Mohon tunggu...
Dzaky Rahman
Dzaky Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknik | Automobile Enthusiast |

Kebiasaan menulis akan membuat saya menjadi lebih baik dalam berkomunikasi, tidak hanya dalam tulisan tetapi juga dalam lisan. Membiasakan diri untuk terus bepikir runut dalam mengutarakan pendapat sangat membantu saya dalam berkomunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Semanggi, Simpang Sejarah dan Pejuangan

20 Juli 2024   20:28 Diperbarui: 20 Juli 2024   20:31 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Simpang Semanggi Susun Semanggi (2023)

Ketika sampai di Senayan, kita sering kali terpesona oleh keindahan pusat kota Jakarta yang megah dan dinamis. Di sini, bangunan-bangunan pencakar langit berdiri gagah, menantang langit dengan kilauan kaca dan baja yang mencerminkan semangat dan ambisi kota metropolitan ini. Di tengah hiruk pikuk dan kemegahan urban, terdapat sebuah simpang yang tak hanya berfungsi sebagai persimpangan lalu lintas, tetapi juga sebagai simbol kemajuan dan inovasi: Simpang Susun Semanggi.

Simpang Susun Semanggi, dengan desainnya yang ikonik, menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang Jakarta menuju kota modern. Berkelok-kelok dengan elegan, jembatan-jembatan yang saling melingkar ini menghubungkan berbagai arah kehidupan, memudahkan perjalanan dan mempertemukan banyak cerita. Simpang ini telah berkali-kali direvitalisasi, setiap kali menambah sentuhan modern yang mempercantik dan meningkatkan fungsionalitasnya. Namun, pesonanya tetap tak luntur, justru semakin memancarkan keindahan yang memikat siapa saja yang melintas.

Melihat keindahan Simpang Susun Semanggi, kita tidak hanya melihat karya teknik yang mengagumkan, tetapi juga menyaksikan metamorfosis sebuah kota yang terus beradaptasi dan berkembang. Dengan lampu-lampu kota yang gemerlap, Simpang Susun Semanggi di malam hari berubah menjadi karya seni yang memukau, menambah sentuhan magis pada lanskap urban Jakarta. Seolah mengajak kita untuk berhenti sejenak, mengagumi, dan merenungkan perjalanan panjang yang telah dilalui kota ini menuju masa depan yang lebih cerah dan berkelanjutan.

Namun, di balik semua keindahan dan kemegahan itu, di Semanggi terdapat sebuah cerita kelam yang menjadi saksi bisu titik tumpah darah dari demokrasi Indonesia. Di sini, di bawah bayang-bayang jembatan yang kini berdiri megah, tersimpan kenangan tentang perjuangan dan pengorbanan yang tidak boleh dilupakan.

Tragedi Semanggi di Jakarta adalah dua insiden memilukan yang menorehkan luka dalam pada perjalanan bangsa ini. Pada tanggal 13 November 1998, insiden pertama yang dikenal sebagai Semanggi I terjadi. Hari itu, langit Jakarta seakan menangis menyaksikan pasukan negara menembaki warga sipil tak bersenjata dan para pengunjuk rasa yang memperjuangkan suara mereka. Tujuh belas nyawa melayang, meninggalkan duka mendalam yang tak terhapus oleh waktu.

Setahun kemudian, pada tanggal 24 September 1999, tragedi kembali menyapa di tempat yang sama. Semanggi II menjadi saksi dari kekejaman yang terus berulang. Dua belas orang kehilangan nyawanya, dan lebih dari dua ratus lainnya terluka. Di antara jerit kesakitan dan air mata, tekad untuk memperjuangkan demokrasi semakin menguat, meskipun darah kembali membasahi tanah Semanggi.

