Aku hidup sekeluarga. ada bapak, ibu, aku, dan juga kakakku yang sudah lama tidak kujumpai lagi. Bahkan sejak kepergiannya untuk melanjutkan sekolahnya ke SMA itu, saat itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Kata ibuku dia sudah sukses disana, dan selalu saja ibuku membandingkan prestasiku dengan kakakku.
Bapakku adalah orang yang paling aku sayangi. Sebab bapakku lah yang selalu membelaku ketika ibuku sering membandingkanku dengan kakakku. Bagiku bapak adalah satu-satunya orang yang paling mengerti aku, selain ada Tuhan yang menurutku paling paham apa yang aku mau.
Di dalam tradisi keluargaku. Setiap ada keluarga yang mendapatkan keuntungan atau bisa dibilang hal yang menurut kami sulit dicapai, seperti peringkat satu di kelas. Pasti akan diadakan perayaan untuk siapa yang mendapatkan hal itu.
Semenjak aku sekolah, belum pernah kudapatkan itu. Jangankan peringkat pertama, naik kelas saja sudah Alhamdulillah.
      Dan itu selalu di raih kakakku yang entah dimana dia sekarang, namun kata ibuku kakakku adalah orang yang paling sukses di keluarga kami. Mulai dari pertama kali dia masuk SD sampai lulus SMP, kakakku selalu saja mendapatkan peringkat pertama. Makannya jangan heran jalau kakakku jadi orang yang paling disayangi keluargaku. tak hanya keluargaku, di sekolah kakakku juga menjadi orang yang selalu di banggga-banggakan. Bahkan di kampungku juga demikian. kakakku bagaikan dewa yang selalu di puja.
      Namun hal ini tidak menguntungkan bagiku. Aku yang bodoh begini selalu saja dibandingkan dengan kakakku. Entah itu di rumah, di sekolah, maupun di kampungku. Pernah saat aku menunjukkan nilaiku pada ibukku dan aku mengatakan pada ibukku kalau nilaiku naik, tidak seperti tahun tahun sebelumnya, artinya aku berkembang. Sakit, ibukku selalu saja membandingkanku dengan kakakku, kata ibukku "kakakmu selalu mendapat peringkat satu, kamu baru begitu saja sudah banga."  Meskipun saat itu kukatakan pada ibukku kalau peringkat satu itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, buat apa perigkat satu namun nilainya turun dari tahun ke tahun.
      Tetap saja ibukku tidak perduli. Karna kakakku sudah mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan sekolahnya ke luar kota. Mungkin setelah disana kakakku akan mendapat beasiswa lagi ke perguruan tinggi, bahkan luar negeri sekalipun. Mungkin.
      Di sekolah. Aku selalu mendapat cibiran dari guruku sebeb kebodohanku. Dan lagi-lagi aku dibandingkan dengan kakakku yang dulu juga sekolah di tempat sekolahku sekarang. Mungkin aku biasa saja kalau hanya satu guru yang berkata demikian, namun kepala sekolahpun selalu membandingkanku jika bertemu denganku. Entah mengkritik ketidak rapianku, atau apalah itu, pasti ada saja yang selalu dicaci dariku dan dibandingkan dengan kakakku. Kecuali satu orang yang tidak membandingkanku dengan kakakku di sekolah, dialah pak Darmo, petugas kebersihan di sekolahku. Mungkin karna pak Darmo tidak pintar, makanya selalu membelaku dengan dalih "buat apa rangking satu kalu tidak berbakti pada orang tua. Bagiku pak Darmo adalah bapak keduaku di sekolah.
      Di kampungku demikian. aku selalu dibandingkan dengan kakakku. Kata orang aku nakal. Tapi menurutku aku tidak nakal. Dan tiap kali aku berbuat kesalahan di kampung, pasti dibandingkan dengan kakakku. Kakakku sudah bagaikan dewa yang dimana mana dipuja.
      Kakakku juga pernah membuat kesalahan, namun aka gak tau kenapa selalu saja aku di bandingkan dengan kakakku. Menurutku aku juga bisa jadi baik, namun bagaimana caranya aku jadi baik kalau sudah mau berbuat baik sedikit, aku langsung dibandingkan dengan kakakku. Dan kalau aku salah, lagi-lagi aku dibandingkan dengan kakakku. Seakan akan aku hanya syaitan yang selalu menggangu. Walaupun Syaitan pernah menasehati Abu Hurairah dengan waujud manusia agar tidak terhindar darinya, tetap saja Syaitan selalu di salahkan jika manusia berbuat dosa. Begitulah nasibku.
      Saat itu malam ahad. Dan setiap malam ahad, di lapangan kampungku sangat ramai. Disana banyak sekali orang. Entah yang hanya berlalu-lalang, berjualan, mengganggu orang lewat, dan yang paling aku benci disana adalah melihat orang pacaran. Apa maksudnya pacaran di sana. Tempat itu difasilitaskan bukan buat orang pacaran. Bahkan saat peresmian lapangan itu, kepala desa berpesan pada para rakyatnya untuk tidak menggunkan fasilitas yang telah disediakan desa buat bermaksiat. Dan bagiku, pacaran itu adalah maksiat. Yah walaupun kata guru agamaku bahwa pacaran itu mendekati zina. Tapi tetap saja, bagiku itu maksiat. Sebab mendekati zina itu tidak di perbolehkan. Palagi zina ya.