Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman budaya daerah. Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI Puan Maharani mengenakan pakaian adat dalam acara resmi Pidato Kenegaraan di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (16/82021). Mereka bangga akan pakaian adat yang digunakan dan terlihat berdeda di antara perjabat negara lain yang hadir pada hari itu.
Jokowi mengenakan pakaian adat Suku Baduy, dengan warna serba hitam dan songkok berwarna hitam campur biru. Sedangkan Puan mengenakan busana adat Payas Agung Bali dengan selendang kain tenun Gringsing Bali.
Sebenarnya peristiwa itu bukan kali pertama. Dalam acara-acara kenegaraan sebelumnya, Presiden dan Ketua DPR kerap hadir dengan mengenakan pakaian adat. Dalam Sidang Bersama DPR-DPD tahun 2019, misalnya, Jokowi mengenakan baju adat Sasak NTB atau pegon.
Pakaian tersebut tersebut nampak mewah dengan corak keemasan, dan ikat kepala berwarna senada serta keris yang diselipkan kain songket atau disebut leang.
Lalu pada acara sama tahun 2020, Presiden mengenakan pakaian adat Sabu dari NTT. Baju adat tersebut bernuansa hitam dengan corak keemasan, ditambah aksesori ikat pinggang emas pula.
Bahkan, pada perayaan HUT RI ke-75 tahun lalu, hampir semua pejabat negara mengenakan pakaian adat. Puan Maharani mengenakan Tengkuluk Bai-Bai, pakaian adat Jambi.
Dia tampak anggun dengan mengenakan baju adat dengan perpaduan warna merah, hitam, dan emas. Tak lupa, sebagai kewajiban menjalankan protokol kesehatan, Puan mengenakan masker yang berwarna merah.
Tengkuluk atau tekuluk merupakan busana warisan leluhur sejak zaman kerajaan Melayu. Selain berfungsi sebagai pelengkap busana tradisional, tengkuluk juga digunakan saat acara formal, pesta adat, serta kegiatan sehari-hari seperti untuk pelindung kepala saat bekerja di ladang.
Pada kesempatan sama, Presiden Jokowi mengenakan baju adat dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Baju adat yang dikenakan Jokowi ini didominasi warna merah dan putih dengan motif kaif berantai nunkolo.
Sementara Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengenakan pakaian adat Melayu Indonesia bercorak warna gelap. Ma'ruf juga mengenakan masker warna gelap.
Menjunjung kebinekaan
Pemimpin negara merupakan wajah bangsa. Ketika mengenakan pakaian adat dalam acara-acara resmi kenegaraan, secara tidak langsung mereka mempromosikan keberagaman budaya Indonesia kepada seluruh dunia.
Bahkan, promosi tersebut bisa berdampak positif pada anak muda. Mereka jadi lebih mengetahui keberagaman Indonesia. Sebagai penerus bangsa, tentunya mereka perlu menerapkan kebinekaan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk menghargai beragam tradisi pakaian adat.
Menurut Pengamat Politik Syamsuddin Haris, gaya penampilan pemimpin negara merupakan simbol kebinekaan, yang ingin menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah masalah.
"Setidaknya hendak ditunjukkan bahwa tidak ada masalah dengan persoalan identitas asal yang berbasis etnik. Suatu saat orang bisa menjadi Jawa, Bugis, dan seterusnya begitu, itulah Indonesia," kata Haris.
Sementara itu, Dosen Ilmu Budaya Universitas Indonesia Tommy Christomy mengungkapkan hal serupa. Pemimpin negara ini ingin tampil sebagai pemimpin yang menjunjung budaya negaranya.
Dia juga mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia sangat penting bagi pemimpin negara. Oleh karena itu, mereka sadar memberi akses budaya daerah untuk tampil di area nasional. Pasalnya, memakai pakaian adat dalam acara sangat formal hanya bisa dilakukan oleh pemegang kekuasan.
Tak hanya itu. Pengamat politik LIPI, Wasisto Raharjo mengatakan bahwa gaya busana Presiden menyimpan makna politik kebangsaan yang dalam. Menurut Wasisto, gaya busana tersebut merupakan penegasan Jokowi sebagai kepala negara Republik Indonesia.
Wasisto menilai Presiden Jokowi sedang mengemban tugas kenegaraan untuk membangun rasa kebangsaan agar masyarakat tidak terjebak pada dikotomi sentimen identitas dan keagamaan.
"Saya pikir itu bagian dari upaya untuk membangun rasa kebangsaan yang saat ini tersekat oleh sentimen identitas dan keagamaan," ujar Wasisto.
Dia juga mengatakan bahwa mengenakan pakaian adat dalam acara kenegaraan merupakan upaya politik agar tidak hanyut dalam narasi SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan).
Selain itu, upaya tersebut tidak hanya dimaknai untuk menyadarkan keanekaragaman identitas nasional bagi elit politik dan masyarakat Indonesia, tetapi juga mempromosikan kekayaan budaya Indonesia kepada dunia.
Hal tersebut mengingatkan, lanjut Wasisto, bahwa Indonesia terdiri atas beragam budaya. Semboyan "Bhineka Tunggal Ika" tidak sembarangan dipilih, namun mencerminkan kondisi bangsa Indonesia.
Keberagaman merupakan kekayaan, tapi di lain sisi hal ini bisa menjadi pemicu yang memecahkan persatuan dan kesatuan bangsa. Jika tidak dijaga dengan apik, bukan tidak mungkin kekayaan budaya ini malah menjadi senjata makan tuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H