Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Money

Kemiskinan Struktural: Peran dan Kegagalan Negara

22 Desember 2009   06:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:49 2267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sektor Formal dan Informal

Pembangunan ekonomi dari bawah berhubungan erat dengan sektor informal. Sektor informal memiliki peran yang sangat signifikan terhadap perekonomian nasional. Sekitar 70% sektor informal mampu menyerap tenaga kerja. Selain itu, sektor informal pulalah yang mendukung eksistensi sektor formal di Indonesia. Tidak ada sektor formal tanpa ada dukungan dari sektor informal. Potret sederhana adalah di sekitar mall-mall yang begitu megah pasti terdapat rumah makan sederhana seperti, warteg, masakan padang, atau kantin karyawan pasti ada disana.

Namun, keberadaan sektor informal ini pun bukan tanpa resiko. Sektor informal biasanya ditandai dengan minim modal, kurang keahlian, dan manajemen yang kurang ditata. Kekurangan-kekurangan ini jarang terjadi di sektor formal. Sektor formal biasanya menuntut kerja profesional dengan dukungan modal yang besar. Para pekerja juga diberikan tunjangan-tunjangan yang layak, peraturan yang jelas dan mengikat, dan pelatihan keterampilan.

Semakin sedikit sektor formal berarti semakin sedikit tentaga kerja kita yang kompetitif. Semakin sedikit pula tenaga kerja kita yang berenghasilan cukup atau layak. Semakin sedikit pula pekerja yang tahan terhadap guncangan ekonomi.

Pemerintah juga setengah hati dalam mengeluarkan kebijakan untuk mendorong sektor informal lebih maju. Tingginya suku bunga, kurang atau bahkan tidak ada payung hukum yang jelas, birokrasi yang carut-marut, dan korupsi yang masih merajalela adalah bentuk-bentuk kegagalan pemerintah dalam memberikan iklim investasi yang bersahabat.

Alhasil, Indonesia menjadi kurang diminati oleh para investor. Lapangan pekerjaan sulit bertambah. Pengangguran bertambah banyak. Jika hal ini terjadi terus-menerus dan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka kemiskinan struktural adalah muara dari itu semua.

Oleh karena itu, besar harapan penulis untuk pemerintahan SBY jilid 2 ini dalam pemberantasan kemiskinan struktural melalui cara yang struktural pula. Pemberantasan kemiskinan yang bukan hanya melalui kebijakan sesaat tetapi juga melalui kebijakan yang lebih sitematis dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Banyak perbedaan dalam menentukan standar kemiskinan. Hal ini dikarenakan intrepetasi atas kemiskinan pun sangat tergantung bagaimana kita melihat kemiskinan dari sudut pandang yang kita yakini. Pemerintah Indonesia menggunakan standar BPS yang jika kita bandingkan dengan standar kemiskinan berdasarkan World Bank atau Amerika pada tahun 1963, maka terlihat jelas terdapat disparitas yang cukup jauh antara standar kemiskinan di Indonesia dan standar kemiskinan di World Bank dan Amerika (1963).

Tingginya angka kemiskinan di Indonesia nampaknya sudah menjadi kemiskinan struktural yang telah berurat akar. Di sisi lain, tidak ada upaya yang serius dan berkelanjutan dari pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan struktural ini. Dalam menyelesaikan kemiskinan struktural ini, Pemerintah seharusnya melakukan kebijakan yang lebih komprehensif, sistematis, dan tidak bersifat sementara (temporarily) sehingga lambat laun kemiskinan di Indonesia bisa dapat dikurangi.



HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun