Mohon tunggu...
Mudzakir Ruslan
Mudzakir Ruslan Mohon Tunggu... Mahasiswa di Semarak.news -

ikut arus...

Selanjutnya

Tutup

Money

Pasang Surut Fitnah Uni Eropa dan Prospek Minyak Sawit Indonesia 2020

8 Juni 2017   09:07 Diperbarui: 16 Juni 2017   09:06 4687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soerang petani sedang memanen kelapa sawit (bumn.go.id)

Negeri ini termashur dengan kekayaan sumber daya alamnya. Kelapa sawit (Elaeis guineensis) tanaman impor asal Afrika Barat dan Tengah ini mampu tumbuh menulang hingga 20 meter di atas permukaan tanah. Namun kekokohan sawit Indonesia semenjak April 2017 kemarin tertiup fitnah Parlemen Uni Eropa. Fitnah tersebut mengandung propaganda bahwa mengakarnya sawit di Indonesia memunculkan banyak masalah seperti cendawan di musim hujan:  deforestasi, beranak-pinaknya korupsi, berkembangya praktik kerja anak hingga, keserakahan yang  merenggut keperawanan hutan ulayat.

Namun semua itu hanya isapan jempol yang dilemparkan oleh ahli tipu muslihat. Seandainya Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests tidak disampaikan oleh makhluk seprominen Parlemen Eropa, niscaya tidak akan ada yang percaya. Ngibul!Bahkan sebaliknya, semisalkan, Indonesia adalah negara adidaya (insya Allah) mempublis informasi bahwa tingkat intoleransi Benua Biru--Eropa--lebih pekat dan lebih tinggi ketimbang Indonesia, pastinya tidak ada yang akan percaya. Tidak peduli se-salih  apa Indonesia dibanding negeri-negeri Eropa tetap saja Indonesia adalah piyik yang hanya bisa membual dan mencela kedigdayaan Benua Biru.

Hebatnya, usaha pemakzulan produksi minyak sawit Indonesia tersebut didukung oleh  640 anggota parlemen (93,29%), 18  anggota lainnya menolak (2,63%), dan 28 anggota abstain (4,08%) alias tidak memberikan suara. Bila dilirik dari kognitif Psikologi, mayoritas suara mendukung laporan tersebut bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, mereka sama-sama anggota Parlemen Uni Eropa di mana negara mereka saling berhubungan baik secara bilateral maupun regional, malu jika tidak sependapat. Saling berkongsi untuk menyukseskan tujuan bersama. Kedua, tidak menutup kemungkinan hal ini adalah gertakan agar Indonesia tunduk dan bisa disetir para pemilik modal asal Eropa.

Propaganda Memutarbalikkan Fakta

Negara juga tidak boleh munafik memungkiri laporan tersebut, bahkan jika negara dengan sengaja menutup-nutupi aib berarti hal tersebut benar. Tetapi desas-desus yang berkembang di masyarakat terkesan dilebih-lebihkan (hyperbola) dan memojokkan Indonesia. Mengapa? Fakta yang dipublikasikan oleh Parlemen Uni Eropa secara eksplisit kontras dengan data yang dihimpun dan diakumulasi oleh peneliti pribumi.

Pertama, Indonesia terjerat kasus pembalakan hutan, namun usaha untuk perbaikan hutan tidak disertakan. Berikut adalah fakta-fakta deforestasi yang dihimpun dari beberapa sumber

Sumber: Mongabay.com
Sumber: Mongabay.com
Kedua, selain itu Indonesia juga didera permasalahan penggunaan pekerja di bawah umur. Dikatakan menggunakan pekerja anak karena tidak memenuhi batas minimum umur dari pekerja. International Labor Organization (ILO) dalam Article 69 of the Manpower Act; Law on the Ratification of ILO C. 138 (43, 44) umur minimal untuk bekerja adalah 15 tahun dan usia minimal untuk bekerja di lingkungan dengan tingkat kecelakaan lebih tinggi adalah 18 tahun. Indonesia sendiri dalam UU No. 34 tahun 2000 tentang Sistem Pendidikan Nasional anak yang berumur 15 tahun masih wajib untuk sekolah (dan tidak dilarang untuk bekerja). Menjadi seorang tentara pun harus berusia minimal 18 tahun (UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI).

Banyak lembaga swadaya masyarakat baik dalam maupun luar negeri yang mengunggah informasi ke masyarakat yang secara langsung menyerang dendrit paradigma masyarakat untuk cenderung membenci produksi minyak dalam negeri. Banyak situs-situs Youtube.comyang menyajikan footage tentang anak-anak yang bekerja di perkebunan sawit. Betul bahwa lensa kamera merekam kegiatan mereka bekerja, padahal tidak menutup kemungkinan mereka sedang membantu orang tua, belajar menjadi pebisnis hebat di dunia persawitan, dsb.

Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja cilik tulang punggung keluarga dalam perkebunan sawit cukup kompleks karena meliputi penyemaian bibit, pemupukan, pemangkasan, penyemprotan, pengumpulan, dan pemuatan biji sawit (Finding on The Worst Forms of Child Labour 2015).

Setidaknya ada 5% dari jumlah populasi Indonesia anak umur 5-17 tahun bekerja di perkebunan sawit sesuai dengan statistik dari ILO dan UNICEF. Para pemilik kebun beranggapan bila terdapat anak kecil yang bekerja merupakan bentuk "membantu" orang tua selepas pulang sekolah, jadi bukan pelaksanaan kerja menggunakan tenaga anak di bawah umur. Beberapa beranggapan bahwa membantu orang tua mereka adalah bentuk interaksi dengan orang tua dan usaha dari orang tua untuk mengajarkan hidup tidak mengandalkan orang atau sekedar bermain. Selanjutnya perlu diketahui perusahaan-perusahaan perkebunan sawit mayoritas dikuasai swasta. mungkin bila dikuasai oleh BUMN akan memiliki kondisi yang lebih baik karena "negara ... [memberikan] jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan" (UUD 1945 amandemen ke-4 Pasal 34 (2)).

Hal ini bisa terjadi karena kemiskinan dan kesempatan pendidikan yang masih minim. Sistem pembayaran yang dipakai perusahaan pengepul biji sawit bergantung pada jumlah tandan sawit yang terkumpul. Semakin banyak yang terkumpul berarti semakin banyak upah yang diterima. Hal ini menjadi sebuah stimulus bagi petani untuk menggunakan jasa "kernet" yang berlata belakang keluarga (termasuk anak) untuk menambah kuota tandan biji sawit yang bisa dikumpulkan.

Bila upah yang diterima lebih besar, maka para petani tidak harus melibatkan "kernet" yang notabene anaknya sendiri untuk bekerja. Menurut ILO, patik ini terjadi karena sistem penerapan gaji di Indonesia diukur dari jumlah pengeluaran individu, bukan pengeluaran berdasar individu yang sudah memiliki keluarga dan anak.

Ketiga, korupsi minyak sawit Indonesia diindikasikan dengan meningkatnya anggaran tiap tahun yang diajukan oleh kementrian-kementrian terkait kepada komisi-komisi yang bersangkutan di DPR dengan realisasi yang stagnan atau semakin memburuk. Laporan ini bisa dilihat di Rencana Strategis masing-masing kementrian terkait dan laporan tahunan jumlah dana yang digunakan untuk apa. Selanjutnya bila dana yang dikucurkan besar namun realisasinya nihil, maka masalah terjadi--teori dan praktik tidak sesuai.

Contoh anggaran untuk penanganan deforestasi dan degradasi hutan yang diakukan oleh KLHK dalam renstra mereka sebesar Rp1,667 M (2015), Rp2,677 M (2016), Rp6,5 M (2017), Rp9,5 M (2018), dan Rp12,5 M (2019). Namun Parlemen Uni Eropa malah memberikan mosi bahwa Indonesia adalah penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Bukankah ada kejanggalan dengan meningkatnya anggaran namun kondisi hutan di Indonesia bukan malah membaik?

