Mohon tunggu...
Dziyaul Arrozain
Dziyaul Arrozain Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Mahasiswa Arkeologi dengan minat pada Arkeologi Prasejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Liang Bua

10 April 2020   09:00 Diperbarui: 10 April 2020   09:00 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Ekskavasi Liang Bua 2019 (Photograph by Veatch 2019)

Liang bua merupakan salahsatu situs prasejarah yang menjadi “masterpiece” dalam penelitian arkeologi di Indonesia. Situs Liang Bua terletak di utara Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores Barat, yang secara koordinat astronomis berada di 8° 32′ 3″ LS, 120° 27′ 37″ BT (Morwood et al, 2009). Gua ini memiliki ketinggian 500 mdpl dan berjarak 30 km dari bibir pantai. 

Dalam artikelnya, Mike Morwood et.al (2009) mendeskripsikan Liang Bua sebagai Gua Karstik yang berada di dasar bukit kapur di tepi selatan Lembah Sungai Wae Racang, dan langsung menghadap ke dataran aluvial dari sungai yang mengalir ke barat, 200 m ke utara. 

Di kawasan perbukitan karst tersebut juga terdapat gua (liang) lain, yakni: Liang Galan, 100 m ke timur, dan Liang Tanah, 100 m ke barat laut. 

Riwayat penelitian arkeologi terhadap Liang Bua dimulai sejak Verhoeven melakukan test-trench pada 1950. Kemudian pada 1965, Ia melakukan ekskavasi pada sisi barat gua. 

Selama ekskavasi tersebut Ia menemukan enam pemakaman zaman Neolitik dan Proto-Logam dengan barang-barang kuburan, serta konsentrasi artefak batu dan sisa-sisa fauna (Morwood & van Oosterzee, 2007). 

Akan tetapi, penelitian yang dilakukan Verhoeven tidak pernah terbit, kecuali ketika Ia menulis untuk R.P Sorjono dari Puslit Arkenas mengenai potensi arkeologis yang dimiliki Liang Bua. 

Hal tersebut kemudian direspon positif R.P. Soejono dengan menindaklanjuti ekskavasi di sana pada tahun 1978, 1981, 1982, 1987, dan 1989, di mana Ia menggali sepuluh kotak hingga kedalaman maksimum 4,2 m untuk mendapatkan tanggal radiokarbon 10.000 BP. 

Penggalian ini, yang menghasilkan penguburan lebih lanjut dari zaman Neolitik dan Palaeo-Logam (Morwood & van Oosterzee, 2007; Morwood et al, 2009). 

Pada tahun 2001 hingga 2004, Liang Bua diteliti lebih lanjut dalam proyek “Astride the Wallace Line” yang dilakukan Pusat penelitian Arkelogi Nasional (Puslit Arkenas) dan Universitas New England, Australia dibawah kepemimpinan R.P. Soejono dan Mike Morwood (Morwood et al, 2009). 

Selama tahun itu pula, penelitian di Liang Bua membuka lima kotak yang berada di sector I, III, IV, VII, and XI dengan rata-rata kedalaman 8-10 m. 

Implikasi dilaksanakannya penelitian jangka panjang ini, yakni ditemukan beragam tinggalan – baik artefak, ekofak, maupun yang lainnya – yang dapat dikatakan masterpiece dalam mengungkap kehidupan dan lingkungan di Flores. 

Temuan tersebut antara lain: alat batu, fragmen gerabah, fragmen alat-alat logam, dll; sedangkan temuan ekofak yakni sisa rangka Hominid, Stegodon, Komodo, Burung, Ikan, Ular, Tikus, dan Katak. 

Replika
Replika "The Hobbit" Homo floresiensis (Photograph by Veatch 2019)
Temuan yang paling menarik dari Liang Bua – yang menjadikan dunia gempar – yakni Fragmen Rangka Hominid yang diidentifikasi sebagai Homo Floresiensis. Temuan Hominin ini pertama kali berada di kotak sektor VII & XI yang dikenal dengan sebutan LB1. Hominid ini mempunyai tinggi badan rata-rata 1 m dengan volume otak rata-rata 380 cm3-direvisi menjadi 426 cm3 dalam (Bellwood, 2017; Brown, 2004). 

Pertanggalan yang diasosiasikan berkisar pada 100-60 ribu tahun yang lalu. Meskipun begitu – hingga kini – kejelasan mengenai status species baru masih diperdebatkan, beberapa menyangsikan klasifikasi tersebut, ada pula menjadikannya bagian dari Homo erectus. Dibalik itu semua, keberadaan hominin ini menjadi tolok kemajuan penelitian arkeologi dan paleoantropologi yang disumbangkan Indonesia untuk dunia.

Kini, keberadaan Liang Bua menjadi salahsatu Cagar Budaya yang berada di Nusa Tenggara Timur. Sejak ditetapkan pada tahun 2018 dengan Regnas RNCB.20181005.04.001513 dan No. SK Menteri No180/M/2018 (Siregnas Cagar Budaya Kemdikbud), landasan untuk pelestarian situs prasejarah ini menjadi lebih kuat. 

Artinya, pengelolaan situs ini akan semakin tertata, baik dalam kaitan penelitian arkeologis maupun pariwisata. Oleh sebab itu, sudah selayaknya situs ini dimanfaatkan guna kepentingan bangsa dan ilmu pengetahun yang lebih besar.

 Referensi

Bellwood, P. (2017). First Islanders. New Jersey: Wiley Blackwell.

Brown, P. et.al. (2004). A New Small-Bodied Hominin from the Late Pleistocene of Flores, Indonesia. Nature. Vol 431. P.1055-1061

Morwood, M. & Oosterzee, v.P. (2007). A New Human: The Startling Discovery and Strange Story of the Hobbits of Flores, Indonesia. Smithsonian

Morwood, M. et.al (2009). Preface: research at Liang Bua, Flores, Indonesia. Journal of Human Evolution. Ed. 57. P. 437–449

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun