ulang tahun yang diadakan setiap tahun di bulan kelahiran, masyarakat daerah ini melakukan bancakan ini serempak di bulan pertama hijriyah setiap tahunnya menurut hari dan tanggal jawa. Permisalan lahir di hari senin legi, maka bancakan diadakan pada hari senin legi di Bulan Suro.Â
Untuk menu bancakan berbeda antara anak dan dewasa. Biasanya untuk bayi cukup dengan bubur abang atau iwel-iwel. Anak-anak ditambah dengan nasi berkat berupa nasi  dan lauknya, begitupun orang dewasa, nasi berkat dengan lauk, biasanya berupa bumbu/ botok, urap, mie, orek tempe dan iwak (bisa berupa daging, ayam, ataupun telur) tergantung pemilik bancakan.
Sasaran bancakan ini biasanya untuk keluarga, saudara dan kerabat dekat. Tak jarang dalam satu hari bisa ada lebih dari 1 nasi berkat bahkan sampai 3 atau 4 nasi berkat yang diterima dan dihadiri acara dikediamannya.Â
Jadi, biasanya setelah magrib orang yang diundang datang ke kediaman penyelenggara bancakan dan melaksanakan doa bersama terlebih dahulu. Kemudian pulang dan diberikan nasi berkat tadi. Jika berhalangan hadir, biasanya akan diantarkan kerumah penerima langsung.
Ada lagi istilah buwuh atau buwoh atau buwuhan. Buwoh sendiri sudah lama dikenal di daerah jawa. Buwoh ini merupakan tradisi memberikan sumbangan berupa makanan, barang maupun uang kepada penyelenggara acara hajatan dari saudara, tetangga maupun kerabat dekat. Acara bisa berupa pernikahan, khitanan dan lain sebagainya.Â
Pemberian sumbangan ini biasanya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Dan penerima buwoh biasanya akan mencatat apa yang diberikan dan mengembalikan sesuai apa yang diberi ketika pemberi mengadakan hajatan setelahnya.
Tradisi buwoh ini bertujuan positif, untuk meringankan beban yang telah dikeluarkan oleh penyelenggara hajatan, meningkatkan rasa kebersamaan dan gotong royong, serta mempererat kembali tali persaudaraan.Â
Akan tetapi ada kelemahan dari budaya ini, yaitu terkadang memberatkan saudara yang berbeda kemampuan ekonomi untuk tetap memberikan sumbangan meskipun tetap telah disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-masing.Â
Disamping itu, jika terlalu banyak yang memberikan sumbangan, akan membuat penyelenggara berpikir untuk membalasnya di kemudian hari ketika mereka mengadakan hajatan masing-masing. Terakhir, akan jelas terlihat kesenjangan ekonomi berdasarkan sumbangan yang diberikan antara satu kerabat dengan kerabat lainnya.
Tulisan ini didasarkan pengalaman baru yang dialami penulis dalam waktu singkat, semoga dapat menambah wawasan pembaca akan wawasan tradisi dan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia.Â