Namun demikian, pemikiran sederhana ini tidak bisa menjadi patokan adanya korupsi, hanya sebuah sinyal. Perlu pendalaman lebih lanjut untuk membuktikan mafia-mafia yang bermain dalam megaproyek ini.

Keempat, Pelanggaran hak ulayat tidak menutup kemungkinan terjadi, tetapi hanya sedikit laporan yang ada. Banyak LSM yang beranggapan bahwa proses pembebasan lahan menyalahi hukum adat. Namun secara hukum positif, mereka tidak memiliki sertifikat tanah yang bisa membuktikan bahwa daerah yang dianggap sebagai "tanah adat" itu ada. Jadi para investor dengan leluasa mendorong pemerintah untuk memberikan izin eksplorasi di daerah tersebut.

Prospek Minyak Sawit Indonesia 2020

Pertama,pernyataan Parlemen Uni Eropa yang menyudutkan minyak Sawit Indonesia adalah sebuah skenario untuk menjatuhkan ekonomi negeri di Semenanjung Malaya ini. Skenario ini sudah direncanakan dengan apik dan hanya menunggu momen yang tepat untuk disebarkan. Hal ini mencuat karena naiknya harga minyak sawit Indonesia. Laporan Oil and Meals Price Index Bank Dunia (Q1 2017) harga minyak sawit Indonesia naik sebesar 2% menjadi $736/ton sedangkan minyak kedelai yang diproduksi di Amerika Selatan khususnya Argentina dan Brazil turun 5% yaitu $405/ton. Singkatmya, pada 2020 harga minyak sawit diprediksi akan mencapai $782/ton (Rp10.166.000,00/ton dengan kurs $1=Rp13.000,00).

Sumber: World Bank's Commodity Monthly Outlook April 2017
Sumber: World Bank's Commodity Monthly Outlook April 2017
Dari perkiraan sederhana ini telah menunjukkan adanya propaganda agar Uni Eropa bisa membeli minyak sawit Indonesia dengan harga murah untuk menyukseskan program biodiesel pada 2020. Biodiesel ini menggunakan bahan pokok minyak sawit, bukan minyak kedelai meskipun harganya lebih murah. Dalam mosi yang sama Kateria Konecna, asah seorang anggota Parlemen Uni Eropa Komite Lingkungan, kesehatan Publik, dan Keamanan Makanan, mengatakan bahwa "70 % of biofuel consumed in the EU is grown/produced in the EU and, of the biofuel imported into the EU, 23 % is palm oil, mainly from Indonesia, and another 6 % is soya".

Sumber: World Bank's Commodity Monthly Outlook April 2017
Sumber: World Bank's Commodity Monthly Outlook April 2017
Jadi telah jelas, propaganda ini adalah usaha untuk menutup kemunafikan dan keserakan Uni Eropa agar biaya produksi biodiesel bisa ditekan. Lalu mereka akan menaikkan harga jual biodiesel yang didukung dengan rancangan serta peluncuran peraturan standar emisi kendaraan yang menyasar negara-negara berkembang lemah. Dalih mereka adalah menyelamatkan bumi dari pemanasan global. Perlu diingat negara berkembang hanyalah korban, negara-negara yang telah maju lebih dulu adalah penyebab pemanasan global dengan revolusi industri hingga revolusi hijau yang telah dilakukan.

Dengan itu, secara perlahan negara yang telah maju lebih dulu itu akan meraup keuntungan sesuai mazhab ekonomi yang mereka anut---neo liberalisme.

Kedua,di lain sisi,  berkembangya propaganda ini akan berdampak turunnya investasi dan/atau perginya investor di bidang minyak sawit di Indonesia. Secara perlahan Uni Eropa menyeting dunia agar konsumen dan investor minyak sawit Indonesia berpindah kepada minyak kedelai mereka yang relatih sepi dengan permasalahan.

Usaha tersebut merupakan manifest produksi minyak kedelai dan bunga matahari termasuk rapeseedmereka melejit dan melaju. Pertama, tuhan tidak memberikan berkah kesuburan tanah seperti nesantara yang tersebar di semenannjugn Malaya dengan semburan abu vulkanik tiap tahunnya. Tanah Eropa tidak mampu memenuhi akar-akar sawit dan hanya cukup memenuhi kebutuhan kacang-kacangan. Eropa hanya bertengger di nomor lima dunia setelah Cina, Amerika Serikat, Argentina, dan Brazil. Kedua, secara iklim, kontinen tersebut hanya bisa menampung biji-bijian dan tidak bisa mengembangbiakkan sawit yang memerlukan hangatnya mentari dan membusuk ketika salju turun. Maka propaganda inilah salah satu cara agar bisa menyaingi kekuatan minyak sawit.

Solving

Pertama, Pemerintah Indonesia harus melakukan kontra propaganda dengan jujur sesuai karakter bangsa dan tidak menjatuhkan harga diri. Sebelumnya, silahkan menganalisa dan meng-cross check informasi tersebut sebelum mengambil kesimpulan. Mengapa demikian? Bangsa ini cenderung malas dan baper untuk meng-cross check suatu fakta. Sehingga yang terjadi adalah fanatik buta (pseudo-natioanlism)---membela negara dan menyalahkan Parlemen Uni Eropa tanpa dasar yang kuat. Hal ini terbukti dengan terbitnya beberapa majalah pertanian edisi Mei 2017 yang kurang kritis dalam menganalisai. Sehingga banyak ditemui fakta-fakta yang copy-pastehingga kutipan pernyataan yang sama, bedanya hanya diperdalam dengan wawancara ahli agar terlihat bagus.

Kajian Komisi Eropa pada 2013---berarti riset dilakukan dalam rentan waktu 1993 s.d. 2013---tersebut benar, namun bila merujuk pada laporan yang ditulis oleh enam ilmuwan dalam The Root of The Problem: What's Driving Tropical Deforestation Today? (2011)---tahun ini masih masuk ke dalam rentan waktu kajian Komisi Eropa yang selanjutnya dilaporkan pada 2011; masih relevan---pemerintah Indonesia berusaha "membelokkan" fakta yang didukung oleh kemalasan rakyatnya untuk skeptis terhadap informasi yang ada.

Perlu diketahui bahwa botaknya hutan yang disebabkan oleh peternakan (sapi, kambing, dsb.) dan pembukaan lahan oleh biji-bijian---disebut dengansoy, soybean  (kedelai), dsb.---hanya terjadi di hutan tropis Amazon (Brazil, Ekuador, Suriname, dsb.). Sedangkan lunturnya zat hijau daun rimba di Indonesia dan Malaysia terjadi karena industri kayu. Terbukanya lahan tersebut selanjutnya dikonversi menjadi perkebunan sawit atau karet. Bila getah karet sudah tidak bisa disadap lagi, maka pon karet akan ditebang dan dikonversi dengan sawi. Intinya, perkebunan sawit adalah salah satu faktor penyumbang matinya klorofil hutan tropis di Indonesia dan dunia.

Sumber: The Root of the Problem: What's Driving Tropical Deforestation Today?
Sumber: The Root of the Problem: What's Driving Tropical Deforestation Today?
Sumber: The Root of the Problem: What's Driving Tropical Deforestation Today?
Sumber: The Root of the Problem: What's Driving Tropical Deforestation Today?
Fakta selanjutnya, lebih dari 100 negara di semesta ini hanya Brazil dan Indonesia memiliki lebih dari setengah hutan hujan tropis dan penyebab pemanasan global separuhnya dipengaruhi dari deforestasi, namun hanya beberapa negara (termasuk Indonesia dan Brazil) yang bertanggung jawab atas hutan tersebut dan selalu disalahkan oleh dunia bila pembalakan hutan terjadi.

