Al-Ghazali mengumpulkan, menganalisis, serta memberikan kritik dan penilaian terhadap pendapat dan komentar para ulama tentang musik. Menurutnya, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan dan keharaman musik. Sejumlah ulama seperti Qadhi Abu Tayyib al-Tabari, Syafi'i, Malik, Abu Hanifah, Sufyan Tsauri dan lainnya menyatakan bahwa musik hukumnya haram. Seperti kata Imam Syafi'i, "Menyanyi hukumnya makruh dan menyerupai kebatilan. Barang siapa sering bernyanyi maka tergolong safeh (orang bodoh). Karena itu, syahadah-nya (kesaksiannya) ditolak". Imam Al-Ghazali yang menyebutkan bahwa ada lima faktor yang dapat merubah hukum lagu dari boleh menjadi haram:Â
Faktor Penyanyi. Yakni kondisi penyanyi, dalam hal ini jika penyanyinya wanita maka haram melihatnya karena dikhawatirkan akan timbul fitnah.Â
Faktor Alat. Haram jika menggunakan alat-alat seperti seruling, gitar, dan gendang.
Faktor alunan suara atau isi lagu. Kalau terdapat kata-kata yang keji, mengandung percintaan atau yang dapat mendustakan Allah maka hukumnya haram.
Faktor kondisi si pendengar. Jika dapat menimbulkan nafsu (syahwat) bagi pendengarnya maka diharamkan.Â
Keadaan orang awam. Mendengarkan musik boleh jika tidak melupakan (melalaikan) waktunya untuk beribadah kepada Allah
Menurut al-Ghazali, tidak ada kecaman rinci terhadap musik dalam Al-Qur'an atau Hadis. Meskipun hadits tertentu menyebutkan pembatasan alat musik tertentu seperti seruling dan gitar, al-Ghazali menunjukkan bahwa larangan itu tidak secara khusus pada instrumen ini tetapi karena alasan lain. Dalam Islam awal, instrumen ini sering dimainkan dalam pengaturan yang tidak pantas seperti pesta. Umat Islam harus menghindari meniru perilaku seperti itu. Â Nabi SAW sudah mewanti-wanti dengan mengatakan "Barangsiapa meniru gaya hidup suatu kaum maka ia termasuk bagian dari kaum itu".
Selain itu, musik juga dipandang mengabaikan pentingnya "mengingat Tuhan," menuntun kita untuk mengamati, bertentangan dengan prinsip ketakwaan, dan sebagainya. Sudut pandang ini dipegang oleh banyak ulama fiqh yang lebih fokus pada aspek hukum dan formal. Sebaliknya, Sufi lebih santai menggunakan musik sebagai sarana untuk "lebih dekat dengan Tuhan." Misalnya, musik yang mengiringi tarian mawlawiyyah, sering dimainkan oleh sufi terkenal Jalaluddin Rumi. Al-Ghazali percaya bahwa mendengarkan musik atau bernyanyi mirip dengan mendengar kata-kata atau suara dari makhluk hidup atau benda, masing-masing membawa pesan. Jika pesannya positif dan religius, maka itu sama dengan menerima nasihat agama atau kuliah. Dalam fiqh, dipahami bahwa hukum sesuatu tergantung pada asalnya, jadi ketika tidak ada hukum khusus dalam Al-Qur'an atau Hadis, itu dianggap halal.
Kesimpulan
Musik dianggap sebagai bagian dari muamalah, tidak seperti ibadah yang memegang posisi khusus yang tidak dapat dinegosiasikan karena merupakan bagian dari tujuan tawfiqiyah. Menurut beberapa ulama Syafi'iyyah, ada pendapat yang berbeda tentang masalah ini, dengan beberapa melarang bermain musik, termasuk lagu, sementara yang lain mengizinkannya. Ini menunjukkan bahwa ada perdebatan di antara para sarjana mengenai peraturan seputar musik dan lagu, dengan beberapa menentangnya dan yang lain mendukungnya.
Daftar Pustaka