Mohon tunggu...
Dyah Woro Untari
Dyah Woro Untari Mohon Tunggu... Dosen - Dyah Woro Untari

masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Susahnya Petani Menjual Hasil Panen

3 Juli 2020   16:54 Diperbarui: 3 Juli 2020   17:11 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kurang lebih satu minggu sebelum dan setelah lebaran harga sayuran seperti bawang dan cabai turun di tingkat petani. Hal ini terjadi hampir setiap tahun, seperti mendengarkan lagu yang diputar dari kaset setahun sekali. Belum lagi cerita duka petani sayuran lainnya.

Alasan yang sering mencuat dari pedagang adalah melambatnya arus transportasi dikarenakan musim mudik lebaran, sehingga lalu lintas lebih diutamakan bagi para pemudik yang berlalu lalang menuju dan pulang dari kampung halaman. Sehingga truk-truk pengangkut logistik mendapat jatah jalan yang agak terbatas.

Akan tetapi tahun ini sudah jelas hampir tak ada mudik lebaran, karena memang tak diperbolehkan oleh pemerintah karena adanya pandemi. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat transportasi terhambat sehingga beberapa daerah mengalami surplus yang menyebabkan harga sayur turun. Sebagai contoh, harga cabai anjlok berkisar 5.000 rupiah di tingkat petani di Yogyakarta. Padahal BEP baru dicapai jika harga minimal 10.000 rupiah. Harga sayur lain di berbagai daerah juga mengalami penurunan.

Penjualan Online

Muncul akhirnya upaya untuk menjual dengan cara lain, yakni online lewat berbagai media sosial. Yang paling umum adalah melalui Whatsapp. Cara ini terbilang cukup efektif untuk mengurangi beban petani sementara waktu, namun sayangnya kurang berkelanjutan untuk komoditas produksi skala besar yang bersifat perishable (mudah rusak). Tak sama seperti beras yang bisa dibeli berkilo-kilo, tapi bisa disimpan untuk dikonsumsi sedikit demi sedikit.

Disamping itu jalur pemasaran baru tersebut membutuhkan kesiapan transportasi yang mungkin masih terjangkau untuk kawasan padat penduduk yang dimudahkan dengan jasa ojek online. Hanya saja, kalau wilayah produksi cukup jauh, maka konsumen harus mau menanggung biaya pengantaran.

Produsen juga harus siap dengan tanggung jawab untuk menjaga kredibilitas kepastian barang dikirim dan tepat waktu sampai di depan konsumen baru.

Sistem pemasaran yang memang belum tertata karena tindakan bersifat darurat dan yang namanya darurat, bisa dimengerti kalau masih ada kekurangan disana-sini. Seperti, transportasi terkendala, barang sudah habis, atau belum adanya skill untuk membangun hubungan dengan konsumen.

Tapi kita juga tak menampik, banyak juga para voluntir yang sukses menjembatani pemasaran produk petani patut kita acungi jempol. Para sukarelawan ini bisa jadi bukan berprofesi sebagai petani, tapi mereka memahami bagaimana mengatur dan menjembatani hubungan antara produsen dan konsumen.

Hal ini bisa menjadi solusi bagi petani hortikultura yang menurut data BPS, jumlahnya 36% dari total petani di Indonesia. Karena seperti yang banyak dikeluhkan petani, sudah capek-capek produksi, masih disuruh mikir pemasarannya. Sangat humanis. tak semua orang bisa menguasai semua jenis ketrampilan.

Pengolahan hasil panen

Hal ini tak pernah absen dari program pembangunan pertanian di tingkat nasional. Tapi kembali lagi ke premis diatas, tak semua petani bisa menguasai pengolahan produk. Apakah karena caranya rumit? Atau tak ada alatnya? Tak bisa packing?

Semua jawaban bisa jadi kurang benar. Pada prinsipnya hal tersebut bisa dipelajari dan disediakan melalui berbagai jenis program dan pelatihan. Petani pun tak akan terkendala mempelajarinya. Asal ada yang mau beli, mereka siap. Tapi sekali lagi yang susah, kalau produk sudah diproses dan dikemas rapi, siapa yang mau beli secara konsisten?

Atau, misalnya jika produk diproses dan dijual dalam kemasan yang lebih besar, katakanlah dijual curah dalam karung atau per boks. Harus ada industri yang mau menyerapnya secara berkelanjutan. Tapi memasuki jaringan tersebut tidak berarti ketuk pintu lalu diterima. Di dalamnya telah ada orang-orang yang spesialis menjadi penyuplai. Petani sebagai pendatang baru, tentu industri juga tak mau begitu saja percaya dan menomor-duakan penyuplainya yang sudah terpercaya.

Sedikit banyak yang penulis dengar dari petani atau pelaku bisnis, seperti kalau orang dari kampung A punya industri. Ia sudah biasa disuplai temannya yang juga dari kampung A. Prinsipnya sudah kenal dan percaya dengan kualitas dan perilaku bisnisnya. Kalau dicurangi, bisa minta tanggung jawab pada kerabatnya. Kalau ada orang lain yang masih asing, mau kerjasama, pikir-pikir dulu.

Intervensi

Sudah banyak usaha intervensi yang dilakukan untuk menyokong produksi pertanian baik oleh pemerintah melalui segala kegiatan lapangan dan kebijakannya, kalangan swasta dan BUMN dengan CSR-nya ataupun lembaga donor dengan program-programnya. Akan tetapi mekanisme pasar kelihatannya sulit terjamah.

Memang bukan persoalan mudah. Sudah tak kurang 'hardware' berupa barang, alat, infrastruktur yang telah atau akan diberikan. 'Software' berupa ketrampilan untuk melakukan pemasaran online tentunya juga sudah diupayakan. Akan tetapi, kemampuan untuk mempengaruhi pasar tidak mudah untuk dijangkau. Walau banyak juga kita temui petani yang sukses sebagai produsen sekaligus pemasar. Umumnya skala ekonominya besar sehingga memiliki kekuatan lebih

Beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah bersama, yang pertama, pelaku pasar sudah menetap dan tak mudah bagi pendatang baru, katakanlah petani, untuk terjun ke dalamnya. Kedua, ketrampilan memasarkan bukan hal yang mudah dikuasai oleh produsen karena umumnya petani menanam ketika harga diperkirakan akan bagus dan mereka bukanlah pelaku utama pasar.

Ketiga, kebijakan pengaturan pemasaran yang memihak petani kecil akan lebih membantu karena segi produksi sebagian besar sudah dikuasai petani. Berbagai jenis intervensi yang diluncurkan memfasilitasi petani untuk memasarkan produk, namun detail pemasaran itu sendiri begitu rumit sehingga tidak cukup dengan bantuan yang berorientasi pada produksi dan pasca-panen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun