Sampai-sampai aku pernah lho curhat sama psikiater, kalau punya temen kayak kamu itu wajar ga sih?
Dia sih bilangnya wajar. Tapi tetep aja aku merasa aneh sendiri.
Tugas di kampus juga kan banyak. Temen aku sekarang buku, rumus sama alat-alat lab. Dosen juga bahasnya seputar hipotesis, asumsi sama pengetahuan. Jadi aja kamu kaya kamu tawanan si pikiran, pengetahuan dan prasangka alias asumsi itu.
Maaf ya.
Dan akhirnya kita semakin jauh, karena kamu juga berubah sih. Kamu sekarang lebih sering cerita soal kegelisahan, kesedihan sama hal-hal sensitif atau negatif lainnya. Apalagi kalau aku lagi sendiri. Kamu suka datang ke aku buat curhat masalah usaha, branding atau marketing. Pusing tau dengernya.
Kamu sih aku kasih tau kalau bisnis itu ga usah pake hati, yang ada kan cepet sakit hati. Tenang aja. Ga usah dengerin si “logika”. Dulu kan kamu musuhan sama dia. Kenapa sekarang kamu jadi sahabatan gitu?
Kalau udah gini siapa yang salah?
Aku yang egois dengan dunia dewasaku yang penuh aturan dan batasan atau kamu yang udah mulai tua dan sensitif?
Ah, kataku saling menyalahkan itu ga baek deh. Udah aku aja yang ngaku salah.
Sekarang, aku pengennya kita kayak dulu. Bawaannya rame dan ceria.
Oh ya, kemaren aku lihat si Boboho di TV, dia sekarang juga udah gede lho, sama kayak si Munir yang sekarang udah jadi sarjana. Katanya mereka juga kangen sama kamu. Kamu yang dulu pastinya.
Kamu yang bersamaku bebas dari sejak aku lahir dan lihat dunia dengan cara kita sendiri : bayangan baju jadi tokoh raksasa, semut yang bisa di ajak ngobrol, mobil-mobilan yang bisa bercerita sampai kardus yang jadi markas rahasia agen perang kita. Seolah ga ada yang ga mungkin di dunia kecil kita waktu itu.
Sekarang, Jumat malam, aku ga sabar menunggu minggu buat ketemu sama Doraemon yang masih bisa kasih aku harapan kembali ke masa itu dengan mesin waktunya dan ketemu kamu lagi.
Kamu : imajinasiku.