Selain menjadi pembeli, kadang kami melakoni diri sebagai ‘pemungut sisa’[1], atau the gleaners, istilah yang diangkat dalam karya seni lukis oleh Jean-Francois Millet, dan pernah didalami oleh sutradara Agnes Varda untuk menghasilkan film dokumenter self-reflective brilian bertajuk The Gleaners and I (2000). Kami bisa memperoleh benih dari buah atau batang tanaman yang tidak laku dijual, yang mengejutkannya menyediakan pilihan berlimpah; terung dusun, kemangi, sitrun, tomat, cabai, timun, melon, pare, kenikir, daun bawang, rimpang-rimpangan, dan banyak jenis lainnya. Selain berbagai jenis tanaman gratis yang tersedia, para pedagang dengan baik hati membolehkan kami mengambil daun-daun sisa untuk dijadikan kompos atau makanan ikan. Tak jarang, kami memperoleh beberapa yang masih layak konsumsi. Yang tadinya dianggap tidak bernilai, ternyata bisa bermanfaat bagi individu sejenis kami.Â
 Mengenai berlimpahnya pilihan, memang diperlukan juga studi yang baik, karena keanekaragaman tidak sama dengan kualitas pola makan. Dengan kata lain pola makan yang beragam belum tentu berkualitas, sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang hubungan keanekaragaman pangan, pola makan, dan hasil kesehatan. Namun meskipun kecil dalam skala, ini berpotensi memperkenalkan dan menambah variasi item makanan, utamanya yang berasal dari varietas lokal atau tanaman yang dalam sistem pasar besar tidak ‘terstandarisasi’. Ini beriringan dengan kritik yang diajukan Hattersley, dkk (2020) dalam Evidence for the Role of Biodiversity in supporting healthy, diverse diet, and nutrition tentang peran pasar sebagai faktor penting antara keanekaragaman hayati dan keanekaragaman pola makan. Dalam lingkungan yang mendukung keanekaragaman pangan, pemahaman tentang variabilitas komposisi nutrisi akan digunakan untuk memilih dan mempromosikan spesies, varietas, ras tanaman, yang paling padat nutrisi, yakni buah dan sayuran lokal, untuk sistem produksi.
Dalam bukunya The Third Plate: Field Notes On The Future of Food (2014), Dan Barber menyatakan bahwa template manusia untuk mengubah sistem, yakni dengan keluar dari sistem itu sendiri—makan musiman, membeli lokal, memilih yang organik bila memungkinkan. Berkebun dan aktivitas yang meliputinya bisa menghadirkan ini. Tidak hanya mempengaruhi pola pikir individu tentang tanggung jawab terhadap lingkungan, tapi juga tentang esensi makanan itu sendiri. Kami tidak hanya merasa bangga bisa memanen tanaman untuk pertama kalinya. Berkebun mendukung kami untuk belajar mengurangi jejak karbon—dengan pengolahan limbah makanan yang baik—dan terus mendukung keberadaan pangan lokal.
Jika manusia tak berupaya memperluas bukaan leher botol yang harus dilalui varietas lokal di masa depan, tentu dengan memberlakukan beberapa kontrol dalam mempertahankan sifat unggul tanaman, maka pangan lokal bisa benar-benar menghilang dari meja makan kita. Kita bisa menghidupkan kembali kebutuhan atas varietas lokal dengan bergerak sesuai fungsi—seperti yang telah dijelaskan Dwiartama, dkk (2023) dalam 'Membangun Bioprospecting di Indonesia: Pembelajaran dari Gerakan Akar Rumput', yang merupakan kajian tujuh studi kasus gerakan akar rumput dari mitra-mitra yang didampingi oleh Yayasan KEHATI—yakni terlibat aktif dalam skema Bioprospecting. Selain itu, kita juga harus menggeser paradigma dengan meninggalkan homogenitas budaya makanan, meninggalkan pemikiran jangka pendek terutama dalam proses pertanian, sebagaimana membangun kesadaran ekologis lewat berkebun.
 Percayalah, anda akan mulai memberikan rasa hormat yang berbeda kepada ‘siapa-siapa’ yang membangun kebun anda—sekalipun hasil panen tidak selalu se-'sempurna' yang ditawarkan di supermarket.
 *
DYTA UTARI. Seorang Pekebun, dikenal juga sebagai Cerpenis, Novelis, Penyair berkewarganegaraan Indonesia. Pernah menjadi redaktur sastra di media daring lokal. Buku terakhirnya—dengan nama pena Dee Hwang—merupakan buku tunggal ketiganya, KULDESAK (2021). Hasil dan proses berkebun didokumentasikan di Instagram & threads : @hellodeehwang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H