Metafora ‘leher botol’ dihadirkan pertama kalinya oleh biolog Amerika bernama Edward O. Wilson, pemenang dua kali penghargaan Pulitzer untuk dua bukunya On Human Nature (1979) dan The Ants (1991). Ini menyoal kehancuran ekologis dan menyempitnya bukaan evolusi di masa depan. Mengenai masalah dimana manusia semakin bergantung pada konsumsi yang melebihi apa yang dapat disediakan bumi, ia menyimpulkan bahwa ‘ketika kita menghancurkan ekosistem dan memusnahkan spesies, kita merusak warisan terbesar yang dimiliki planet ini untuk ditawarkan dan dengan demikian mengancam eksistensi kita sendiri. Kennel, dkk dalam Wilson’s Bottleneck (2024) menyatakan hal senada—kehilangan keanekaragaman hayati yang signifikan, yang bergabung dengan tekanan perubahan iklim seharusnya sudah cukup menjadi alasan untuk alarm. Salah satu domain temporal berkelanjutan dalam formulasi leher botol Wilson ini, salah satunya adalah perilaku kolektif manusia yang hendaknya kurang mengancam terhadap apa yang tersisa dari keanekaragaman hayati. Berkebun dapat menjadi aktivitas pilihan untuk meningkatkan kesadaran ekologis ini. Dalam In Defense of Food: An Eater’s Manifesto (2008) yang ditulis oleh Michael Pollan, kebun menawarkan banyak solusi, baik praktis maupun filosofis, untuk seluruh masalah makan dengan baik. Berkebun membantu ketahanan pangan terhadap tekanan lingkungan, seperti menyediakan sumber makanan lokal yang mengurangi ketergantungan pada rantai pasokan panjang yang berdampak negatif terhadap lingkungan.
Saya mulai berkebun—dengan serius—ketika ibu saya memasuki masa pensiunnya. Alasannya tak muluk, yakni sebagai jembatan generasi dan memenuhi kebutuhan subsisten kami, semacam menemukan kegiatan bersama dengan ibu saya di rumah, juga mengakomodasi kebutuhan akan lingkungan sehat dan diet termoderasi, mengingat ibu saya adalah penderita diabetes dan sempat mengalami stroke ringan. Jenis tanaman yang kami tanam awalnya adalah tanaman-tanaman yang sudah ada—sebelumnya ibu sudah memiliki beberapa tanaman hias namun tidak telaten mengurusnya—juga menambah koleksi untuk tanaman edibel. Kami memulai dari tanaman yang mudah tumbuh seperti kangkung dan bayam brazil, hingga ke tanaman yang butuh perawatan ekstra seperti sawi-sawian dalam teknik penanaman hidroponik. Tidak dapat dipungkiri, berkebun adalah aktivitas yang bersifat interdisipliner, sehingga kami tidak hanya merawat tanaman, tapi juga mulai merambah ke kegiatan lain seperti memelihara ikan di kolam (sebagai penyedia air dan nutrisi untuk siraman tanaman), memelihara beberapa ekor ayam (tidak hanya untuk diambil telurnya, namun juga agen pengendali hama dan penyedia pupuk alami), dan terlibat aktif dalam pemuliaan tanah.
Kami mentransformasi lanskap petak kecil di belakang rumah, lahan berukuran kurang lebih 10 x 6 meter, yang tadinya menyakitkan mata, menjadi ceruk kecil yang lebih hidup dan bergairah. Beberapa tanaman hadir dengan manfaat ekologisnya, yakni menghadirkan aneka fauna, yang membantu mendukung ekosistem kebun menjadi lebih seimbang; bahkan dengan keberadaan hama sekali pun. Ada juga yang hadir untuk tujuan estetik, menyejukkan suhu, meningkatkan kualitas udara di rumah kami, dan tentu saja untuk manfaat konsumsinya. Kami jatuh cinta dengan kegiatan ini dan bertahan bertahun-tahun, kerap kali didokumentasikan dalam media sosial pribadi, hingga sekarang.