Kedua, Memperbaiki hukum yang ada. Hukum di Indonesia sudah sejalan dengan hukum internasional. Tinggal para pelaksana hukum (subjek hukum) dan orang-orang yang menjadi atensi hukum (objek hukum) harus mau melakukan usaha ekstra untuk mendapatkan haknya. Pasalnya para oknum dengan cerdas memanfaatkan rendahnya tingkat pendidikan objek hukum untuk kepentingan dan keuntungan oknum. Rendahnya pendidikan di Indonesia membuat negeri ini rentan diserang.

Ketiga, pemerintah harus memfasilitasi konversi minyak sawit mentah (crude palm  oil---CPO) menjadi barang yang memiliki nilai jual lebih tinggi---added value. Mengingat dalam Rencana Strategis (renstra) Kementrian Industri 2015-2019, CPO berpotensi untuk menunjang berkembangnya industri prioritas---industri dengan potensi tinggi dan diprediksi akan berkembang. CPO bisa masuk ke beberapa industri prioritas diantaranya:

  • Industri Kemurgi---salah satu cabang teknik proses kimia yang berfokus pada pemafaatan biomassa untuk menghasilkan material dan bahan-bahan kimia non pangan---seperti Biodiesel (Fatty Acid Methyl Ester/ FAME) dan Bioavtur (Bio jet fuel)
  • Added value bisa dilaksanakan dengan meningkatkan kapasitas produksi pengolahan Palm Oil Mill Effluent (POME). POME secara gampang adalah proses pengolahan air limbah (wastewater) dari produksi minyak sawit dengan cara penyulingan, fermentasi secara anaerobik, dsb.
    • Bila hal ini dilakukan (secara teori) akan meningkatkan nilai jual minyak sawit Indonesia. Ketimbang Indonesia harus bergantung pada penjualan CPO yang hanya menjadi bahan bullydi Eropa.
  • Industri Pakan dengan cara memproduksi ransum dan suplemen pakan ternak dan aquaculture. Sudah banyak sistem zero wasteyang diterapkan sebagai bentuk integrasi antara industri sawit dengan peternakan sapi. Pelepah sawit digunakan sebagai pakan sapi dan kotoran dan urin sapi diolah menjadi pupuk organik untuk menopang industri sawit. Seharusnya hal ini juga menjadi bahan pertimbangan Parlemen Uni Eropa, tidak hanya efek buruk yang diekspos, tetapi industri turunan yang berprospek juga harus bisa disuarkan oleh Kementrian Industri untuk membalanskan propaganda Parlemen Uni Eropa
  • Industri pangan dalam pengolahan minyak nabati bisa diwujudkan dengan pengembangan yang sama

Kemudian Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus tanggap. Bukan karena mosi dari Uni Eropa lalu kebakaran jenggot. Padahal KKLH telah memproyeksikan anggaran untuk penanganan deforestasi dan degradasi hutan sebesar Rp1,667 M (2015), Rp2,677 M (2016), Rp6,5 M (2017), Rp9,5 M (2018), dan Rp12,5 M (2019). Pemerintah harus menyampaikan kejujuran karena rakyat tidak menginginkan adanya kebohongan.

Terakhir Kementrian Pertanian yang telah berkomitmen untuk meningkatkan produksi minyak sawit di Indonesia. Pasalnya 2014, neraca ekspor impor Indonesia dalam sektor perkebunan positif $31.197 3 juta dan diproyeksikan pada 2019 akan mencapai $48.643 juta atau naik 10,4% (Renstra Kementan 2015-2019).

Sumber: Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2017
Sumber: Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2017
Terdapat banyak daerah khususnya Kalimantan dan Sumatra untuk pengembangan perkebunan sawit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun