Mohon tunggu...
Dzaky Rahman
Dzaky Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknik | Automobile Enthusiast |

Kebiasaan menulis akan membuat saya menjadi lebih baik dalam berkomunikasi, tidak hanya dalam tulisan tetapi juga dalam lisan. Membiasakan diri untuk terus bepikir runut dalam mengutarakan pendapat sangat membantu saya dalam berkomunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Semanggi, Simpang Sejarah dan Pejuangan

20 Juli 2024   20:28 Diperbarui: 20 Juli 2024   20:31 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Simpang Semanggi Susun Semanggi (2023)

Di tengah ketegangan dan ancaman, para mahasiswa dan masyarakat terus maju, meskipun langkah mereka semakin berat. Mereka tidak hanya berhadapan dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan bayangan ketidakpastian dan rasa takut. Namun, di balik setiap langkah dan suara teriakan, ada harapan yang terus menyala, harapan untuk masa depan yang lebih baik, yang adil dan demokratis. Di bawah langit Jakarta yang kelam, darah dan air mata mengalir, menjadi saksi bisu dari perjuangan yang tak kenal menyerah demi cita-cita yang lebih besar.

Belum selesai di situ, tanggal 24 September 1999 menjadi saksi dari babak lain dalam perjuangan panjang bangsa ini. Di bawah langit Jakarta yang kelabu, ketegangan kembali memuncak. Untuk kesekian kalinya, tentara melakukan tindak kekerasan terhadap aksi-aksi mahasiswa yang berjuang demi masa depan yang lebih cerah.

Kala itu, pemerintahan transisi sedang mendesak untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB), sebuah aturan yang menurut banyak kalangan memberi keleluasaan luar biasa kepada militer. Dalam bayangan kelam banyak orang, UU PKB adalah ancaman nyata bagi kebebasan yang baru mulai bersemi setelah era reformasi. Di balik tiap pasal dan ayatnya, tercium aroma kekuasaan yang ingin dikembalikan ke tangan militer, membayangi mimpi buruk masa lalu.

Mahasiswa yang peka terhadap tanda-tanda bahaya ini, segera bergerak dalam jumlah besar. Di bawah panas matahari dan hembusan angin yang membawa aroma perubahan, mereka berjalan, menyatukan suara dalam satu teriakan yang menggema: "Tolak UU PKB!" Langkah mereka seolah menjadi dentuman irama perjuangan, membawa pesan kuat kepada pemerintahan dan seluruh rakyat Indonesia. Spanduk dan poster mereka melambangkan semangat yang tak bisa dipadamkan, menggugah hati siapa saja yang melihatnya.

Namun, tentara kembali menampakkan wajah garangnya. Kekerasan tak terelakkan terjadi, menyisakan luka di tubuh dan hati para pejuang muda itu. Pukulan, tembakan, dan gas air mata menjadi senjata yang digunakan untuk membungkam suara-suara yang menuntut keadilan. Jalan-jalan Jakarta, yang seharusnya menjadi saksi kebebasan berpendapat, berubah menjadi medan pertempuran yang mengiris nurani.

Mahasiswa tetap teguh, meski darah mengalir dan luka menganga. Mereka tahu bahwa perjuangan ini bukan sekadar tentang mereka, tetapi tentang masa depan bangsa yang lebih adil dan bebas dari cengkeraman militerisme. Di setiap jerit kesakitan dan derita, tersimpan tekad yang tak terbendung. Jalanan Jakarta menjadi saksi bisu dari keberanian dan pengorbanan mereka, sebuah kisah heroik yang tertulis dengan tinta merah perjuangan.

Dan meskipun senja turun, dan malam menelan hari dengan kegelapannya, semangat juang mereka tidak padam. Di tengah dentuman senapan dan jerit perih, mereka terus melangkah, membawa harapan dan impian akan sebuah negara yang menghormati hak dan martabat setiap warganya. Mereka percaya, bahwa meskipun kekerasan mengancam, suara kebenaran akan selalu bergema lebih kuat, menggetarkan setiap jiwa dan menginspirasi perjuangan yang tiada henti.

Harapan untuk menggelar pengadilan HAM  bagi para pelaku Tragedi Semanggi I dan II, yang telah menjadi luka mendalam dalam sejarah Indonesia, kini pasti gagal tercapai. Seperti embun pagi yang lenyap oleh sinar matahari, impian para keluarga korban dan pejuang keadilan kembali pupus. Pada tanggal 6 Maret 2007, Badan Musyawarah DPR memveto rekomendasi tersebut, sekali lagi mengubur harapan di bawah timbunan ketidakadilan.

Putusan itu bagai palu godam yang menghancurkan asa. DPR, dengan kekuasaan yang tak tergoyahkan, menolak usulan pengadilan HAM untuk kedua kalinya. Sebelumnya, rapat pimpinan  DPR sempat memberikan secercah harapan dengan mengembalikan keputusan tersebut ke DPR. Namun, rapat ulang DPR kembali menyampaikan penolakan yang sama. Harapan yang sempat terbit kini tenggelam, seperti matahari yang bersembunyi di balik awan gelap.

Dengan keputusan ini, usul pengadilan HAM  yang merupakan rekomendasi dari Komisi III hampir pasti tak akan dibahas lagi. Cahaya keadilan yang dinanti-nantikan semakin redup, terbenam dalam labirin birokrasi dan politik. Bagi keluarga korban dan mereka yang memperjuangkan kebenaran, ini adalah lembaran kelabu dalam buku perjuangan mereka, halaman yang mencatat penundaan keadilan yang tak berkesudahan.

Di sudut-sudut hati para keluarga korban, rasa pahit dan kecewa kian menguat. Air mata yang jatuh mengalir membasahi tanah air, menandai luka yang belum sembuh. Meski langkah mereka tertatih, suara mereka tak pernah padam. Di balik keputusan yang mengecewakan ini, ada api kecil yang terus menyala, menyimpan harapan bahwa suatu hari nanti, keadilan akan menang dan kebenaran akan terungkap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun