Mohon tunggu...
Dzoulfiqar Gani
Dzoulfiqar Gani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relevansi Pendekatan Ekonomi Politik Post-Keynesian sebagai Opsi Penanggulangan Resesi 2023

26 Oktober 2022   22:07 Diperbarui: 26 Oktober 2022   22:25 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu resesi di Indonesia telah menjadi topik yang hangat dibicarakan oleh masyarakat belakangan ini. Hal ini tentu dilatarbelakangi oleh berbagai tokoh publik yang turut membicarakan adanya kemungkinan terjadinya resesi di tahun 2023.

Sontak hal tersebut kian menjadi buah bibir di tengah masyarakat mengingat dampak dari resesi tersebut berpotensi untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari. 

Isu resesi di Indonesia sendiri sebenarnya telah lama terdengar sejak dimulainya pandemi yang melanda pada pertengahan tahun 2020. 

Realita resesi yang terjadi di Indonesia di kala pandemi tentu berdampak besar terhadap perekonomian masyarakat, terlebih karena masyarakat yang terpaksa untuk menarik diri dari praktik perdagangan untuk menghindari terjadinya penularan penyakit Covid-19 yang kala itu sedang marak-maraknya. Meskipun demikian, berbagai kebijakan pemerintah pun turut diimplementasikan seiring dengan munculnya berbagai isu ekonomi kemasyarakatan.

Pada masa pandemi peran pemerintah sebagai perumus kebijakan memilih untuk menjalankan kebijakan perekonomian sebagai stimulus terhadap sirkularitas ekonomi masyarakat. Berbagai bantuan finansial dari pemerintah turut dikerahkan sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap keberlangsungan ekonomi masyarakat.

Dalam hal ini pemerintah mengedepankan perputaran ekonomi sektor mikro dengan tujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat di tengah kesulitan ekonomi di masa pandemi. 

Pada dasarnya kebijakan yang diambil pemerintah tersebut tentu dilatarbelakangi oleh menurunnya daya beli masyarakat yang masih dipengaruhi oleh kesulitan ekonomi di masa pandemi, oleh sebab itu kebijakan untuk menstimulasi masyarakat dengan berbagai bantuan keuangan tentu cukup relevan jika diterapkan di masa pandemi saat itu. 

Namun, tentu hal tersebut dapat berbeda jika dibandingkan dengan isu resesi yang terjadi di 2023 mendatang. Karena seperti yang telah diketahui oleh masyarakat bahwa resesi yang akan terjadi di tahun 2023 mendatang dilatarbelakangi oleh isu yang berbeda dengan resesi pada tahun 2020 lalu.

Perang di ukraina diyakini sebagai salah satu alasan terdampaknya berbagai sektor perekonomian berbagai negara di dunia. Momen tersebut telah menciptakan efek domino yang cukup masif hingga membuat berbagai negara sepakat bahwa di 2023 mendatang terdapat potensi resesi yang cukup buruk. 

Penurunan GDP (Gross Domestic Product) atau biasa disebut pendapat perkapita berbagai negara turut menjadi suatu isu ekonomi dunia. 

Krusialnya penurunan GDP tentu sangat berdampak terhadap situasi perekonomian negara tersebut. Hingga saat ini ada beberapa negara yang telah menyatakan kebangkrutan hingga harus menjadi pasien IMF sebagai pendukung keuangan negara di dunia. Hal tentu menjaadi sinyal bahaya bagi negara-negara di dunia untuk mewaspadai potensi resesi tersebut. 

Bahkan Amerika Serikat pun turut terdampak akibat dari terjadinya perang Ukraina hingga meningkatkan angka inflasi yang mengharuskan negara mereka untuk menaikkan suku bunga agar peredaran Dollar di dalam negeri dapat terkendali di tengah krisis energi yang melanda.

Penerapan kebijakan penaikkan suku bunga oleh Amerika Serikat tersebut pun turut berdampak terhadap perekonomian Indonesia yang menyebabkan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar. 

Hal tersebut tentu berdampak terhadap sektor perdagangan Internasional Indonesia yang menggunakan Dollar sebagai alat pembayarannya. Di sisi lain dampak dari krisis ekonomi global pun turut menurunkan angka kinerja ekspor Indonesia, karena secara otomatis terdapat kemungkinan adanya penurunan permintaan komoditas ekspor dari Indonesia akibat dari menurunnya tingkat perekonomian negara importir komoditas dari Indonesia. 

Sehingga secara tidak langsung hal tersebut pun akan berdampak terhadap pendapatan perkapita Indonesia mengingat persentase ekspor Indonesia cukup tinggi terhadap pendapatan negara.

Resesi global di tahun 2023 tentu menjadi salah satu ancaman serius bagi perekonomian negara terkhusus bagi perekonomian masyarakat bawah, mengingat angka kemiskinan Indonesia masih cukup tinggi di Indonesia (9,54% per Maret 2022). 

Namun, krisis ekonomi global yang berpotensi berdampak terhadap Indonesia tentu tidak hanya berdampak terhadap masyarakat miskin saja, tetapi hal tersebut dapat dipastikan turut berdampak terhadap masyarakat menengah yang berpotensi untuk menjadi miskin akibat dari krisis ekonomi tersebut.

Maka dari itu diperlukan suatu opsi dalam penanggulangan krisis ekonomi di Indonesia yang dapat menyelamatkan masyarakat Indonesia dari ancaman kemiskinan akibat dari krisis tersebut. 

Karena krisis ekonomi tersebut dikhawatirkan akan menambah angka pengangguran di Indonesia akibat dari berbagai perusahaan yang mengurangi jumlah pekerjanya seiring dengan penurunan pendapatan mereka. 

Pendekatan Post-Keynesian dinilai cukup relevan apabila diterapkan dalam konteks untuk menyelamatkan taraf perekonomian negara. Karena pendekatan Post-Keynesian mengizinkan pemerintah untuk turut berperan dalam mengatasi krisis ekonomi Indonesia yang masih didominasi oleh sektor perekonomian mikro. 

Dalam hal ini pemerintah diharuskan untuk membuat suatu kebijakan fiskal yang dapat memberikan stimulasi bagi masyarakat untuk meningkat daya beli mereka. 

Mengingat dampak dari resesi tersebut dapat menurunkan daya beli masyarakat akibat dari menurunnya pendapatan mereka dan meningkatnya keinginan masyarakat untuk melakukan penghematan. 

Karena apabila hal tersebut terjadi akan menyebabkan terjadinya hambatan dalam sirkularitas ekonomi sektor mikro yang secara tidak akan berdampak terhadap ekonomi secara makro. 

Adanya penurunan daya beli masyarakat tentu akan menimbulkan kemacetan dalam mekanisme supply and demand yang turut menyebabkan adanya penurunan pendapatan sektor swasta. 

Hal tersebut dikhawatirkan mengakibatkan sektor swasta akan kesulitan untuk membayar hutang kepada bank dan berakhir bank tidak memiliki persediaan uang yang cukup untuk nasabah mereka menarik kembali. 

Namun di sisi lain, adanya resesi tersebut pun turut berdampak terhadap sektor bank di Indonesia karena banyak masyarakat yang berkeinginan untuk menarik uang mereka dari bank sebagai persediaan menghadapi resesi. 

Fenomena tersebut tentu sangat kompleks apabila mekanisme perekonomian tidak mendapatkan perhatian langsung dari pemerintah, sehingga untuk mengatasi hal tersebut pemerintah diharuskan turut menginstruksikan Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga agar masyarakat kembali mau menyimpan uang mereka di bank. 

Hal tersebut kemudian diharapkan dapat memberikan stimulus kepada sektor swasta kelas menengah atau pun kecil untuk mendapatkan bantuan secara finansial melalui kebijakan moneter yang dijalankan oleh pemerintah melalui bank, dan di sisi lain masyarakat secara umum bisa mendapatkan bantuan finansial untuk meningkatan daya beli mereka agar ekonomi sektor mikro dapat berputar secara bertahap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun