Aku masih belum keluar rumah. Hanya memandangi pak Tengsek yang sedang bercerita dari bilik jendela. Meski sudah tua, suaranya masih terdengar sampai ke dalam rumah.
"Sekarang serdadu Jepang sudah tidak lagi memakai utusan. Mereka langsung datang ke rumah-rumah mencari para wanita muda. Saya sangat bersalah meninggalkan Rumsanih sendirian di rumah. Sehingga ketika saya pulang, saya dapati Rumsanih diperkosa oleh setan-setan Jepang yang datang dari neraka."
"Kakek ngga melawan?" tanya salah seorang di antara kerumunan. Sepertinya dia baru bertemu pak Tengsek. Astaga, dalam hatiku. Aku sudah tahu betul apa yang akan terjadi selanjutnya ketika pak Tengsek dipancing pertanyaan yang demikian. Dia akan membuka kemejanya!
"Melawan mereka itu hal yang mustahil. Saya sudah coba berkali-kali sampai puncaknya ketika Rumsanih dibawa, mereka menghujani saya dengan peluru dan menikam dada saya dengan bayonet hingga saya jatuh tersungkur tak sadarkan diri," jelas pak Tengsek sambil menunjukan bekas luka masa lampau di tubuhnya.
Para tetangga tidak percaya, bagaimana mungkin dengan luka seperti itu pak Tengsek masih hidup sampai sekarang?
"Alhamdulillahnya, saya masih diberi kesempatan hidup. Untuk apa lagi kalau bukan untuk membawa kembali Rumsanih?" lanjut pria kelewat baya tersebut.
Semua yang hadir sebenarnya bingung. Apa maksudnya membawa kembali Rumsanih? Tapi mereka tidak ada yang menyuarakan kebingungan tersebut. Hanya saling tatap dan memperlihatkan raut muka satu sama lain.
"Kata teman-teman saya yang telah gugur, mereka membawa Rumsanih ke ianjo. Tapi Pikram bilang katanya Rumsanih sudah pindah ke daisu" Jelas pak Tengsek sebelum kemudian bersandar pada kursi jati khas betawi di depan teras rumahku. Â Pak Tengsek juga menatap wajah-wajah orang yang ada di sekitarnya seraya mengajak mereka bersukarela membantunya membawa Rumsanih pulang.
"Bukannya kita sudah merde..?" belum selesai seorang laki-laki bergumam tentang kemerdekaan, aku langsung membuka pintu.
"Nah, tuh dia Pikram. Sini tong!" ujar sang pahlawan yang kini merubah gestur duduknya menjadi agak tegak dengan tangannya yang menunjuk ke arahku. Kini semua pasang mata tertuju padaku. Duh..
"Nih, kenalin namanya Pikram. Tentara PETA!" bangga pak Tengsek padaku di depan semua orang yang membuat mereka semua makin larut dalam kebingungan. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang menganggap pak Tengsek sudah tidak waras.