Sebagai pekebun, kami pernah menghadapi sederet tantangan awal. Yang pertama, adalah bagaimana cara mendapatkan benih yang sesuai dengan daerah tropis dan bagaimana cara menanamnya. Kami adalah anak kecil di toko permen, setiap kali berupaya menambah koleksi kebun—godaan visual pada kemasan benih yang dijual di toko daring, dengan harga miring, mendorong kami membeli lebih banyak lagi, tanpa menyadari bahwa kami telah membeli jenis tanaman yang tidak cocok. Walhasil kami gagal menanam Perilla, Blueberry, jenis bunga-bunga musim semi yang penuh warna. Kami juga berhadapan dengan masalah tanah yang kurang subur di halaman belakang, yang drainase-nya buruk sekali. Area naungan yang tersedia juga sedikit—panas di petak lahan kecil di belakang rumah kami terasa menyengat dan terasa mustahil untuk mempertahankan kesegaran tanaman. Ada ekstra biaya yang harus kami keluarkan untuk membeli tanah karungan dan pot-pot tanaman. Belum lagi, kami menghadapi tumbuhan yang tidak tumbuh optimal karena pemahaman dasar kami kurang.Â
Tantangan inilah yang membuat kami menikmati proses berkebun. Kami membuat kesalahan dan belajar dari itu. Secara bertahap, pengetahuan kami—yang disumbang dari tiga sumber ini; penelusuran literatur, para tetangga yang juga suka berkebun, dan berburu langsung ke pasar tradisional—meletakkan kami kembali pada track yang sesuai. Kami tidak hanya memandang berkebun dari sudut pandang hasil, tapi holistik. Sebagai bukan hanya aktivitas praktis, melainkan cerminan keharmonisan atas berbagai aspek. Dan tentu saja, kami jadi tahu bagaimana caranya menghemat pengeluaran untuk berkebun.
Sejumlah jurnal penelitian, buku-buku, dan karya media yang relevan dengan topik, jelas membantu pekebun untuk memaksimalkan pemanfaatan tanaman dalam koridor berkelanjutan. Dari ini, misalnya, kami berani mengkonsumsi kulit singkong dengan pengolahan yang tepat, membuat Tepache dari limbah kulit nanas, dan mulai menggunakan biji lerak untuk dijadikan deterjen alami. Penelusuran literatur membantu kami dalam membuat produk dari atau untuk kebun, seperti bubuk kunyit (Curcuma longa) untuk memasak, sampo alami dari bunga Red Button Ginger, selai dari buah murbei (Morus alba), teh dari Eleutherine bulbosa, sampai meningkatkan porositas tanah dengan penambahan kompos. Penelusuran literatur membantu pekebun seperti saya dan ibu saya untuk menemukan alternatif terbaik berkebun, sebagaimana ditawarkan dalam nada yang sama dalam From Uniformity to Diversity: The Potential of Agroecology to Transform Food Systems oleh Jacobs, dkk (2020), yakni mengadopsi sistem agroekologi yang terdiversifikasi sebagai alternatif dari pertanian industri—kami menerapkan aturan polikultur dan menggunakan bahan organik untuk bedeng-bedeng tanaman kami, sebagaimana yang diterapkan dalam permakultur—mengenal jenis tanaman lokal dan berkontribusi dalam konservasi tanaman langka, bahkan memahami potensi biologis dari tanaman itu sendiri, sebagaimana berkebun memberikan ruang untuk eksplorasi dalam proses bioprospecting.Â
Penelusuran literatur menyediakan pertukaran informasi dari komunitas lain, dimana tanaman yang selama ini dikira tidak berguna di suatu tempat, ternyata di tempat lain memiliki nilai manfaat sebagaimana tanaman yang sengaja ditanam. Dengan kata lain, ini menjadi dasar pemanfaatan untuk tumbuhan yang jarang dilirik pasar global. Edward O. Wilson dalam bukunya The Diversity of Life (2001) menjelaskan tanaman liar memiliki prospek cerah untuk digunakan sebagai makanan. Istilah meramban populer di kalangan pekebun. Belakangan, beberapa jenis gulma mulai disejajarkan dengan tanaman sayur di meja makan kita. Ini bermanfaat, mengingat keanekaragaman hayati—dalam pangan, terutama—berada dalam level mengkhawatirkan. Dikutip dari Hunter, dkk (2020) dalam Nourishing People, Nurturing The Environment: Biodiversity for Food Systems Transformation and Healthier Diets, model pertanian dominan saat ini—yang berfokus pada keseragaman tanaman, ternak, dan keragaman genetik yang terbatas—merupakan penyebab utama konversi lahan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Dalam referensi yang sama, dijelaskan bahwa pangan liar dapat memiliki kandungan nutrisi dan komponen pangan yang jauh lebih kaya dibandingkan dengan banyak spesies domestikasi. Dengan kata lain, pangan liar dapat memainkan peran penting dalam mendukung ketahanan pangan.
Pengalaman berkebun kami menjadi kaya dengan tukar-menukar hasil panen atau berbagi informasi kepada sesama pekebun. Ini membantu kami memperluas akses dan meningkatkan pilihan pangan di rumah. Kami jadi tahu bahwa : batang kecombrang (Etlingera elatior) bisa dimakan bagian dalamnya (tidak hanya bunganya saja); Jamur gerigit (Schizophyllum commune) bisa dihadirkan hanya dengan meletakkan kayu-kayu karet di area naungan; Jambu keraton (Syzygium jambos) berukuran kecil namun beraroma paling semerbak; Buah kepayang (Pangium edule) memiliki rasa gurih seperti kacang-kacangan; bunga labu memiliki tekstur yang lembut setelah digoreng dengan tepung; Jagung pulut memiliki rasa gemuk—dan mengingatkan dengan isi buah delima; rendaman bunga kenanga memberikan efek menenangkan setelah diminum; orang Lahat lebih menyukai terung Kikim untuk dimasak ketimbang terung Pagaralam, begitu juga sebaliknya; Pepaya tidak disarankan ditanam di dekat rumah atau akarnya akan ‘mengangkat tembok’; sekali menanam kacang koro putih, pekebun akan terus memanennya tak habis-habis; dan menanam juwet di halaman belakang rumah kami dianggap sebagian masyarakat sebagai tempat bercokolnya kuntilanak, sehingga tidak mengherankan mengapa tanaman terakhir ini menjadi salah satu jenis tanaman yang langka (tiga terakhir di atas menjelaskan bahwa pengalaman berkebun tidak hanya berorientasi pada pengalaman organoleptik belaka).
Pasar tradisional menjadi katalog hidup untuk berbagai jenis tanaman. Pasar tradisional di kota saya menghadirkan produk lokal khas Sumatera Selatan seperti Kabau, Daun Hehaji, Tebu Telok, Tatal Huma Raje (yaitu rebung manis yang untuk memasaknya biasanya disantan putih dan diris horizontal, berbeda dari rebung masam yang dipotong seperti stik dan dijadikan campuran lauk ikan sungai dengan santan kuning), dan aneka buah lokal seperti Cempedak, Kemang, Durian, Langsat, Tupak, Sali, dan Kepayang. Hasil kebun sering kali dikombinasikan dengan bahan-bahan lokal ini, untuk berbagai masakan tradisional: Buah terung dusun kami masak menjadi Hehancang Tehung; Jamur Gerigit dijadikan pepes atau ‘digemuki’ dengan santan; Kecombrang dijadikan Sambal Unji; Ikan patin menjadi lauk utama dalam Pindang Tempoyak; buah pisang Rajo Nangko dapat dijadikan Rimpi melalui proses pengeringan matahari; Buah pepaya mengkal bisa dimasak menjadi Sisik Sema; Cabai, elemen penting dalam setiap masakan Sumatera Selatan yang terkenal pedas, menjadi salah satu bahan utama dalam pembuatan Cuko, atau Sambal Kabau, atau Kepayang Tumis (menggunakan cabai hijau dan ikan teri), juga Masam Sari (yakni campuran cabai tumbuk, buah kemang, dan durian baru—sebutan untuk Tempoyak yang baru berumur beberapa hari setelah pembuatan).
Selain menjadi pembeli, kadang kami melakoni diri sebagai ‘pemungut sisa’[1], atau the gleaners, istilah yang diangkat dalam karya seni lukis oleh Jean-Francois Millet, dan pernah didalami oleh sutradara Agnes Varda untuk menghasilkan film dokumenter self-reflective brilian bertajuk The Gleaners and I (2000). Kami bisa memperoleh benih dari buah atau batang tanaman yang tidak laku dijual, yang mengejutkannya menyediakan pilihan berlimpah; terung dusun, kemangi, sitrun, tomat, cabai, timun, melon, pare, kenikir, daun bawang, rimpang-rimpangan, dan banyak jenis lainnya. Selain berbagai jenis tanaman gratis yang tersedia, para pedagang dengan baik hati membolehkan kami mengambil daun-daun sisa untuk dijadikan kompos atau makanan ikan. Tak jarang, kami memperoleh beberapa yang masih layak konsumsi. Yang tadinya dianggap tidak bernilai, ternyata bisa bermanfaat bagi individu sejenis kami.Â
 Mengenai berlimpahnya pilihan, memang diperlukan juga studi yang baik, karena keanekaragaman tidak sama dengan kualitas pola makan. Dengan kata lain pola makan yang beragam belum tentu berkualitas, sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang hubungan keanekaragaman pangan, pola makan, dan hasil kesehatan. Namun meskipun kecil dalam skala, ini berpotensi memperkenalkan dan menambah variasi item makanan, utamanya yang berasal dari varietas lokal atau tanaman yang dalam sistem pasar besar tidak ‘terstandarisasi’. Ini beriringan dengan kritik yang diajukan Hattersley, dkk (2020) dalam Evidence for the Role of Biodiversity in supporting healthy, diverse diet, and nutrition tentang peran pasar sebagai faktor penting antara keanekaragaman hayati dan keanekaragaman pola makan. Dalam lingkungan yang mendukung keanekaragaman pangan, pemahaman tentang variabilitas komposisi nutrisi akan digunakan untuk memilih dan mempromosikan spesies, varietas, ras tanaman, yang paling padat nutrisi, yakni buah dan sayuran lokal, untuk sistem produksi.
Dalam bukunya The Third Plate: Field Notes On The Future of Food (2014), Dan Barber menyatakan bahwa template manusia untuk mengubah sistem, yakni dengan keluar dari sistem itu sendiri—makan musiman, membeli lokal, memilih yang organik bila memungkinkan. Berkebun dan aktivitas yang meliputinya bisa menghadirkan ini. Tidak hanya mempengaruhi pola pikir individu tentang tanggung jawab terhadap lingkungan, tapi juga tentang esensi makanan itu sendiri. Kami tidak hanya merasa bangga bisa memanen tanaman untuk pertama kalinya. Berkebun mendukung kami untuk belajar mengurangi jejak karbon—dengan pengolahan limbah makanan yang baik—dan terus mendukung keberadaan pangan lokal.
Jika manusia tak berupaya memperluas bukaan leher botol yang harus dilalui varietas lokal di masa depan, tentu dengan tetap memberlakukan beberapa kontrol dalam mempertahankan sifat unggul tanaman, maka pangan lokal bisa benar-benar menghilang dari meja makan kita. Kita bisa menghidupkan kembali kebutuhan atas varietas lokal dengan bergerak sesuai fungsi—seperti yang telah dijelaskan Dwiartama, dkk (2023) dalam 'Membangun Bioprospecting di Indonesia: Pembelajaran dari Gerakan Akar Rumput', yang merupakan kajian tujuh studi kasus gerakan akar rumput dari mitra-mitra yang didampingi oleh Yayasan KEHATI—yakni terlibat aktif dalam skema Bioprospecting. Selain itu, kita juga harus menggeser paradigma dengan meninggalkan homogenitas budaya makanan, meninggalkan pemikiran jangka pendek terutama dalam proses pertanian, sebagaimana membangun kesadaran ekologis lewat berkebun.
 Percayalah, anda akan mulai memberikan rasa hormat yang berbeda kepada ‘siapa-siapa’ yang membangun kebun anda—sekalipun hasil panen tidak selalu se-'sempurna' yang ditawarkan di supermarket.
 *
DYTA UTARI. Seorang Pekebun, dikenal juga sebagai Cerpenis, Novelis, Penyair berkewarganegaraan Indonesia. Pernah menjadi redaktur sastra di media daring lokal. Buku terakhirnya—dengan nama pena Dee Hwang—merupakan buku tunggal ketiganya, KULDESAK (2021). Hasil dan proses berkebun didokumentasikan di Instagram & threads : @hellodeehwang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H