Sistem Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) merupakan salah satu jalur penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri yang sangat mengandalkan nilai rapor. Sebagai jalur prestasi, SNBP diharapkan mampu menyeleksi siswa berdasarkan capaian akademik selama masa sekolah. Namun, ketika nilai rapor menjadi faktor penentu, peran guru dalam memberikan penilaian menjadi sangat krusial. Sayangnya, ada fenomena "guru pelit nilai" yang dapat merugikan siswa dalam proses seleksi ini.
Fenomena guru pelit nilai terjadi ketika guru sangat ketat atau bahkan terlalu ketat dalam memberikan penilaian kepada siswa. Hal semacam ini tentu sering terjadi disekitar kita, termasuk ketika saya masih menempuh pendidikan di SMA. Ada beberapa guru yang saya menilainya tidak profesional dalam memberikan nilai. Contohnya, ada guru yang memberikan nilai yang sama (pukul rata) untuk satu kelas. Sungguh bentuk ketidakadilan yang sangat memprihatinkan.
Ada pula tipikal guru yang memberi nilai terkesan pelit kepada muridnya. Padahal, menurut sudut pandang saya pribadi, jika tolak ukurnya adalah nilai yang dicapai siswa maka tidak etis jika hanya hanya menyalahkan siswa karena tidak paham. Banyak konteks dalam pembelajaran yang sangat memengaruhi kualitas siswa salah satunya adalah cara mengajar guru yang tidak berorientasi kepada siswa, memaksa siswa memahami gaya mengajarnya tanpa merefleksi diri sendiri sebagai seorang pendidik.
Melalui tulisan ini saya menyoroti lebih dalam pada kasus dimana guru cenderung sulit memberikan nilai tinggi, meskipun siswa telah menunjukkan usaha dan capaian yang baik. Bagi sebagian guru tentu mereka memiliki banyak alasan dibalik hal, mulai dari standar yang terlalu tinggi, keinginan untuk mendisiplinkan siswa, hingga perbedaan persepsi terhadap capaian akademik.
Namun, guru juga harus sadar bahwa tindakan demikian memiliki dampak negatif bagi siswa.
1. Mengurangi Kesempatan siswa Lolos SNBP.
Nilai rapor adalah komponen utama dalam SNBP. Siswa yang mendapatkan nilai rendah dari guru pelit nilai otomatis memiliki peluang lebih kecil untuk lolos seleksi. Guru tentu saja mengetahui hal demikian, namun banyak juga yang seolah acuh dengan hal tersebut. Keegoisan kadang dibawa dalam memberikan nilai sehingga siswa yang sebenarnya memiliki kemampuan yang baik harus menerima kenyataan yang pahit. Nilai rapor yang rendah akan menghambat mereka untuk bersaing dengan siswa dari sekolah lain yang mungkin memiliki guru yang lebih “murah hati” dalam memberikan nilai.
2. Motivasi Belajar Menurun
Guru juga harus tahu bahwa dalam membangun sebuah keberhasilan pembelajaran, memberikan umpan balik kepada siswa adalah hal yang diperlukan. Ketika usaha keras siswa tidak diakui melalui nilai yang mereka terima, hal ini bisa sangat merusak semangat belajar mereka. Bayangkan saja jika seorang siswa menjadi utusan sekolah yang berjuang di lomba kejuaraan olahraga namun nilai raport yang didapat setara dengan siswa yang tidak berkontribusi apapun di bidang olahraga. Pantaskan guru mata pelajaran yang terkait melakukan hal demikian?
Oleh karena itu, tindakan semacam itu dapat membuat siswa menjadi merasa tidak dihargai dan kehilangan motivasi untuk belajar lebih giat. Akibatnya, prestasi akademik mereka bisa menurun dan menciptakan lingkaran setan di mana siswa menjadi semakin malas dan tidak bersemangat.