Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan. Tujuan pendidikan adalah mencari ilmu, dan ilmu itu sendiri penting tidak hanya dalam bidang pekerjaan, tetapi juga dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, ilmu diibaratkan seperti cahaya yang menerangi segala hal yang ingin dicari di ruangan yang gelap. Kegelapan di sini dimaksudkan sebagai kebodohan. Contoh kecilnya, jika seseorang ingin menulis, ia harus tahu apa itu pulpen dan bagaimana cara menggunakannya.
Baru-baru ini, marak pemberitaan mengenai kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa perguruan tinggi setelah diterbitkannya Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 2 Tahun 2024. Hal ini menimbulkan polemik di kalangan masyarakat, khususnya mahasiswa.
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsoed, Maulana Ihsan, menyebut bahwa biaya UKT melambung hingga mencapai 300%-500%. Menurutnya, penyebab utama adalah aturan Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 yang dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Nomor 54 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi.
"Yang kami resahkan, UKT di Unsoed naik sangat jauh, mencapai 300%-500%. Contohnya, di fakultas saya sendiri, Fakultas Peternakan, sebelumnya Rp 2,5 juta, sekarang naik menjadi Rp 14 juta," kata Ihsan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi IX DPR RI, Jumat (17/5).
Di sisi lain, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Farras Raihan, mengungkap adanya penambahan kelompok golongan UKT, yang awalnya ada tujuh, kini menjadi 10 kelompok UKT.
"Dengan keterbatasan sarana dan prasarana, bahkan UKT tertinggi di vokasi mencapai Rp 14 juta di golongan 10," ujarnya.
Bukan Hal Baru
 Naiknya UKT bukanlah hal baru dalam sistem demokrasi ini; hal ini telah terjadi berkali-kali di berbagai perguruan tinggi akibat kapitalisasi pendidikan. Pendidikan, yang seharusnya sepenuhnya dibiayai oleh negara, kini semakin sedikit didukung oleh pemerintah dalam sistem demokrasi saat ini.
"Kenaikan UKT ini merupakan konsekuensi logis dari liberalisasi sektor pendidikan, terutama perguruan tinggi. Pendidikan tinggi yang awalnya didukung penuh oleh pemerintah, sejak menjadi BHMN, BHP, atau sekarang namanya BLU, sudah tidak lagi didukung oleh pemerintah," ujar Riskha Budiarti, M.Sc., Tim Riset Institut Muslimah Negarawan (IMuNe).
Menurut Riskha, akibat perguruan tinggi saat ini tidak lagi didukung oleh pemerintah, maka perguruan tinggi tersebut mencari sumber dana lain selain dari pemerintah, yaitu dari mahasiswa atau orang tua mahasiswa. Dengan demikian, pengambilan sumber dana dari mahasiswa atau orang tua mahasiswa merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah terhadap penyediaan pendidikan yang berkualitas bagi anak bangsa.
"Jika ini terus dibiarkan, maka akan berbahaya. Ketika berbicara tentang aset pembangunan sebuah bangsa yang paling utama adalah sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, maka apabila pendidikan ini semakin mahal, tidak semua orang bisa mengaksesnya," paparnya.