Kajian Komisi Eropa pada 2013---berarti riset dilakukan dalam rentan waktu 1993 s.d. 2013---tersebut benar, namun bila merujuk pada laporan yang ditulis oleh enam ilmuwan dalam The Root of The Problem: What's Driving Tropical Deforestation Today? (2011)---tahun ini masih masuk ke dalam rentan waktu kajian Komisi Eropa yang selanjutnya dilaporkan pada 2011; masih relevan---pemerintah Indonesia berusaha "membelokkan" fakta yang didukung oleh kemalasan rakyatnya untuk skeptis terhadap informasi yang ada.
Perlu diketahui bahwa botaknya hutan yang disebabkan oleh peternakan (sapi, kambing, dsb.) dan pembukaan lahan oleh biji-bijian---disebut dengansoy, soybean (kedelai), dsb.---hanya terjadi di hutan tropis Amazon (Brazil, Ekuador, Suriname, dsb.). Sedangkan lunturnya zat hijau daun rimba di Indonesia dan Malaysia terjadi karena industri kayu. Terbukanya lahan tersebut selanjutnya dikonversi menjadi perkebunan sawit atau karet. Bila getah karet sudah tidak bisa disadap lagi, maka pon karet akan ditebang dan dikonversi dengan sawi. Intinya, perkebunan sawit adalah salah satu faktor penyumbang matinya klorofil hutan tropis di Indonesia dan dunia.
Kedua, Memperbaiki hukum yang ada. Hukum di Indonesia sudah sejalan dengan hukum internasional. Tinggal para pelaksana hukum (subjek hukum) dan orang-orang yang menjadi atensi hukum (objek hukum) harus mau melakukan usaha ekstra untuk mendapatkan haknya. Pasalnya para oknum dengan cerdas memanfaatkan rendahnya tingkat pendidikan objek hukum untuk kepentingan dan keuntungan oknum. Rendahnya pendidikan di Indonesia membuat negeri ini rentan diserang.
Ketiga, pemerintah harus memfasilitasi konversi minyak sawit mentah (crude palm  oil---CPO) menjadi barang yang memiliki nilai jual lebih tinggi---added value. Mengingat dalam Rencana Strategis (renstra) Kementrian Industri 2015-2019, CPO berpotensi untuk menunjang berkembangnya industri prioritas---industri dengan potensi tinggi dan diprediksi akan berkembang. CPO bisa masuk ke beberapa industri prioritas diantaranya:
- Industri Kemurgi---salah satu cabang teknik proses kimia yang berfokus pada pemafaatan biomassa untuk menghasilkan material dan bahan-bahan kimia non pangan---seperti Biodiesel (Fatty Acid Methyl Ester/ FAME) dan Bioavtur (Bio jet fuel)
- Added value bisa dilaksanakan dengan meningkatkan kapasitas produksi pengolahan Palm Oil Mill Effluent (POME). POME secara gampang adalah proses pengolahan air limbah (wastewater) dari produksi minyak sawit dengan cara penyulingan, fermentasi secara anaerobik, dsb.
- Bila hal ini dilakukan (secara teori) akan meningkatkan nilai jual minyak sawit Indonesia. Ketimbang Indonesia harus bergantung pada penjualan CPO yang hanya menjadi bahan bullydi Eropa.
- Industri Pakan dengan cara memproduksi ransum dan suplemen pakan ternak dan aquaculture. Sudah banyak sistem zero wasteyang diterapkan sebagai bentuk integrasi antara industri sawit dengan peternakan sapi. Pelepah sawit digunakan sebagai pakan sapi dan kotoran dan urin sapi diolah menjadi pupuk organik untuk menopang industri sawit. Seharusnya hal ini juga menjadi bahan pertimbangan Parlemen Uni Eropa, tidak hanya efek buruk yang diekspos, tetapi industri turunan yang berprospek juga harus bisa disuarkan oleh Kementrian Industri untuk membalanskan propaganda Parlemen Uni Eropa
- Industri pangan dalam pengolahan minyak nabati bisa diwujudkan dengan pengembangan yang sama
Kemudian Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus tanggap. Bukan karena mosi dari Uni Eropa lalu kebakaran jenggot. Padahal KKLH telah memproyeksikan anggaran untuk penanganan deforestasi dan degradasi hutan sebesar Rp1,667 M (2015), Rp2,677 M (2016), Rp6,5 M (2017), Rp9,5 M (2018), dan Rp12,5 M (2019). Pemerintah harus menyampaikan kejujuran karena rakyat tidak menginginkan adanya kebohongan.
Terakhir Kementrian Pertanian yang telah berkomitmen untuk meningkatkan produksi minyak sawit di Indonesia. Pasalnya 2014, neraca ekspor impor Indonesia dalam sektor perkebunan positif $31.197 3 juta dan diproyeksikan pada 2019 akan mencapai $48.643 juta atau naik 10,4% (Renstra Kementan 2015-2019).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H