Dalam gemerlap malam dan kilauan lampu kota, bayangan Tragedi Semanggi terus menghantui, mengingatkan kita akan harga mahal yang harus dibayar untuk sebuah perubahan. Di tempat yang kini menjadi simbol kemajuan dan keindahan, terdapat jejak-jejak sejarah yang menyimpan cerita perjuangan dan keberanian. Semanggi tidak hanya menjadi persimpangan jalan, tetapi juga persimpangan nasib dan harapan bagi banyak orang yang berjuang demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Pada tanggal 11 November 1998, suasana di Jakarta mulai memanas. Mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba menuju Tugu Proklamasi bersiap untuk menyuarakan tuntutan mereka. Namun, bentrokan terjadi ketika mereka berhadapan dengan Pamswakarsa, pengamanan sipil bersenjata yang dikerahkan untuk menghadang langkah mereka. Di bawah naungan Tugu Proklamasi, tekad para demonstran berhadapan dengan tembok pengamanan yang kian kokoh.

Sehari kemudian, pada tanggal 12 November 1998, gelombang massa yang jauh lebih besar bergerak menuju gedung DPR/MPR. Dari segala penjuru, dari Semanggi, Slipi, hingga Kuningan, ratusan ribu mahasiswa dan masyarakat berusaha menembus barikade menuju simbol kekuasaan. Namun, langkah mereka terhenti oleh penjagaan ketat tentara, Brimob, dan Pamswakarsa yang siap dengan bambu runcing di tangan. Malam itu, bentrokan sengit meletus di daerah Slipi dan Jalan Sudirman, puluhan mahasiswa terluka dan harus dirawat di rumah sakit. Ribuan lainnya dievakuasi ke Universitas Atma Jaya, di mana kelelahan dan kecemasan menghantui setiap sudut. Di antara mereka, seorang pelajar bernama Lukman Firdaus mengalami luka berat yang akhirnya merenggut nyawanya beberapa hari kemudian.

Esok harinya, Jumat, 13 November 1998, semangat juang tak mereda. Mahasiswa dan masyarakat kembali berkumpul, kali ini di daerah Semanggi dan sekitarnya. Mereka bergabung dengan rekan-rekan yang sudah bertahan di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman telah dihadang oleh aparat sejak malam sebelumnya, dan saat pagi menjelang, jumlah aparat semakin bertambah. Dengan kendaraan lapis baja, mereka mengepung para demonstran dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman.

Di tengah ketegangan dan ancaman, para mahasiswa dan masyarakat terus maju, meskipun langkah mereka semakin berat. Mereka tidak hanya berhadapan dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan bayangan ketidakpastian dan rasa takut. Namun, di balik setiap langkah dan suara teriakan, ada harapan yang terus menyala, harapan untuk masa depan yang lebih baik, yang adil dan demokratis. Di bawah langit Jakarta yang kelam, darah dan air mata mengalir, menjadi saksi bisu dari perjuangan yang tak kenal menyerah demi cita-cita yang lebih besar.

Belum selesai di situ, tanggal 24 September 1999 menjadi saksi dari babak lain dalam perjuangan panjang bangsa ini. Di bawah langit Jakarta yang kelabu, ketegangan kembali memuncak. Untuk kesekian kalinya, tentara melakukan tindak kekerasan terhadap aksi-aksi mahasiswa yang berjuang demi masa depan yang lebih cerah.

Kala itu, pemerintahan transisi sedang mendesak untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB), sebuah aturan yang menurut banyak kalangan memberi keleluasaan luar biasa kepada militer. Dalam bayangan kelam banyak orang, UU PKB adalah ancaman nyata bagi kebebasan yang baru mulai bersemi setelah era reformasi. Di balik tiap pasal dan ayatnya, tercium aroma kekuasaan yang ingin dikembalikan ke tangan militer, membayangi mimpi buruk masa lalu.

Mahasiswa yang peka terhadap tanda-tanda bahaya ini, segera bergerak dalam jumlah besar. Di bawah panas matahari dan hembusan angin yang membawa aroma perubahan, mereka berjalan, menyatukan suara dalam satu teriakan yang menggema: "Tolak UU PKB!" Langkah mereka seolah menjadi dentuman irama perjuangan, membawa pesan kuat kepada pemerintahan dan seluruh rakyat Indonesia. Spanduk dan poster mereka melambangkan semangat yang tak bisa dipadamkan, menggugah hati siapa saja yang melihatnya.

Namun, tentara kembali menampakkan wajah garangnya. Kekerasan tak terelakkan terjadi, menyisakan luka di tubuh dan hati para pejuang muda itu. Pukulan, tembakan, dan gas air mata menjadi senjata yang digunakan untuk membungkam suara-suara yang menuntut keadilan. Jalan-jalan Jakarta, yang seharusnya menjadi saksi kebebasan berpendapat, berubah menjadi medan pertempuran yang mengiris nurani.

Mahasiswa tetap teguh, meski darah mengalir dan luka menganga. Mereka tahu bahwa perjuangan ini bukan sekadar tentang mereka, tetapi tentang masa depan bangsa yang lebih adil dan bebas dari cengkeraman militerisme. Di setiap jerit kesakitan dan derita, tersimpan tekad yang tak terbendung. Jalanan Jakarta menjadi saksi bisu dari keberanian dan pengorbanan mereka, sebuah kisah heroik yang tertulis dengan tinta merah perjuangan.

Dan meskipun senja turun, dan malam menelan hari dengan kegelapannya, semangat juang mereka tidak padam. Di tengah dentuman senapan dan jerit perih, mereka terus melangkah, membawa harapan dan impian akan sebuah negara yang menghormati hak dan martabat setiap warganya. Mereka percaya, bahwa meskipun kekerasan mengancam, suara kebenaran akan selalu bergema lebih kuat, menggetarkan setiap jiwa dan menginspirasi perjuangan yang tiada henti.

Harapan untuk menggelar pengadilan HAM  bagi para pelaku Tragedi Semanggi I dan II, yang telah menjadi luka mendalam dalam sejarah Indonesia, kini pasti gagal tercapai. Seperti embun pagi yang lenyap oleh sinar matahari, impian para keluarga korban dan pejuang keadilan kembali pupus. Pada tanggal 6 Maret 2007, Badan Musyawarah DPR memveto rekomendasi tersebut, sekali lagi mengubur harapan di bawah timbunan ketidakadilan.

Putusan itu bagai palu godam yang menghancurkan asa. DPR, dengan kekuasaan yang tak tergoyahkan, menolak usulan pengadilan HAM untuk kedua kalinya. Sebelumnya, rapat pimpinan  DPR sempat memberikan secercah harapan dengan mengembalikan keputusan tersebut ke DPR. Namun, rapat ulang DPR kembali menyampaikan penolakan yang sama. Harapan yang sempat terbit kini tenggelam, seperti matahari yang bersembunyi di balik awan gelap.

Dengan keputusan ini, usul pengadilan HAM  yang merupakan rekomendasi dari Komisi III hampir pasti tak akan dibahas lagi. Cahaya keadilan yang dinanti-nantikan semakin redup, terbenam dalam labirin birokrasi dan politik. Bagi keluarga korban dan mereka yang memperjuangkan kebenaran, ini adalah lembaran kelabu dalam buku perjuangan mereka, halaman yang mencatat penundaan keadilan yang tak berkesudahan.

Di sudut-sudut hati para keluarga korban, rasa pahit dan kecewa kian menguat. Air mata yang jatuh mengalir membasahi tanah air, menandai luka yang belum sembuh. Meski langkah mereka tertatih, suara mereka tak pernah padam. Di balik keputusan yang mengecewakan ini, ada api kecil yang terus menyala, menyimpan harapan bahwa suatu hari nanti, keadilan akan menang dan kebenaran akan terungkap.

Sumber : Lihat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun