Pertumbuhan yang terus-menerus dan peningkatan populasi di kota Jakarta, yang disebabkan oleh perkembangan zaman, telah membawa dampak pada keberagaman budaya yang dibawa oleh pendatang. Hal ini juga mengakibatkan perubahan pada keaslian budaya setempat, terutama Kebudayaan Betawi. Seiring dengan Jakarta yang berkembang menjadi kota metropolitan, masyarakat asli Betawi menjadi tersebar dan terjepit. Oleh karena itu, saat ini sulit untuk menemukan keberadaan Kebudayaan Betawi yang murni, karena adanya pencampuran penduduk dari berbagai daerah di Indonesia di kota Jakarta.
Gagalnya Condet sebagai cagar budaya Betawi disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tidak adanya kekuatan hukum dari pemerintah daerah untuk mencegah dan menjaga pertumbuhan Condet sebagai pemukiman khas yang mengidentifikasi diri dengan budaya Betawi. Kedua, proses pencairan dana untuk rehabilitasi bangunan tradisional Betawi berjalan lambat.Â
Selain itu, kurangnya komunikasi antara gubernur Ali Sadikin dan penerusnya, Soeprapto, dalam mengurus dana rehabilitasi dan pemeliharaan masyarakat Condet, juga menjadi penyebab kegagalan. Faktor lainnya adalah kekurangannya kebijakan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menekankan pentingnya menjaga situs-situs cagar budaya. Terakhir, peningkatan jumlah pendatang di Condet telah menyebabkan tuntutan dari masyarakat Condet untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur yang dianggap merampas ciri khas Condet.
Pada tanggal 18 Agustus 2000, Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, menerbitkan Surat Keputusan No. 92 tahun 2000 tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa. Setelah keluarnya surat keputusan ini, fasilitas secara bertahap mulai dibangun, dan perkampungan serta Setu Babakan di kawasan tersebut diatur pada pertengahan bulan Oktober 2000. Pada tanggal 20 Januari 2001, Prasasti Perancangan Awal Perkampungan Budaya Betawi ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso.
Perkampungan budaya Betawi, yang akan menjadi tempat konsolidasi budaya, bukanlah hanya wacana dan angan-angan belaka. Hal ini telah diwujudkan oleh Pemerintah Daerah, yang diwakili oleh suku dinas pariwisata di wilayah Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.Â
Keputusan yang bijak telah diambil untuk mengaplikasikan budaya Betawi di tengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya melalui perkampungan budaya Betawi. Pembangunan perkampungan budaya Betawi di Setu Babakan dipengaruhi oleh tujuan untuk menciptakan praktik multikultural, di mana setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah tidak terlepas dari konteks politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pariwisata.Â
Hal ini mengingat bahwa perkampungan budaya Betawi merupakan aset budaya yang memiliki potensi besar bagi pemerintah dan kelangsungan budaya Betawi di masa depan.
Setu Babakan Kampung Betawi Jakarta merupakan tempat wisata dengan suasana khas budaya Betawi yang otentik. Desa ini dianggap masih melestarikan dan melestarikan budaya Betawi yang unik, termasuk bangunan, dialek, tarian, musik, dan dramanya.Â
Destinasi wisata ini telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai tempat pelestarian dan pengembangan budaya Betawi. Ini mencakup area seluas 32 hektar tanah dan air. Setu Babakan sebagai Kawasan Cagar Budaya Betawi diresmikan pada tahun 2004. Pemerintah DKI Jakarta menerapkan Peraturan Daerah (Perda) No. 3 tahun 2005 untuk menjaga kelestarian budaya asli Jakarta.Â
Perkampungan Budaya Betawi didirikan di Kelurahan Sengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Tujuannya adalah melestarikan kebudayaan Betawi dan menciptakan keselarasan antara bangunan dan lingkungan yang mencerminkan ciri khas budaya Betawi.Â
Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan ditetapkan sebagai langkah untuk melestarikan budaya tradisional Betawi yang terancam oleh perkembangan Kota Jakarta.