Pada hari ini bahwasannya dengan segala kebebasan yang ada, senyatanya telah banyak membuka kesempatan yang lebar kepada masyarakat Indonesia agar dapat berpartisipasi aktif, massif dan progressif untuk menyuarakan apa yang menjadi keresahan-keresahan dari segala bentuk penindasan yang ada[1], dalam negara demokrasi partisipasi rakyat serta entitas yang menjadi penyeimbang dalam penyelenggaraan pemerintahan amat diperlukan[2] dalam usaha untuk mengimplementasikan hal tersebut ialah dengan adanya oposisi pemerintahan.
Dalam konteks negara modern yang bersifat demokratis, oposisi adalah keniscayaan. Mereka yang tidak mendapat suara terbanyak atau pemenang pemilu maka sudah dipastikan akan menjadi oposisi yang memiliki fungsi untuk mengawasi segala bentuk ketimpangan, pelanggaran dan hal-hal yang dinilai musykil yang dilakukan pemerintahan[3]. Namun, seiring dengan perkembangan demokrasi di Indonesia pascareformasi ternyata mengalami kompleksitasnya sendiri[4]. Hal ini nampak bahwa oposisi tidak berjalan sebagaimana mustinya, pascapemilu 2019 lalu misalnya pihak oposisi yang notabene dilekatkan pada partai Gerindra ternyata dengan pragmatisme politiknya telah mereduksi dan mengkhianati oposisi.Â
Hal ini dalam satu sisi membahayakan masa depan demokrasi karena pemerintahan yang tidak mengenal oposisi dalam artian tidak mendapat pertentangan serta kritikan yang sepadan dalam lembaga-lembaga resmi negara dalam hal ini parlemen akan melemahkan atau bahkan menghilangkan apa yang menjadi kepentingan rakyat yang dalam satu sisi sering bertentangan dengan apa yang menjadi kepentingan pemerintahan.
Oleh karenanya penulis akan berusaha untuk mencoba memaparkan tentang pengertian oposisi, bagaimana oposisi seharusnya bertindak dan berperilaku serta mencoba menghadirkan suatu wacana pembentukan oposisi yang ideal sehingga dapat mengawal demokrasi agar tidak mati dan berjalan sebagaimana konsepsi teorinya.
Â
A. Pengertian Oposisi
Dalam negara demokrasi yang mana kekuasaan tidak tersentralisasi pada eksekutif melainkan terdesentralisasi atau dibagi ke dalam beberapa bagian yang pada kemudiannya dikenal dengan istilah trias politica, yakni pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif[5]. Maka, dalam hal ini oposisi pun memiliki keterkaitannya sendiri, hal ini dimaksudkan karena tidak ada kepastian jika kedaulatan, kepentingan rakyat seluruhnya dapat tertampung dalam lembaga-lembaga negara tadi. Sejarah telah mencatat bahwa banyak pemerintahan yang mengatasnamakan rakyat ternyata memudarkan esensi dari rakyat tadi[6].
Untuk itu, Sukron kamil dalam Islam dan Demorkasi: Telaah Konseptual dan Histories mendefinisikan oposisi sebagai pemihakan rasional sebagai konsekuensi dari pelembagaan kontrol atas kekuasaan[7] lebih jauh oposisi dalam konteks demokrasi adalah bagian penting yang tak dapat dipisahkan serta menjadi sesuatu yang fundamental dengan fungsi di antaranya:
- Oposisi menjadi penyeimbang kekuasaan[8], artinya jika terdapat kekuasaan yang mana kekuasaan tersebut terbentang dari eksekutif hingga legislatf sebagaimana dewasa ini terjadi di Indonesia maka oposisi diperlukan sebagai penyeimbang kekuasaan. Idealnya, dalam negara demokrasi kekuasaan eksekutif tersebut diawasi oleh legislatif namun ternyata lembaga parlemen pun dikuasai atau menjadi pendukung rejim oleh sebabnya oposisi niscaya menjadi penyeimbang[9]
- Oposisi sebagai alternative suatu pikiran atau kebijakan yang dapat disuarakan[10], oposisi dapat memungkinkan lebih banyaknya alternatif suatu pikiran atau kebijakan dari apa yang menjadi produk kebijakan pemerintahan.
- Menjadi stimulus yang sehat bagi elite pemerintahan dan elite politik, sama dengan hal-hal lainnya sesuatu akan mengalami kemunduran atau stagnasi jika tidak terdapat persaingan yang sehat diantara persaingan, hadirnya oposisi ialah sebagai bentuk dari persaingan yang sehat karena demokrasi yang berjalan bukan hanya tentang retorika tetapi adu gagasan yang berpotensi mendewasakan tentang bagaimana cara penyelenggaraan pemerintahan yang baik menurut versinya sendiri-sendiri[11]
Â
Oposisi tidak hanya dapat dimaknai sebagai sekelompok orang yang "anti-pemerintahan" dalam artian terhadap kebijakannya jauh daripada itu, oposisi merupakan hadir untuk dapat memberikan suatau wacana pembangunan sebagai anti-tesa dari wacana pembangunan yang digelontorkan pemerintahan, ia hadir sebagai alternatif pikiran dan jawaban atau representasi masyarakat yang kurang puas terhadap kinerja pemerintahan[12]
Meskipun secara hakikat oposisi berarti, "berlawanan". Dalam konteks negara dengan sistem presidensiil ada yang beranggapan bahwa oposisi tidak diperlukan karena tugas oposisi sebagai pihak yang secara vis a vis berhadap dengan pemerintah telah diwakilkan oleh parlemen, meskipun ada pendapat lain yang sama kuatnya menganggap bahwa karena di parlemen pun sering terjadi kompleksitasnya sendiri untuk itu oposisi tetap diperlukan, hal ini nampak misalnya dalam keterangan SBY pascapemilu 2009 lalu yang mengatakan bahwa, "kompetisi berakhir ketika kita bersatu"[13]. Hemat penulis, bahwa oposisi diartikan sebagai kawan yang selalu bersusah-payah dan dengan ikhlas memberikan nasihat kebaikan kepada kawannya sendiri guna terus insyaf akan realitas politik sehingga dapat mengawal demokrasi lebih jauh dan menciptakan suatu sistem tatanan politik yang dinilai baik bagi semua kalangan.
B. Mengidealkan Oposisi di Indosesia
Pascapemilu 2019 agaknya hanya dua partai yang tetap konsisten untuk tetap menjadi oposisi, yakni Demokrat dan PKS, partai Gerindra yang sebelumnya berada di luar pemerintahan ternyata masuk pemerintahan untuk menjadi bagian dari rejim dengan ketua umumnya Prabowo Subianto ditunjuk sebagai Mentri Pertahanan[14]
Hal tersebut tentunya mendapat reaksi keras dari pelbagai pihak baik dari kalangan[15] namun ia menyampaikan bahwa apa yang menjadi pilihannya semata-mata untuk bangsa dan negara. Jika ditilik dalam teori oposisi, tentunya pilihan Prabowo tersebut adalah sesuatu yang dinilai keluar dari jalur, dan secara demokrasi tentunya tidak sehat[16].Â
Oposisi Indonesia pada hari ini pun tidak memiliki banyak suara di parlemen, hal ini menyebabkan jika suatu keputusan tidak dapat diambil secara musyawarah untuk mufakat maka akan diambil secara voting, maka selama itu pula oposisi tidak akan banyak memberikan pengaruh terhadap kebijakan pemerintahan[17]
Itu itu diperlukan peran civil society sebagai motor penggerak dalam upaya pendemokratisasian dan pembumian nilai-nilai demokrasi[18].
Dalam teori  oposisi de Brauw, CC yang menegasikan bahwa oposisi pun dapat dilakukan oleh warga negara. Yaitu, merujuk kepada warga negara yang memiliki rasa ketidakpuasan atas kinerja pemerintahan yang ada namun tidak terepresentasikan dalam perilaku parlemen sebagai wakil mereka. Hal ini, dapat dimaklumi dalam kacamata demokrasi yang tidak berjalan secara substantif memang keterwakilan rakyat atau suara rakyat hanya ada dalam pemilihan umum.
Tingkatan demokrasi sebagai historisnya sebagaimana dikutip Coen Husein Pontoh dalam artikelnya The Truth about Capitalist Democracy dibagi kepada empat level, yaitu:
- Demokrasi Elektoral[19]
Pada level ini demokrasi ditandai dengan pemilu regular dan kompetisi antai partai, guna memperebutkan atensi rakyat dan suaranya. Pada demokrasi ini perhatian masyarakat tersedot kepada pemilu yang digelar lima tahunan sekali. Adapun yang mengawasi atau mengontrol hari per hari kegiatan pemegang kuasa disini George Soros benar bahwa pasarlah kemudian yang mengawasi dan mendikte para pemegang kuasa.
- Demokrasi Partisipatoris[20]
Level ini sedikit lebih maju dari level pertama melalui pembentukan rezim politik yang pada derajat tertentu mampu tampil sebagai perwakilan politik yang efektif serta dapat memperkuat badan legislatif dalam artian menempatkan badan tersebut dengan fungsinya baik secara prosedural atau pun substantif.
- Demokrasi Sosial[21]
Level ini merupakan kombinasi dari elemen-elemen yang melekat pada dua level demokrasi sebelumnya. Misalnya, kewargaan sosial, jaminan yang luas akan spektrum hak-hak warga negara seperti standar hidup akses terhadap Pendidikan, perumahan dan pelayanan Kesehatan.
- Demokrasi ekonomi[22]
Level terakhir inilah yang dalam asumsi Pontoh merupakan penghalusan dari apa yang disebut Lenin, revolusi ekonomi. Yang baginya, politik adalah konsentrasi ekonomi atau dalam kata-kata Boron tidak ada sektor yang bernilai lebih dibanding politik.
Â
Namun, partisipasi rakyat sebagai oposisi tersebut harus dilindungi dengan adanya paying hukum dari pemerintah agar rakyat tidak terkena delik dalam usahanya menyampaikan apa yang menjadi keresahannya. Di sini kemudian terjadi paradoks kembali, yang mana produk hukum adalah implikasi dari kesepakatan atau deal-dealan politik, dalam ranah Indonesia, kompleksitas lembaga negara parlemen dalam usaha untuk membuat undang-undang selalu berbenturan dengan kepentingan dari pelbagai pihak. Hasilnya, produk hukum yang keluar bukanlah sesuatu yang bersifat responsif sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan melainkan jauh daripada itu ialah bersifat refresif.
Untuk itu, kesadaran akan nilai-nilai demokrasi yang dimulai dengan Pendidikan politik amat kemudian diperlukan. Hanya dengan nilai-nilai yang terinternalisasi tersebut akan terciptanya suatu kehidupan ideal dalam usaha pengawalan pemerintahan di Indonesia.
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H